Ranjau Moralitas Berfikir

TERJEREMBAB dalam bayang-bayang khidmat pendidikan agama, di balikpapan ketenangan yang seharusnya menjadi tempat menyejukkan bagi para santri, sebuah rahasia mencongkel nurani kita. Lingkungan pesantren, yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai moral, telah ternoda oleh tindakan keji yakni kekerasan seksual.

Menyelinap seperti ular dalam taman suci, menggigit dan meninggalkan bekas luka mendalam yang tak terlihat mata awam. Tidak sedikit suara hanyut dalam keheningan malam, jerit menggigil ketakutan, terbungkam  malu dan ketakutan tanpa dasar.

Kekerasan seksual pesantren telah jadi ironi kelam yang menghantui para korban, terperangkap dalam struktur hierarkis yang menutup pintu keadilan dan pemikiran. Para santri, yang mendarat dan berlabuh dengan wajah yang lugu dan semangat menimba ilmu, sering kali menemukan diri mereka dalam situasi di mana justru tak berdaya melawan sosok yang seharusnya menjadi panutan dan pelindung.

Kekerasan ini tidak hanya merusak tubuh, tetapi juga mencabik-cabik jiwa bagaimana Hamzah di ambil hatinya dalam perang Uhud, menjadi borok mendalam membekas tentu seumur hidup. Rasa takut yang terus membayangi, serta tekanan untuk tetap diam demi menjaga nama baik institusi menjadi beban berat yang harus mereka jinjing sendirian.

Kekerasan seksual di lingkungan yang seharusnya suci ini adalah dosa yang lebih berat karena ia terjadi di bawah sarung kesucian, di balik kerudung keimanan yang seharusnya melindungi. Para pelaku sering kali berlindung di balik status quo mereka sebagai pemuka agama atau pendidik, menggunakan otoritas mereka untuk menutupi tindakan keji tersebut.

Di dalam pesantren, kehormatan dan ketaatan diajarkan sebagai nilai tertinggi, banyak santri yang merasa terperangkap dalam dilema antara berbicara dan mempertaruhkan segalanya, atau tetap diam dan hidup dalam bayang-bayang kegelapan. Setiap hari, mereka berjalan di atas jalan berduri, mencoba bertahan dari trauma yang tidak semestinya mereka alami di tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua.

Baca Juga  Islam Wasathiyah: Jalan Tengah di Negeri Multikultural

Menutup mata sama saja dengan menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Kekerasan seksual di lingkungan pesantren manifestasi sebuah noda hitam penjaga moralitas dan spiritualitas. Ketika kita memilih untuk berpaling, kita secara tidak langsung memberikan ruang bagi kejahatan ini untuk terus terjadi dan berkembang di tempat-tempat yang seharusnya menjadi benteng terakhir dari nilai-nilai kebaikan.

Masyarakat, sebagai bagian tak terpisahkan dari lingkungan pesantren, memiliki tanggung jawab moral yang besar. Tanggung jawab ini tidak hanya terbatas pada simpati atau keprihatinan semata, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata untuk melindungi mereka yang paling rentan, yaitu para santri. Mereka datang dengan hati dan pikiran yang tulus untuk menimba ilmu, bukan untuk menjadi korban kekerasan yang justru datang dari orang-orang yang mereka percayai.

Perjalanan menuju pembebasan dari belenggu kekerasan seksual di lingkungan pesantren adalah jalan panjang yang membutuhkan keberanian kolektif untuk membongkar tembok keheningan. Kita tidak bisa membiarkan rasa takut mengalahkan keadilan.

Namun, tanggung jawab ini tidak bisa hanya berhenti pada tindakan reaktif. Melaporkan atau menghukum pelaku saja tidak cukup. Kita perlu menggali lebih dalam, mencari akar masalah yang memungkinkan kekerasan ini terus terjadi.

Apa yang membuat pelaku merasa bisa melakukan kejahatan ini tanpa takut akan konsekuensi? Apakah karena struktur hierarkis yang terlalu kaku dan tertutup sehingga para korban merasa terisolasi? Ataukah karena kurangnya pengawasan dari pihak luar yang memungkinkan kekerasan ini terjadi secara sistematis? Kita harus menelusuri setiap celah yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, dan mengubahnya menjadi sistem yang transparan dan akuntabel.

 Ini termasuk memastikan bahwa ada saluran komunikasi yang aman dan terlindungi bagi para santri yang ingin melaporkan kekerasan yang mereka alami tanpa takut akan balas dendam atau stigma.

Baca Juga  Perempuan Berdaya dalam Pemilu

Perjalanan menuju pembebasan dari belenggu kekerasan seksual di lingkungan pesantren adalah jalan panjang yang membutuhkan keberanian kolektif untuk membongkar tembok keheningan. Kita tidak bisa membiarkan rasa takut mengalahkan keadilan. Kita harus berani membuka tabir yang selama ini menutupi kenyataan pahit ini, meskipun mungkin ada banyak yang merasa terganggu atau tidak nyaman dengan kebenaran yang terungkap.

Suara-suara yang selama ini tertahan harus kita dengar, kita pahami, dan kita akui, karena hanya dengan begitu kita bisa memastikan bahwa tidak ada lagi santri yang merasa sendirian dalam penderitaan mereka. Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu, dan pesantren harus dikembalikan fungsinya sebagai tempat yang benar-benar suci dan aman, tidak hanya dalam nama, tetapi juga dalam praktik nyata.

Hanya dengan upaya yang serius dan komitmen dari seluruh elemen masyarakat, kita dapat menghapus luka yang tersembunyi di bawah jubah suci ini dan mengembalikan cahaya ke dalam hati para santri yang terluka, sehingga mereka bisa kembali merasakan kedamaian dan keamanan yang sejati di lingkungan yang seharusnya melindungi mereka.[]

 

 Ilustrasi: Kalikuma Studio

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *