IA bukan seorang filosof. Hanya seorang jagal biasa. Baginya itu esensi hidup. Tidak pernah ada pertentangan epistemologi dalam benaknya. Cara berfikirnya sederhana, seperti kebanyakan orang. Sebenarnya tidak penting membahas alam ide-nya dalam narasi-narasi rumit. Namun semua orang punya cerita masing-masing.
————
Jagal ini punya iman sendiri saat memahami makna keberadaan hidupnya. Ia meyakini, semua kehidupan punya esensi. Ia kagum akan kekuatan yang menentukan esensi tersebut. Seperti Einstein yang begitu kagum pada gergasi intelektual yang tak terhingga; tak bisa tertangkap oleh pikiran manusia. Dan Einstein pun menjadikan pengetahuan itu sebagai agamanya.
Idealisme jagal itu adalah bagaimana menjalankan esensi tersebut secara penuh. Inilah baginya yang dinamakan tujuan hidup. Apa pun itu dilahirkan untuk menjadi sesuatu yang pasti.
“Seperti pisau ini, ia tidak boleh digunakan selain untuk menyembelih,” kata sang jagal kepadaku saat aku mengunjunginya dua hari lalu.
Jagal itu jagal tua. Sudah puluhan tahun dia mengambil nyawa sapi, kambing, dan sesekali kuda. Entah berapa ribu nyawa hewan putus di ujung pisaunya.
Jagal itu punya beragam kisah tentang dunianya. Ia sering bercerita tentang leher unta yang ditusuk belati tajam, oleh seorang jagal Arab. Apa mereka tidak mampu membuat unta itu berbaring? Ia mengaku, ikut mempertanyakannya. “Semua jagal di Arab akan melakukan cara yang sama,” imbuhnya. Ia tahu, ada cara lain dalam penyembelihan unta, mengayun belati dari bawah ke atas. Tapi cara itu tak berlaku untuk orang-orang Arab.
Sejak kapan cara penyembelihan itu dilakukan? Jagal itu tidak tahu. Namun ia meyakini, penyembelihan bukan didasari pada ide. Ia adalah esensi, yang sekali lagi lahir sebelum pengetahuan tentang penyembelihan itu ada. Penjagal Arab pun secara tidak sadar menjalani esensi tersebut. Dalam alam pikirannya, mereka menganggap cara itu adalah ide. Padahal itu adalah esensi penjagalan.
“Si Arab mengira dia cerdas,” timpalnya.
“Dari mana sih dia tahu cara jagal seperti itu? Mungkin dari bapaknya, kakeknya, buyutnya dan seterusnya,” sambungnya.
“Lalu yang pertama kali menjagal dengan cara itu, dapat idenya dari mana? Muncul begitu saja? Tidak mungkin.”
Ia terus berceloteh lancar seperti para ustad yang tengah asyik berceramah. Aku tidak ingin menghentikannya. Jagal yang tidak pernah tamat SD itu, terlalu pintar bagiku. Pandangan filosofisnya dalam. Aku yakin, ia tidak pernah sekalipun membaca buku filsafat.
Jagal itu seorang yang soleh. Baginya tidak ada sesuatu pun diciptakan tanpa tujuan. Ia yakin, Tuhan punya maksud sendiri sebelum menciptakan manusia. Dalam penciptaan ini, esensi mendahului eksistensinya. Belakangan pandangan itu disanggah Sartre dengan prinsip eksistensialisme-nya.
Jagal tua itu memandang esensi semua mahluk harus dihormati. Seperti hewan kurban, jauh sebelum ia hidup, telah digariskan bakal dikorbankan. Hewan tersebut tidak perlu bertanya, apa alasan ia dikurbankan? Tidak perlu ia memprotes keadilan kosmis. Itu ada di wilayah ke-Tuhan-an. Tidak ada yang boleh mempertanyakan, kenapa Tuhan memerintahkan Nabi Ibrahim as menyembelih anaknya.
“Saya hanya harus menghormati hewan kurban itu sebelum disembelih. Saya merasa ia seperti Ismail.” ia berbicara tanpa sekalipun menatap wajahku. Seolah-olah ia berbicara sendiri.
Tapi aku kagum dengan pandangan filosofinya yang mengakar kuat. Ia tidak peduli jika keyakinannya itu membuatnya dianggap sebagai manusia tradisional. Berbeda dengan manusia modern yang merasa bisa lebih bebas. Seperti diceritakan Sartre dalam Being and Nothingness tentang seorang yang mengabdi penuh sebagai pelayan. Ia bukan manusia yang bebas. Padahal ia memiliki potensi menjadi lebih baik. Ia bisa menjadi nelayan atau pengusaha. Namun sang pelayan terlalu yakin akan esensinya, persis seperti sang jagal. Akibatnya ia tidak mengambil pilihan-pilihan tersebut. Dan ia tetap dengan kehidupannya, semuak apapun ia dengan pekerjaannya.
Jagal itu bercerita, suatu ketika, ia baru pulang menyembelih hewan kurban di halaman masjid kampungnya. Sampai di rumah, ia meletakkan begitu saja satu plastik daging sapi upahnya menyembelih di dekat dapur. Pisaunya diletakkan dekat daging kurban yang masih hangat itu.
“Bapak kan bisa berhenti jadi jagal. Banyak pilihan hidup yang bisa lebih membahagiakan bapak,” saranku.
Jagal itu seperti kaget. Ia membetulkan cara duduknya, kali ini menatap wajahku dalam-dalam.
“Bahagia itu tidak sama bagi semua orang,” jawabnya, lalu beranjak masuk ke dalam biliknya.
Aku ditinggalkan sendiri, menunggunya kembali untuk mengucapkan salam perpisahan. Lima menit menunggu, jagal itu tidak kunjung muncul. Ku raih cangkir kopi yang mulai kosong. Ku hirup sisa kopi yang sudah bercampur ampas. Masih ada dua potong pisang rebus di atas piring yang disediakan pemilik rumah untuk menyambutku. Tapi aku enggan memakannya. Ludahku terasa getir.
Jagal itu datang membawa sebilah pisau dengan warangka kayu mahoni tua berwarna coklat bergaris hitam. Diletakannya pisau itu di depanku. Sejurus kemudian ditariknya pisau itu hati-hati keluar dari warangkanya.
Aku bergidik dengan rupa pisau yang mengkilap alami. Tidak ada setitikpun karat dan noda. Jagal itu mengaku rutin mengasahnya seminggu sekali, meski jarang dipergunakan.
“Pisau ini hanya untuk menyembelih hewan kurban,” ujarnya sembari menyarungkan kembali pisau yang kira-kira berukuran dua jengkal tangan orang dewasa itu.
“Tapi ia sudah pensiun, karena melanggar takdirnya,” sambungnya beberapa saat kemudian, yang membuat aku sedikit tersentak kaget.
Jagal itu bercerita, suatu ketika, ia baru pulang menyembelih hewan kurban di halaman masjid kampungnya. Sampai di rumah, ia meletakkan begitu saja satu plastik daging sapi upahnya menyembelih di dekat dapur. Pisaunya diletakkan dekat daging kurban yang masih hangat itu.
Ia langsung menuju sumur di luar rumah panggungnya. Menimba airnya dan menyiramkan ke tubuhnya, tanpa membuka baju dan celana terlebih dahulu. Toh baju dan celana itu sudah penuh darah dan tahi kambing dan sapi. Sekalian saja dibasahi sambil mandi sebelum dicuci.
Usai mandi, ia naik ke dapur yang lantainya terbuat dari belahan bambu yang dipasang rapi. Ia tidak menemukan pisaunya. Dengan panik ia mencarinya kesana kemari. Pisau itu begitu disayanginya; didapatkannya dari seorang jagal Arab yang kagum dengan keterampilannya menguliti sapi.
Konon bahan baku pisau itu adalah baja Damaskus yang terkenal tajam dan lentur. Teknik pembuatan pisau itu sangat rumit. Beberapa lapis lempeng baja sepanjang 25 cm ditempa, lalu dipanaskan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi sebelum kemudian dilipat dan ditempa kembali. Proses ini dilakukan hingga 480 kali. Selanjutnya pisau itu diasah dengan batu asah hingga tipis, sebelum akhirnya direndam dengan cairan kimia khusus.
Pisau itu diklaimnya lebih tajam dari silet. Sekali saja ia menggerakkannya di leher hewan kurban, akan langsung menembus urat nadinya. Hewan itu akan langsung mati, bahkan mungkin tanpa merasakan sakit.
Namun pisau itu tiba-tiba menghilang. Untung saja, setelah beberapa lama mencari, ia menemukannya tergeletak di kolong rumah. Terendam oleh kubangan lumpur sisa cuci piring bercampur air kencing. Memang hampir setiap malam ia kencing di tempat khusus cuci piring di dapur belakang rumahnya. Di dekatnya selalu tersedia seember air yang diangkutnya setiap sore dari sumur di bawah.
“Pisau ini saya berikan untuk kamu. Tapi jangan dipakai untuk menyembelih hewan,” ujarnya membuyarkan lamunanku.
“Bapak bisa saja menjual pisau ini ke orang lain, pasti mahal harganya,” kelitku. Aku enggan menerima barang berharga itu dengan gratis.
“Tidak apa-apa, ambil saja.”
“Saya bukan jagal, jual saja pak.”
“Saya tidak akan menjual pisau ini, takut digunakan untuk menyembelih hewan oleh pemilik barunya.”
Ia terus memaksa. Aku pun menerimanya dengan senang hati, meski sesekali beralasan hanya untuk sekadar basa basi.
“Saya yakin kamu akan simpan pisau ini baik-baik. Kamu tidak mungkin juga menyembelih hewan,” ujarnya terkekeh sembari melepas nafas lega.
Jagal itu menegaskan ia tidak akan lagi menggunakan pisau yang sudah keluar dari takdirnya. Pisau itu dibuat oleh pande besi Damaskus hanya untuk menyembelih hewan yang mulia tanpa dosa. Karenanya ia harus dijaga tetap suci. Bahkan tidak boleh menyentuh tanah. Apalagi sampai digunakan untuk keperluan yang lain; memotong daun pisang sekalipun.
Ia menggambarkan esensi pisau itu sama dengan dirinya. Ia sudah ditakdirkan menjadi seorang penjagal. Esensi penciptaannya-lah yang nanti akan memaknai eksistensinya. Karenanya ia tidak ingin membuat pilihan-pilihan dan masuk ke dalamnya. Bahagia baginya adalah ketika ia telah menjalani esensi itu.
“Kalau saya keluar dari kodrat saya, disitulah saya merasa tidak bahagia,” imbuhnya usai membungkus pisau itu dengan kain putih.
“Seperti pisau ini, sudah keluar dari kodratnya. Ia tidak akan bahagia lagi ketika dipaksa kembali menyembelih hewan.”
Aku merenungi kata-katanya. Dalam hati aku bertanya-tanya. Dari mana ia bisa tahu takdirnya ditetapkan hanya menjadi tukang jagal?
“Seperti jagal Arab tadi, dari mana ia tahu cara menyembelih unta? Cara menyembelih itu sudah ditetapkan, jagal cuma menjalaninya saja.” Tiba-tiba saja ia berbicara seolah tahu apa yang kupikirkan. Aku makin kagum bercampur heran.
Sang jagal masuk begitu saja ke dalam biliknya tanpa pamit; meninggalkanku.[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Penulis buku harian, suka mengintip fenomena sosial, sekarang wartawan Lombok Post.