PPI: Politik Parokial “Indonesebagian”

“Indonesia adalah negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Maka itu, kesadaran multikultural dalam politik amat penting ditancapkan ke dalam hati dan juga pikiran para poli-tikus, agar keutuhan dan keluhuran nama Indonesia yang disandang dapat dipertanggungjawabkan—dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan diri dan kelompok semata, sehingga ‘Indonesia-raya’ tak berubah menjadi “Indone-sebagian.”
   —[Wangsyah, PPI, 2023]

BAGI Anda yang terlibat dalam dunia politik; baik sebagai pengamat maupun sebagai praktisi, barang kali tidak lagi asing dengan istilah politik parokial. Dalam kamus, “parokial” (pə-‘rō-kē-əl) merupakan kata sifat yang bermakna: terbatas, sempit akal, kerdil, dan picik mengenai pandangan politik dan sebagainya. Pelbagai kajian melaporkan bahwa di 1ndones1a, budaya politik parokial (parochial political culture) masih mengakar secara kuat.

Secara definitif, “politik parokial adalah budaya politik dengan tingkat partisipasi politik masyarakat yang sangat rendah—yang disebabkan oleh faktor kognitif, terutama minimnya pengetahuan dan wawasan masyarakat di bidang politik” (Maksudi, 2012: 59). Meski didefinisikan demikian, namun secara khusus, tulisan ini tidak membahas rendahnya partisipasi dan kepahaman politik masyarakat awam, melainkan rendahnya kepahaman politik kalangan elite poli-tikus itu sendiri, terutama sikap politiknya yang parokial. Mari ikuti ulasan selanjutnya!

Saya akan memulai dengan dalil pertama mengenai sikap “picik” dan “kerdil” kalangan elite poli-tikus dari pelbagai fraksi partai politik yang masih saja memobilisir masyarakat awam dengan cara-cara primordial melalui basis kultural, identitas, suku, ras, dan agama hingga kepada praktik money politic—yang dijadikan sebagai “mahar haram” dalam melancarkan “pelacuran” para elite.

Moral politik yang dilematis ini seolah menjadi hal lumrah, dan selalu dimanfaatkan serta dinikmati oleh kalangan elite dalam setiap kontestasi politik, sementara pendidikan politik yang bermutu dalam setiap sosialisasi politik (kampanye) tidak begitu menjadi prioritas. Padahal tugas penting politisi bukan saja melakukan konsolidasi secara entitas dengan hanya mencari suara semata, namun ada tugas etis, yaitu sebagai public educater.

Malah, yang banyak terjadi justru sebaliknya; masyarakat diracuni pikirannya dengan hal-hal pragmatik, diimingi janji-janji sampah, bahkan diadu domba hingga menimbulkan gejala fanatik yang berujung pada perpecahan. Mereka menikmatinya sambil berdansa dan bergembira ria di atas sana.

Dari fenomena “hidung politik” sebagaimana yang disampaikan melalui dalil pertama di atas, maka dengan tegas dan serius saya sampaikan bahwa budaya politik parokial tidak hanya berlaku dalam ranah tradisional masyarakat awam saja, melainkan juga berlaku dalam ranah struktural kepemerintahan elite poli-tikus yang kerdil, licik, dan sempit pikiran.

Sehingga, tak heran apabila kita sering mendengar ungkapan sarkas yang menyatakan, “isi dompet” lebih diutamakan daripada “isi kepala” setiap kandidat yang diusung maju. Kualifikasi elektabilitas calon pemimpin tidak lagi melalui klasifikasi dan pertimbangan etikabilitas dan intelektualitas. Maka wajar apabila banyak penyelewengan elite—yang melahap uang rakyat (korupsi).

Bahkan selain itu, belakangan ini juga telah mewabah makelar dalam dunia politik yang menjadikan politik sebagai wadah untuk melancarkan bisnis dan ekonomi kalangan makelar politik. Sehingga bukan lagi soal siapa pemimpinnya, tetapi siapa aktor di balik pemimpin tersebut. Pemimpin hanya menjadi kaki tangan partai politik beserta dengan koalisinya.

Situasi ini kemudian berkelindan bersamaan dengan masalah keadilan atas keterwakilan elite politik terhadap masyarakat—mengingat setiap partai politik memiliki basis massa dan kelompok masing-masing. Maka dalil kedua yang ingin saya sampaikan adalah bahwa sesungguhnya politik parokial dalam ranah struktural-kepemerintahan tidak benar-benar melayani kepentingan masyarakat secara luas; hanya remah-remah belaka—selebihnya adalah kepentingan sebagian kelompok saja.

Sebab, kemenangannya adalah hasil voting yang ditentukan oleh mobilisasi, dan bukan partisipasi; yang mengubah suara nurani dan analisa menjadi suara yang dibayar (money politics)—termasuk juga suara-suara keberpihakan subjektif berdasarkan suku, identitas agama yang kemudian juga dikomodifikasikan sebagai dagangan politiknya (politics of identity). Tentu Anda bisa lihat betapa banyak manusia-manusia (elite) poli-tikus bertopengkan agama, bahkan mereka berjanji atas nama Tuhan yang di atas kepala piciknya diletakkan kitab suci saat mengikrarkan sumpah jabatan.

“Pejabat di Indonesia, jangankan terhadap hukum, Tuhan pun tidak ditakuti….Sebab pejabat (manusia) adalah budak dunia. Agama hanyalah pemanis mulut semata. Mereka menggunakan agama selama itu memberi mereka nafkah dan keuntungan…”
  — Saduran Prof. Salim Said & Imam Husein as.

Strategi dan sikap politik sebagaimana yang dicontohkan di atas memperkuat dalil kedua karena sasaran (kebijakan) politiknya hanya ter-cover sebagian kelompok tertentu saja. tradisi politik yang demikian ini juga merupakan budaya politik paroki di kalangan elite, karena telah berlaku “picik” dan “zalim” terhadap masyarakat.

Antonio Gramsci (1972) menyebutnya dengan istilah “hegemoni” dalam pengertian “persekutuan kelas” yang mendominasi kelas lain (Gramsci, Prisson Netbooks, 1972). Sikap tendensius yang demikian sudah barang tentu telah menyalahi perintah UUD untuk bersikap adil; mengingat seorang pemimpin dan penguasa harus menjadi pengayom bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya, tanpa pandang bulu.

Meski budaya politik parokial memiliki jangkauan wilayah yang terbatas, namun otak (pikiran) para elitenya mesti haruslah luas melampaui sekat-sekat suku dan budaya kedaerahan serta keberpihakan terhadap masyarakat yang sedang dipimpinnya. Keadaan ini telah berlangsung lama dan bahkan generasi dangkal “the shallow” kalangan terpelajar (maha)siswa yang kemudian terjun masuk ke dunia politik juga menjadi penerus keprimitifan persekutuan politik parokial ini. Mari kita lihat dalam studi kasus berikut!

Baca Juga  Orientasi Sosial Keimanan

Politik Parokial Kalangan Elite: Kasus Persekutuan Pelajar Indonesebagian (PPI)

Saya akan memberikan satu contoh kasus “anonim” mengenai bagaimana politik parokial berlangsung di kalangan elite terpelajar (maha)siswa. Pada pertengahan 2000, salah satu organisasi bernama “Persekutuan Pelajar Indonesebagian (PPI)” melangsungkan Musyawarah Besar (MUBES) dalam pembentukan ketua umum beserta jajarannya yang baru.

Dua calon terkuat pada saat itu bernama Bash0nk dan Ba0ngdara, (“Basongdara” dalam bahasa Kupang, NTT: “saudara-saudara sekalian”). Singkat cerita, ketua umum baru dimenangkanlah oleh si Bash0nk dengan dua kemungkinan kuat. Pertama, karena 80 % basis anggota PPI (Persatuan Pelajar Indonesebagian) waktu itu masih satu suku dengan si Bash0nk. Kedua, karena si Bash0nk punya kedekatan khusus, baik secara diplomatis politik maupun ikatan emosional kesukuan dengan ketua umum lama bernama si Ach0nk, (ket: dalam bahasa Lambak-Sumatera, Ach0nk berarti menendang atau tendangan).

Dari dua kandidat yang disebutkan di atas, yang cukup layak untuk menjadi ketua umum sebenarnya adalah si Ba0ngdara; terlebih dari segi potensi akademik dan sikap kepemimpinan yang lumayan matang dari si Bash0nk. Hanya saja kekurangan si Ba0ngdara adalah kecenderungan “main hati” (baperan) sehingga berpontesi besar dari tindakkan yang diambilnya tidak berdasarkan pertimbangan hati dan pikiran yang seimbang. Namun hal yang penting adalah bahwa keterlibatan si Ba0ngdara mencalonkan diri sebagai ketum, bukan atas dasar mobilisasi melainkan karena sikap partisipasi sebagai satu kesadaran politiknya.

Berbeda dengan keterlibatan si Bashonk, selain karena dimobilisir, juga minim wawasan, serta gaya kepemimpinan yang latah. Karena (konon) si Bash0nk tidak mempunyai riwayat pengalaman berorganisasi yang memadai semasa menjadi mahasiswa tingkat rendah, sementara si Ba0ngdara pernah aktif dalam beberapa organisasi, termasuk keterlibatannya dalam organisasi berbasis “Islam Moderat”.

Politik yang dimainkan oleh si Bash0nk bukanlah “politik gagasan” melainkan politik sarana belaka, dan itulah mengapa ia dikatakan “minim wawasan.” Sementara dikatakan politik sarana, karena si Bash0nk hanya menjadikan “Persekutuan Pelajar Indonesebagian (PPI)”  sebagai sarana diplomatis untuk keuntungan dan kepentingan politik dinasti kerajaannya.

Sikap politik yang demikian adalah suatu kewajaran bagi si Bash0nk, sebab ia tumbuh dan besar dalam lingkungan kerajaan dinasti kekuasaan politik keluarganya, dan keadaan ini yang sedikit tidak menjadi motivasi dan hasrat kuat bagi si Bash0nk yang dengan percaya diri mau dan siap “menerima” estafet kepemimpinan dari si Ach0nk.

Hubungan diplomatis politis dan sentimentil kesukuan antara keduanya juga dimanfaatkan oleh si Ach0nk yang memiliki niat dan tujuan kuat dalam berkarir di dunia politik. Membangun hubungan baik dengan si Bashonk merupakan investasi politik yang menguntungkan bagi si Ach0nk. Lalu bagaimana sikap si Ba0ngdara pasca kekalahannya?

Kekalahan si Ba0ngdara sempat meninggalkan rasa kekecewaan dan kemarahan, karena menurutnya proses pemilihan waktu itu telah di-setting, dan basis massa telah dimobilisasi jauh-jauh hari oleh si Ach0nk bersama dengan sekawanannya. Dalam sebuah kesempatan si Ba0ngdara menyatakan, “…kenapa untuk mencalonkan diri saya harus melaporkan kepada si Ach0nk. Itu yang buat saya tidak terima…” Bahkan (konon) si Ba0ngdara sampai menumpahkan segala kekesalannya kepada si Ach0nk melalui percakapan yang sentimentil “via surat.”

Dalam konteks ini, nampaknya si Ba0ngdara kurang memahami bahwa dalam budaya politik parokial semacam ini terdapat satu tradisi, “sowan ke ketua/pemimpin sebelumnya untuk meminta dukungan”. Namun karena dari awal pencalonan si Ba0ngdara sudah memiliki sedikit sentimental kepada si Ach0nk (entah apa alasannya), dan tidak ingin dikendalikan serta bahasa tubuh si Ba0ngdara yang (menunjukan) “merasa memiliki kapasitas yang sama”.

Tak sedikit yang menilai bahwa sikap si Baongdara “terlalu baper dan main hati dalam politik,” (persis seperti namanya, Baongdara. Namun jangan salah, si Baongdara adalah sosok lelaki, bukan perempuan!). Akan tetapi seiring berjalannya waktu, si Baongdara akhirnya luluh dan menerima kekalahannya secara legowo, dan kemudian tetap bermitra baik dengan si Bashonk, bahkan belakangan juga bermitra baik dengan si Achonk beserta sekawanannya.

Idealisme dan keteguhan sikap politik demokrat si Ba0ngdara yang semula keras bagai karang, kemudian berubah melempem seperti “kerupuk Babi yang terkena air.” Sikap legowo si Ba0ngdara hadir bersamaan dengan satu kesadaran “kepantasan” bagi si Bash0nk untuk menjadi ketua, mengingat si Bash0nk memiliki legitimasi dan privalage kekuasaan politik dinasti keluarganya, maka dianggap sebagai kewajaran, atau seperti istilah yang selalu mereka ucapkan, “cocok!”

Belakangan, nampaknya si Ba0ngdara juga diam-diam menunjukkan sikap politis yang sama seperti si Ach0nk melalui hubungan baik—yang bukan sebagai “satu” kewajiban melainkan “karena” kewajiban yang didasari oleh motif politik terselubung (categorical imperative). Sikap amoral seperti ini adalah hal yang lumrah dalam kontestasi drama perpolitikan di Indonesebagian. Keadaan yang sedemikian ini membuat gaya kepemimpinan politik si Bash0nk yang elitis-primordial dan syarat akan penkultusan semakin menjadi-jadi.

Tak perlu ide dan gagasan konseptual dalam ber-PPI (Persekutuan Pelajar Indonesebagian), yang terpenting cukup dielu-elukan, dihormati, dan dikenal sebagai ketua, maka segala sesuatu urusan akan mudah dengan mengatasnamakan organisasi. Sehingga secara alam bawah sadar pun, si Bash0nk lebih merasakan klimaks citra sebagai ketua apabila berada di kalangan sekawanannya, walau dalam kendali si Ach0nk.

Baca Juga  Akademisi Indonesia dan Keberpihakan

Kesimpulan dari pergulatan politik dalam kasus organisasi “Persekutuan Pelajar Indonesebagian (PPI)”  di atas sangat menggambarkan “hidung” politik parokialistik di 1ndones1a hari ini. Dari kasus ini pula menunjukkan rendahnya kesadaran dan sempitnya wawasan politik (parokial) tidak saja hanya terjadi di kalangan masyarakat awam, tetapi juga di kalangan elit terpelajar itu sendiri.

Keadaan ini menjadi potret dari gagalnya pendidikan politik Indonesia untuk “mencangkul keluar lumpur kedunguan yang mengotori otak-otak elite politik kaum terpelajar”—dalam arti gagal membebaskan pikiran sempit dari sekat-sekat budaya feodal-primordial. Kaum terpelajar yang seharusnya menjadi agen perubahan (
agen of changes) malah terjebak dalam kejumudan berpikir, dan menikmatinya sebagai ”keniscayaan politik”. Sikap politik yang demikian merupakan bentuk pengkhianatan terhadap asas sistem demokrasi yang dianut negara.

Persekutuan Kelas, Hegemoni, dan Drama Politik PPI

Dalam budaya politik parokial, yang kerap dialami oleh masyarakat awam adalah bahwa mereka tidak merasakan sebagai warga negara dari suatu negara, namun lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas (Syuhada, 2020: 3). Secara alam bawah sadar, perasaan ini juga kerap masih melingkupi sikap politik elite terpelajar.

Dalam kasus kontestasi politik PPI (Persatuan Pelajar Indonesebagian) sebagimana yang diulas sebelumnya, “kepantasan” yang ditujukan kepada si Bash0nk untuk menjadi ketua karena memiliki privalage kekuasaan politik dinasti keluarganya sebagai kalangan “elitis-santri” (agamawan) merupakan satu sikap primordial dalam politik parokial—kendati diselenggarakan secara formal-legalis melalui pemungutan suara, namun akan tetapi masa telah dimobilisir dengan cara-cara yang tidak demokratis.

“Primordial artinya memberikan jabatan kepada golongan bangsawan tertentu dan mengagungkan jabatan daripada prestasi…” — (Situmorang, 1995: 18-20).

Dalam konteks perpolitikan PPI (Persekutuan Pelajar Indonesebagian), otak utama di balik kemenangan si Bash0nk adalah si Ach0nk—yang sekaligus menyerahkan estafet kepemimpinannya sebagai satu strategi hegemonik demi melindungi ideologi dan kultur. Dalam pengertian umum, hegemoni adalah loyalitas dari suatu kelompok yang dominan kepada kelompok lain. Dominasi kultur yang tidak adil serta dominasi legitimasi politik—yang dilakukan oleh si Ach0nk merupakan suatu proses penjinakkan kelompok sehingga mereka secara sukarela (consent) menerima tatanan status quo dan hubungan yang tidak adil.

Adapun proses hegemoni yang dilakukannya si Ach0nk ialah dengan memanfaatkan unsur-unsur terkait dalam organisasi—terutama legitimasi kekuasaannya sebagai ketua dengan melakukan intervensi “cawe-cawe” pada saat proses pencalonan hingga dengan cara-cara feodal dan primitif melalui pendekatan emosional kesukuan untuk mempengaruhi cara pandang dan keyakinan anggota lain—sehingga secara tak terasa mereka kehilangan bahkan melupakan kesadaran kritis terhadap sistem dan realitas yang ada.

Panggung teater perpolitikan pada kasus PPI (Persekutuan Pelajar Indonesebagian) sebenarnya merupakan drama lama dalam pesta demokrasi di 1ndones1a. Sehingga dengan sangat mudah apabila ingin membongkar peristiwa politik yang berlangsung. Dramaturgi Erving Goffman (1956) dan Dramatisme dari Kenneth Burke (1945) merupakan dua paradigma yang tepat untuk memahami drama dari pentas simbolik politik.

Dua teori ini hadir sebagai reaksi atas konflik sosial dan rasial dalam masyarakat, termasuk juga dramaturgi politik yang lahir dari dialektika dan konflik politik—tempat para aktor poli-tikus saling berinteraksi sehingga melahirkan fenomenologi politik di ruang sosial, (baca: Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, 1956).

Pemilihan yang terlihat di panggung depan (front-stage) merupakan sandiwara politik yang di-setting oleh si Ach0nk dengan sekawananya di belakang panggung (back-stage). Adalah hal wajar, apabila dramaturgi politik demokrasi seringkali memamerkan pertunjukkan yang mengecewakan penonton—sebagaimana yang dialami oleh si Ba0ngdara. Alur dongeng yang ditampilkan sering kali tidak sesuai dengan endingnya. Judul dramanya perihal Persatuan 1ndones1a raya, tapi isi dan alurnya justeru Persekutuan Indone-sebagian []

Bersambung…


Catatan:
Studi kasus organisasi politik PPI (Persatuan Pelajar Indonesebagian) yang diangkat dalam tulisan ini bersifat “Anonim.” Ada pun kesamaan alur, kejadian, nama dan tempat dalam ulasan tulisan ini merupakan sesuatu yang bersifat kebetulan semata.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *