MAEMUNAH sudah merasa dirinya bakal dimarahi saat kembali pulang ke kampungnya. Bukan saja oleh ibunya, tapi juga oleh orang sekampung. Ia adalah ikon kampungnya; sebuah daerah terpencil, di atas pegunungan Bima, Nusa Tenggara Barat.
Di bus yang membawanya, Maemunah tidak bisa lepas dari kekhawatiran; dicaci orang sekampung. Gara-garanya hanya persoalan rambut. Memiliki rambut hingga bisa diinjaknya sendiri membuatnya spesial. Memang di kampung banyak gadis berambut panjang, tapi tidak sepanjang rambutnya.
Maemunah memiliki rambut tebal, hitam dan lurus seperti tali layangan. Rambut itu tidak pernah dipangkas, bahkan sejak ia lahir. Rambut itu dirawat ibunya, seperti bayi kedua. Selang dua hari sekali dikeramas dengan kelapa tua yang dibakar dicampur kemiri. Kelapa tua itu bukan diparut, tapi dimamah hingga halus. Perahan air kelapa yang bercampur ludah, diyakini mampu menjaga kesuburan rambut. Sedangkan tumbukan kemiri, membuat rambut menjadi hitam dan lebat, dan sulit untuk patah. Hasilnya, setelah 20 tahun, rambut itu terus memanjang.
Maemunah mengenang ketika ia diajak kepala desa di kampungnya mengikuti parade budaya di Kota Bima. Saat itu ia masih SMA. Panjang rambutnya sudah mencapai mata kaki. Ia langsung menerima ajakan tersebut. Bukan karena ingin menunjukkan rambutnya yang panjang dan hitam legam. Tapi ingin melihat dunia lain di bawah kampungnya.
Sejak lahir, ia hidup di atas awan. Setiap pagi, ia biasa memeluk awan dingin yang menutupi kampungnya. Di bawah kampungnya, kata orang-orang, tidak ada awan. Ia ingin menyaksikannya dengan mata sendiri.
Perjalanan dari kampungnya menuju kota, merupakan perjalanan yang menyenangkan. Bersama belasan gadis, ia duduk di bak truk pengangkut sapi. Sepanjang perjalanan, ia sibuk menata rambutnya yang terhempas angin. Rambut itu kerap menampar wajah, atau mencolok mata orang di dekatnya. Ikatan rambutnya tidak cukup kuat menahan terpaan angin yang ditabrak truk berkecepatan tinggi. Tapi orang-orang tetap bahagia. Yang tercolok matanya malah tertawa.
Rumah-rumah batu besar di pinggir jalan memanjakan mata Maimunah. Beberapa mobil dan sepeda motor yang berseliweran membuatnya takjub. Tak lepas matanya memandang sesuatu yang baru, yang tak pernah dilihatnya di kampung.
Tiba di kota, Maemunah menjadi pusat perhatian. Semua mata memandangnya takjub. Tak pernah ada gadis yang memiliki rambut panjang hingga mata kaki. Apalagi rambut itu sangat indah; hitam legam, subur dan lurus. Maemunah berjalan dengan bangga. Gadis SMA memang selalu ingin jadi bintang.
“Rambut itu jangan sampai di dompo (potong),” nasehat sang kepala desa. Saat itu Maemunah berjanji tidak akan pernah memangkas rambutnya sampai kapanpun.
—-
Di dalam bus malam yang membawanya, Maemunah tersenyum sendiri mengingat masa itu. Tapi senyumnya musnah saat ia dengan reflek memelintir rambutnya. Kini rambut itu hanya sebahu. Ia ingat, dirinya menangis seharian penuh saat rambutnya dipangkas.
Beragam perasaan berkecamuk, antara menyesal, sedih dan takut. Rambut itu telah dipeliharanya sejak lahir, dan kini harus terpisah dari dirinya. Ia terpaksa memotong rambutnya. Bukan hanya karena uang yang dijanjikan seseorang. Bukan pula karena rambut itu mengganggunya. Ia sudah terbiasa dengan rambut panjangnya – dari kecil.
—
Ketika tamat SMA, Maemunah dikirim ibunya ke kota besar untuk kuliah. Jarak kota itu, sehari semalam dari kampungnya dengan berkendara bus. Di sana, Maemunah tersadar, ada dunia yang berbeda sama sekali dengan dunia yang selama ini dikenalnya, bahkan Kota Bima sekalipun. Dunia di mana gadis-gadis berambut pendek. Paling panjang hanya sampai punggung. Bahkan ada yang di-cepak mirip tentara.
