Nakhoda Baru: Spirit Pemajuan Kebudayaan Indonesia

KIRANYA cukup tepat jika Indonesia punya menteri yang mengurusi secara serius tentang kebudayaan. Selama ini ketika digabung dengan Kementerian Pendidikan, anggaran lebih dominan dialokasikan ke pendidikan ketimbang kebudayaan. Bahkan meski ada Dirjen Kebudayaan pun masih tak cukup maksimal untuk membawa arah kebudayaan Indonesia lebih berdaulat.

Spirit berkebudayaan kita kadang reaktif, ketika suatu bentuk kebudayaan diklaim oleh bangsa serumpun, misalnya Malaysia yang pernah mengklaim batik sebagai kebudayaan mereka. Begitu juga keris yang konon juga sedang dalam pengajuan untuk diakuisisi sebagai warisan budaya mereka, baru lah kita mulai heboh merasa kecolongan. Bahkan pak Nadiem sekalipun ketika menjabat sebagai Mendikbud periode kemarin, terkesan tak mempunyai gebrakan tentang arah dan seperti apa kebudayaan Indonesia. Justru yang berkembang adalah budaya baru dalam bentuk serba cepat melalui layar ponsel kita, salah satunya Gojek.

Kebudayaan dalam asuhan Kemendikbud priode kemarin tidak diberikan ruang yang lebih luas seperti apa arah kebijakan kebudayaan Indonesia. Bahkan sang Menteri, Nadiem terkesan tidak peduli tentang kebudayaan itu sendiri; entah karena tidak tertarik mengurusi kebudayaan atau memang sudah ada porsi masing-masing di jajaran kementerian. Sangat jarang sekali kita lihat Nadiem menghadiri event-event kebudayaan. Berbeda dengan Prof. Muhajir Effendy sewaktu menjabat Mendikbud (2016-2017) yang secara tegas dan lantang menyuarakan tentang pentingnya kebudayaan dalam Forum Dewan Guru Besar di UGM.

“…Seharusnya istilah Kemdikbud itu diganti; dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementrian Kebudayaan dan Pendidikan. Istilah “Kebudayaan” harus didahulukan dari kata Pendidikan. Sebab, kebudayaan itu sendiri sudah menaungi pendidikan, dan pendidikan pun juga mestinya berbasis pada kebudayaan. Akan tetapi, perkara mengubah nama menjadi Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan itu pun mesti menghabiskan ratusan milyar.Jjadi ya sudah dibiarkan saja…”

Tidak hanya itu, Prof. Muhajir Effendy juga banyak mengajukan konsep bahwa kebudayaan dalam konteks lokal seharusnya juga diberikan ruang yang lebih banyak dalam pembelajaran di pendidikan-pendidikan formal, tak cukup hanya dengan inisiasi Sabtu-Budaya, ataupun anak-anak sekolah diminta berpakaian adat di akhir pekan.


Nakhoda Baru dan Spirit Kemajuan Kebudayaan

Memasuki tahun baru sekaligus diikuti wajah kepemerintahan baru, Presiden Republik Indonesia Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto memberi mandat kepada Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan RI. Tidak membutuhkan waktu lama, dengan semangat baru Menteri Kebudayaan Fadli Zon datang menghadiri Dialog Kebudayaan yang diselengggarakan di Mataram, NTB pada 7 Januari 2025. Dialog tersebut diinisiasi oleh Dewan Kebudayaan Daerah NTB yang dinakhodai oleh Prof. Dr. H. Abdul Wahid, M.Ag.,M.Pd and teams didukung oleh Bappeda NTB, membahas arah kebijakan kebudayaan nasional serta implikasi dan kontribusinya di daerah.

Baca Juga  Awas Buaya

Sebelum menghadiri Dialog Kebudayaan yang berlokasi di gedung teater Taman Budaya NTB, terlebih dulu Menteri Fadli Zon menyempatkan diri berkunjung ke Museum NTB dalam rangka pelantikan pengurus Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) Provinsi NTB sekaligus meresmikan program “Kotaku Museumku, Kampungku Museumku.” Sewaktu di Museum NTB, beliau sungguh kagum melihat banyak sekali koleksi manuskrip Lontar yang jumlahnya mencapai 1.300-an naskah.

