DI sela-sela acara Mbojo Writers Festival (MWF) di Kalikuma Library and Educamp, Pantai Ule, Kota Bima pada 26-28 Oktober 2021 saya terlibat obrolan ringan dengan sahibul hajat Prof. Dr. Abdul Wahid. Secara guyon pemikir dan aktivis sosial ini meminta saya dan teman-teman pegiat literasi Kabupaten Dompu untuk menginisiasi acara yang sama di bumi Nggahi Rawi Pahu tahun berikutnya.
Sebagai catatan, bahwa sepengetahuan saya MWF sendiri adalah event pertama di Nusa Tenggara Barat (NTB). Tidak banyak kota atau daerah yang berinisiatif menyelenggarakan event yang mempertemukan penulis, pembaca dan para pegiat literasi semacam ini. Kita bisa menyebut misalnya Ubud Writers and Readers Festival di Bali yang sudah mendunia atau Makassar, Sulawesi Selatan.
Menerima tantangan Wahid, jujur saya pribadi sangat antusias dan menganggapnya sebagai sebuah kehormatan untuk menjadi tuan rumah acara bergengsi tersebut. Tetapi kemudian saya tersenyum kecut membayangkan bahwa pasti tidak mudah juga menyelenggarakan acara semacam ini, meski saya tahu bahwa MWF pun digelar dengan segala keterbatasannya. Yang terpenting dari MWF, kata Wahid, adalah spirit acara ini bagi perkembangan dunia literasi di daerah.
Jika dibandingkan beberapa daerah tetangga seperti Bima, Sumbawa apalagi Lombok maka perkembangan literasi di Dompu masih lamban. Hal itu setidaknya dapat dilihat dari kiprah maupun jumlah komunitas literasi yang ada. Sejauh ini Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang Dompu misalnya, baru beberapa yang relatif aktif seperti TBM O’o Mantika (Kecamatan Dompu) atau TBM Kaki Tambora (Kecamatan Pekat). Demikian juga organisasi atau komunitas penulis seperti Forum Lingkar Pena (FLP) atau sejenisnya belum terbentuk. Padahal keberadaan berbagai komunitas ini sangat penting sebagai support system dalam penyelenggaraan event literasi. Dengan kata lain beberapa komunitas literasi di Dompu masih bergerak sendiri-sendiri dan belum terkoordinasi dengan baik.
Menengok Komunitas Jejak Literasi
Kondisi kekosongan wadah tersebut akhirnya terjawab ketika Komunitas Jejak Literasi (KJL) Dompu berhasil menghimpun para pegiat literasi dalam sebuah Diskusi Publik bertema “Dunia Kepenulisan, Buku dan Literasi” pada 25 April 2023 di Aula Dinas Dikpora Kabupaten Dompu. Acara ini sekaligus menjadi cikal bakal ‘kebangkitan’ KJL Dompu, sebuah komunitas yang digagas oleh anak muda keren Teguh Wira Sakti, dkk. Wadah ini seolah menjadi oase di tengah kerinduan terhadap kehadiran komunitas literasi untuk berhimpun dan berbagi nafas literasi dan karenannya mendapat sambutan hangat dari para pegiat literasi Dompu.
Memanfaatkan suasana dan libur Idul Fitri, diskusi ini dihadiri berbagai kalangan seperti para pengelola TBM, penulis, dosen, mahasiswa, wartawan, aktivis perempuan, ibu-ibu dan diaspora Dompu yang sedang mudik. Diskusi ini menampilkan tiga pembicara yakni Muhammad Hidayat Chaidir MEd (penulis dan dosen Universitas Bina Bangsa, Cilegon), Syafrudin ST MT (ASN, planolog sosial, dosen STIE Yapis Dompu) dan saya sendiri Ilyas Yasin MMPd (dosen STKIP Yapis Dompu). Diskusi dipandu Fasilitator Anak Nasional Intan Putriani dan dibuka secara resmi oleh Kadis Dikpora Kabupaten Dompu Drs H Rifaid MPd serta dihadiri dua Kabid Dikpora.
Kendati tergolong sederhana tapi kegiatan ini juga menyisakan kepiluan sekaligus menggambarkan pahitnya perjuangan saudara Teguh dkk sebagai penyelenggara. Bukan sekadar penundaan acara dari Jumat ke Selasa, atau pemindahan tempat dari Gedung PKK ke Aula Dikpora Kabupaten Dompu, tapi juga aspek teknis lainnya. Dua jam jelang acara dimulai sekadar mendapatkan proyektor saja panitianya pontang-panting—alat bantu yang sebetulnya jadi barang wajib di hampir semua lembaga pemerintahan maupun swasta.
Saat dikabari Teguh kesulitan proyektor ini saya berharap pihak Dikpora mengeluarkan kesaktiannya. Toh acara ini digelar di aula dinas bahkan dibuka oleh pak Kadis Dikpora. Dengan otoritas dan kewenangan yang dimiliki lembaga plat merah ini tentu tidak sulit, meski dalam suasana libur Lebaran, untuk membantu kendala yang dialami panitia. Tidak hanya itu. Sound system dan proyektor juga rewel sehingga saya, narasumber maupun moderatornya juga jadi badmood. Poin saya adalah, rangkaian ini menunjukkan bahwa jalan terjal untuk menyalakan obor literasi di Dompu memang masih panjang. Kami juga sempat menyarankan ke panitia ke depannya agar mendesain acara sejenis lebih rileks dan tak perlu formalistik, tapi cukup sambil ngopi di kafe bayar masing-masing, bahkan lesehan di trotoar.
Setelah diskusi publik tersebut, panitia mengagendakan untuk beberapa kegiatan lanjutan dan berhasil dilakukan seperti Kelas Menulis, Diskusi Novel, menggelar lapak buku di acara Car Free Day dan paling monumental adalah Sayembara Esai Tingkat SMA sederajat se Kabupaten Dompu. Sebagai aktivitas yang berbasis kesukarelaan–apalagi untuk komunitas yang masih belia–maka sejak awal para pegiat literasi yang tergabung dalam KJL ini sudah berkomitmen bahwa kegiatan KJL tidak boleh terhalang oleh masalah sewa tempat atau urusan snack saat kegiatan. Pokoknya jalan aja. Sesederhana apapun kegiatannya atau hanya dihadiri beberapa orang. Jadwal kegiatannya pun sengaja dipilih akhir pekan atau hari libur demi menyesuaikannya dengan kesibukan masing-masing, terutama emak-emak. Namanya juga kegiatan volunter.
Berbeda dengan relawan politik yang boleh jadi sponsornya melimpah, di komunitas ini para pegiatnya tidak mau dipusingkan oleh soal uang. Benar-benar sukarela. Malah harus merogoh kocek sendiri. Salah satunya ya soal snack itu. Kami menyepakati agar setiap anggota membawa bekal masing-masing saat menghadiri kegiatan. Hasilnya efektif bahkan seusai kegiatan makanan ringan dan minuman berlimpah. Beberapa anggota malah berinisiatif membawa bekal dalam jumlah lebih dan dibagikan kepada yang lainnya. Beberapa kegiatan KJL mendapatkan pinjaman tempat di Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Dompu, lapangan pendopo bupati, atau di Yayasan Pendidikan Anak Dompu (YPAD). Dengan menggelar kegiatan sambil ngopi dengan konsep BSS (bayar sendiri-sendiri), para pegiat KJL berharap jihad literasi di Dompu dapat bernafas lebih panjang.
Catatan dari Sayembara Esai
Sepanjang Desember 2023 pegiat KJL mendatangi selusin SMA sederajat untuk melakukan sosialisasi Sayembara Menulis Esai, selain yang dilakukan via media sosial. Seperti sudah diperkirakan, misi ini adalah kerja-kerja raksasa dan tidak mudah di tengah problem membangun minat baca maupun gempuran gawai yang melanda anak-anak remaja. Di sekolah-sekolah yang dikunjungi akhirnya misi muhibbah tidak sekadar sosialisasi tapi juga harus menjelaskan esai itu apa, apa bedanya dengan jenis tulisan lain dan seterusnya. Harus diakui cukup kesulitan menjelaskan kepada para siswa perihal ‘jenis kelamin’ tulisan esai ini. Kalaupun dijelaskan secara teoretis tampaknya mereka tetap kesulitan memahaminya.
Untuk menjawab pertanyaan siswa, tim berjuang menjelaskan secara sederhana apa esai tersebut. Misalnya esai ini mirip kayak curhat. Meski literasi kini adalah isu nasional, bahkan banyak sekolah mengakui indeks literasinya masih merah, tapi sering kehadiran KJL bertepuk sebelah tangan. Tak jarang saat sharing dengan para siswa di lapangan atau di kelas guru membiarkan kehadiran pegiat KJL begitu saja; seolah literasi adalah urusan KJL. Sedangkan guru ngumpul di kantor atau ngerumpi dengan sesama guru di baruga. Malah sebagian pihak sekolah menganggap literasi hanya urusan guru bahasa Indonesia, hehehe.
Acara malam puncak Sayembara Menulis Esai akhirnya digelar pada 6 Januari 2024 di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Dompu dan berlangsung meriah. Acara dibuka oleh Sekda Dompu, H. Gatot Gunawan P. Putra dan dihadiri pejabat terkait, perwakilan organisasi, komunitas, undangan, Duta Pariwisata Dompu, Duta Putra-Putri Dompu, pegiat sastra dan budaya. Sayembara ini terdiri atas dua kategori lomba yakni Pelajar dan Umum. Acara puncak ini juga diisi beberapa penampilan seperti akustik, dialog kebudayaan serta pantomin anak-anak.
Dari 61 naskah tulisan yang masuk (38 kategori umum dan 23 kategori pelajar) 90 persen diantaranya adalah artikel ilmiah atau opini bukan esai. Hal itu menegaskan bahwa sebagian besar peserta belum memahami secara baik apa itu esai. Bertindak sebagai juri Sayembara Menulis Esai ini adalah Muhary Wahyu Nurba (Makassar), Salmi Ramdhani (Yogyakarta), Diana Purwati dan Ilyas Yasin (Dompu).[]
Ilustrasi: Kalikuma Studio
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.