Awalnya Maemunah merasa biasa saja, bahkan bangga. Namun setiap hari menjadi pusat perhatian membuat ia merasa seperti alien. Kemanapun ia berjalan, selalu ada mata yang memandang. Hal ini membuatnya sangat tidak nyaman. Ia bukan tidak berusaha menyembunyikan rambutnya. Tapi ikatan apapun tidak akan bisa menyembunyikan rambut panjangnya yang sudah menyentuh tanah.
Setiap orang hanya bertanya tentang rambutnya. Mereka kagum dan heran-masih ada gadis dengan rambut sepanjang itu.
Maemunah terus menjadi pusat perhatian. Ia risih, bahkan merasa seperti ditelanjangi. Maemunah ingin seperti gadis kebanyakan yang merasa nyaman dengan penampilannya. Tapi tidak ada kawan yang bisa dimintai tolong untuk memotong rambutnya. Semua menolak. Sayang jika rambut sebagus itu harus disingkirkan.
Tiba satu ketika, seorang banci menawar rambutnya. Ia bersedia membayar Rp 5 juta untuk rambutnya yang panjang. Tawaran itu datang di waktu yang tepat. Ia butuh uang untuk bayar uang wisuda. Ibunya yang hanya seorang janda miskin, tidak akan pernah sanggup menyediakan uang berjuta-juta untuk prosesi wisudanya. Bahkan selama di kota itu, Maemunah menghidupi dirinya sendiri dengan menjadi tukang cuci seterika tetangga di sekitar kosnya.
Hanya sehari ia merenung, sebelum akhirnya menyetujui tawaran tersebut. Banci itu sendiri yang memotong rambut panjangnya hingga sebahu. Usai mendapatkan apa yang dia mau, banci berambut kuning itu berlalu dengan gembira. Tinggallah Maemunah yang menangis sesenggukan. Maemunah berusaha menghibur hatinya. Rambutnya masih bisa kembali – meski harus menunggu 20 tahun lagi.
“Wisuda tidak bisa ditunda,” batinnya.
Bus malam yang membawanya terus melaju kencang. Sang supir sesekali mengobrol dengan kondekturnya yang kurus namun berotot. Maemunah menatap jam di tangan kirinya. Sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Sebentar lagi busnya memasuki terminal di Kota Bima. Ada adik laki-lakinya yang menunggu di dalam terminal.
Sang adik tidak berkomentar apa-apa dengan penampilan Maemunah. Ia hanya berjalan memikul tas ransel besar menuju sepeda motor kepala desa yang dipinjamnya. Selama perjalanan di atas sepeda motor, keduanya larut dengan pikiran masing-masing.
Tiba di desanya, di atas sebuah bukit di selatan Kota Bima, kabut masih cukup tebal. Tidak ada orang yang memperhatikan dua bersaudara itu. Mereka tetap melaju hingga di ujung kampung. Sebuah rumah panggung tua tepat berada di tengah kebun yang dikelilingi pagar kedondong. Tidak ada pintu di pagar hidup yang terus dipangkas itu. Agar bisa masuk, setiap orang harus memanjat pagar yang lebih pendek. Di depannya sengaja diletakkan meja kecil lapuk sisa jualan. Meja itu dijadikan tangga untuk memanjat pagar setinggi satu setengah meter.
Hati Maemunah berdegup kencang saat kakinya menaiki tangga rumahnya yang masih sama sejak ia kecil. Maemunah hampir menangis karena takut.
“Waura rongga ana (sudah pulang nak)?”
Suara serak menyambutnya dari balik sebuah kamar. Satu-satunya kamar di rumah panggung enam tiang itu. Isi dalam rumah masih sama. Bahkan perabotannya tidak ada yang bergeser.
Maemunah menuju sumber suara, dan langsung memeluk pemiliknya yang renta. Maemunah menangis keras seperti anak kecil; cukup lama. Berkali-kali Maemunah memohon ampun. Ia menyesal, seperti penyesalan gadis kecil yang sengaja membuang bonekanya ke dalam jurang.
Ibunya bingung. Ia hanya merasa anak gadis satu-satunya itu sangat rindu – empat tahun lamanya tidak pulang. Dibiarkan anak gadisnya itu menangis sepuasnya. Ia hanya mengelus-elus kepala sang gadis.
Kali ini Maemunah yang bingung – tidak ada teriakan amarah yang keluar dari mulut ibunya. Ia melepas pelukan itu dan menatap mata ibunya dalam-dalam. Mata itu putih, menerawang kosong. Maemunah sadar, ibunya tidak bisa melihat.
Maemunah kembali menangis, kali ini lebih keras lagi. []
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Penulis buku harian, suka mengintip fenomena sosial, sekarang wartawan Lombok Post.