“…Saya terkejut, pulau sekecil ini mempunya koleksi naskah yang begitu banyak, bahkan bukan hanya naskah Lontar tetapi juga al-Qur’an kuno tulisan tangan juga ada sebagai kekayaan warisan budaya di NTB… termasuk naskah Negarakertagama sebagai “magnus opus” Mpu Prapanca juga ditemukan di Lombok setelah dirampas oleh Kolonial… tentu ini menunjukkan bahwa NTB sangat kaya dengan khazanah keilmuan tentang manuskrip yang seharusnya bisa diekstrak sebagai pengetahuan dalam melihat masa lalu dan dikontekstualisasi ke masa kini…”

Meski Kementerian Kebudayaan sudah berdiri sendiri, namun di tingkat provinsi dan kabupaten/kota pun dinasnya masih tetap digabung yakni Dikbud. Hal itu juga ditanggapi oleh salah narasumber dari Ditjen Kebudayaan Bappenas yang juga menjadi bahwa salah satu aspek penganggaran untuk pemajuan kebudayaan salah satunya kaitannya dengan pengajuan warisan hak kekayaan kebudayaan yang mesti diajukan untuk mendapatkan pengakuan.

Beberapa waktu lalu, sekitar Mei 2024 salah seorang kawan yang bekerja di Ditjen Kebudayaan datang ke Lombok untuk verifikasi pengajuan Warisan Budaya Benda dan Tak Benda yang ada di Lombok dan Sumbawa. Ia meminta saya sebagai informan untuk verifikasi awal beberapa situs yang diajukan sebagai warisan budaya (mohon maaf untuk situsnya belum bisa disebutkan). Ia juga bercerita di wilayah lain justru warisan budaya tak benda bahkan sekarang banyak yang diajukan juga untuk mendapatkan pengakuan dunia, yang dalam hal ini UNESCO sebagaimana yang sedang diajukan oleh Pemda Yogyakarta mengenai garis lintang kosmologis dari Merapi sampai ke Keraton sebagai nilai filosofis warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage: ICH).

Baca Juga  Gagap Bermedsos, Tapi Sepertinya Kita Pula Pelakunya

Adanya Kementerian Kebudayaan ini juga tentunya tidak hanya melihat kebudayaan dari sudut pandang adiluhung, elitis. Tetapi bagaimana memberikan ruang kepada masyarakat untuk berkebudayaan sesuai dengan apa yang ada dalam kehidupan mereka. Konsep culture is everyday life, tentunya untuk mematahkan hal-hal dikotomis dalam melihat kebudayaan yang tidak hanya dari sudut pandang kelompok yang mengklaim sebagai penjaga kebudayaan.

Terlebih lagi dengan adanya UU No.5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dengan 10 komponennya, semua masyarakat bisa bersinergi untuk mendukung hal tersebut tanpa perlu rebutan juga bahwa suatu kebudayaan menjadi identitas suatu kelompok masyarakat tertentu. Salah satu narasumber dalam dialog tersebut, Prof. Dr. Mahyuni, yang juga salah seorang pengurus Dewan kebudayaan NTB, menyatakan:

“…di banyak daerah lainnya, anggaran terkait pengajuan warisan kebudayaan cukup maskimal didukung oleh pemda mereka. Sementara di Lombok atau NTB secara umum masih dilakukan secara mandiri oleh pegiat-pegiatya. Sehingga banyak kebudayaan-kebudayaan yang ada di Lombok justru sudah diajukan oleh kelompok lain di luar Lombok, seperti Jajan tradisional, kemudian Sapuq (kain ikat kepala) juga diklaim oleh kelompok tertentu yang jika dilihat sebenarnya cukup jelas perbedaan antara Sapuq Lombok, Bali, dan lainnya…”

Meski paparan sambutan Menteri Fadli Zon dalam dialog kebudayaan itu cukup singkat, namun terlihat begitu antusias dengan mendukung terbentuknya kawasan Pemajuan Kebudayaan di NTB. Sebagai penutup, beliau berjanji, “silaturahmi dalam agenda yang membahas kebudayaan tidak hanya sekali seperti ini, bahkan mendorong supaya NTB punya agenda-agenda nasional yang bertema kebudayaan yang nantinya juga akan disokong oleh Kementerian Kebudayaan. Kita tunggu gebrakan-gebrakan pemajuan kebudayaan tersebut melalui Dewan Kebudayaan Daerah sebagai mesin penggerak.” []


Editor: Wangsyah
Gambar: RRI.co.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *