Lebaran Topat adalah tradisi khas masyarakat Sasak yang dirayakan seminggu setelah Idul fitri, bertepatan dengan 7 Syawal dalam kalender Hijriyah. Tradisi ini merupakan bentuk syukur kepada Allah atas kelancaran ibadah puasa, termasuk puasa sunah selama enam hari setelah Ramadan.
Namun, di balik aspek keagamaan, Lebaran Topat menyimpan makna ekososial dan ekologis yang kuat, menjadikannya relevan untuk dibaca melalui lensa ekofenomenologi—suatu pendekatan filosofis yang menekankan pengalaman manusia yang sadar dan bermakna terhadap alam.
Namun, di balik aspek keagamaan, Lebaran Topat menyimpan makna ekososial dan ekologis yang kuat, menjadikannya relevan untuk dibaca melalui lensa ekofenomenologi—suatu pendekatan filosofis yang menekankan pengalaman manusia yang sadar dan bermakna terhadap alam.
Dalam tradisi Sasak, tempat pelaksanaan Lebaran Topat seringkali berada di lokasi-lokasi yang memiliki muatan spiritual dan ekologis tinggi, seperti Pantai, Makam, Gunung, atau sumber mata air yang dikeramatkan. Lokasi ini tidak dipilih secara acak, melainkan berdasar pada kesadaran kolektif bahwa alam adalah bagian dari kehidupan spiritual.
Dalam pandangan ekofenomenologi, alam bukan hanya latar belakang pasif, tetapi hadir sebagai subjek hidup yang menyapa dan menyatukan manusia dalam satu kesadaran ekologis.
Salah satu bagian penting dari Lebaran Topat adalah ziarah ke makam leluhur. Aktivitas ini bukan semata penghormatan, tetapi juga merupakan bentuk dialog batin antara manusia dengan ruang alam yang penuh makna. Makam yang berada di lereng gunung, pantai, atau bawah pohon besar menghadirkan pengalaman fenomenologis yang kuat—bahwa kehidupan, kematian, dan keberadaan manusia tak bisa dilepaskan dari konteks ekologis.
Ziarah menjadi media untuk merenungi posisi manusia sebagai bagian dari semesta, bukan penguasa atasnya. Kesadaran ini sangat penting di tengah krisis ekologi modern yang didorong oleh eksploitasi dan alienasi manusia terhadap alam.
Setelah ziarah, masyarakat berkumpul untuk makan bersama, menyantap ketupat dan hasil bumi lokal. Praktik ini mengandung nilai penting, terutama penghormatan atas hasil alam, pembagian rezeki, dan mempererat kohesi sosial. Dalam konteks ekofenomenologi, kegiatan ini mencerminkan bagaimana masyarakat Sasak tidak hanya hidup di alam, tetapi bersama alam.
Ketupat sendiri sebagai simbol yang terbuat dari janur dan beras, merepresentasikan relasi manusia dengan tumbuhan (janur), air, tanah, dan kerja manusia. Dalam setiap anyaman ketupat tersimpan narasi ekosistem lokal yang terjaga secara turun temurun.
Ketupat bukan sekadar makanan, melainkan simbol kultural yang sarat makna ekologis. Anyamannya terbuat dari janur, yaitu daun muda pohon kelapa—tumbuhan yang tumbuh subur di tanah tropis seperti Lombok. Dalam proses membuat ketupat, masyarakat tidak hanya memanfaatkan alam, tetapi juga melestarikan pengetahuan lokal tentang kapan dan bagaimana janur diambil tanpa merusak pohon. Ini menunjukkan keterampilan ekologis yang diwariskan lintas generasi.
Bentuk ketupat yang bersilang, saling mengikat dalam pola rumit, mencerminkan keterhubungan antarunsur dalam ekosistem: antara tanah, air, udara, tumbuhan, dan manusia. Beras yang dimasukkan ke dalam anyaman melambangkan hasil panen dari bumi yang dijaga. Ketika ketupat dimasak dan disantap bersama dalam tradisi Lebaran Topat, ia tidak hanya menjadi hidangan, tetapi juga wujud rasa syukur atas kesuburan tanah, kerja petani, dan harmoni alam.
Dalam perspektif ekofenomenologi, setiap ketupat adalah artefak ekologis yang mengandung pengalaman batin manusia dalam berelasi dengan alam. Ia adalah “teks hidup” yang menceritakan bagaimana manusia Sasak telah membangun relasi sakral dengan lingkungan sekitarnya—mengambil secukupnya, menghormati sumber daya, dan merayakan keberkahan dengan penuh kesadaran spiritual. Tradisi membuat dan membagikan ketupat ini menjadi cara masyarakat meneguhkan komitmen ekologis mereka dalam bentuk yang paling sederhana, namun paling bermakna.
Kemudian doa-doa dalam Lebaran Topat diucapkan tidak hanya sebagai bentuk ibadah, tetapi juga sebagai afirmasi terhadap keberlangsungan hidup bersama alam. Syukur atas air yang cukup, panen yang melimpah, atau ikan di laut mencerminkan sikap hidup yang melihat alam bukan sebagai objek ekonomi, tetapi sebagai mitra spiritual.
Hal ini sangat berkaitan dengan prinsip dasar ekofenomenologi, bahwa manusia memiliki kapasitas batiniah untuk merasakan “kehadiran” alam secara penuh, menghayatinya dengan sikap hormat, dan membangun etika ekologis yang mendalam dari dalam diri, bukan sekadar aturan eksternal. Maksudnya Alam bukan hanya objek luar yang diamati atau dimanfaatkan, melainkan subjek hidup yang bisa dihayati secara mendalam melalui kesadaran batin.
Dalam sunyi hutan, gemuruh air terjun, atau bisikan angin di padang ilalang, jiwa manusia dapat menyentuh dimensi eksistensial alam yang tak terucapkan, menghadirkan rasa keterhubungan yang tulus dan sakral.
Pengalaman batiniah seperti itu melahirkan sikap hormat terhadap alam—bukan karena perintah hukum atau larangan eksternal, melainkan karena manusia merasakan sendiri bahwa ia adalah bagian dari jalinan kehidupan yang lebih luas. Rasa hormat ini lahir dari penghayatan mendalam akan “kehadiran” alam sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki nilai dan martabat. Dalam kesadaran ini, pohon bukan hanya bahan bangunan, sungai bukan sekadar sumber air, dan tanah bukan hanya tempat bercocok tanam—melainkan bagian dari keberadaan yang memiliki hak untuk dihormati.
Etika ekologis yang sejati tumbuh dari dalam—ethos yang terbentuk oleh relasi batin dengan dunia, bukan sekadar kepatuhan pada regulasi, akan tetapi etika lingkungan akan kehilangan daya dorong jika tidak ditopang oleh perubahan kesadaran. Justru dengan membangkitkan kesadaran batin yang mampu menyapa alam sebagai “yang hadir,” manusia akan terdorong untuk menjaga, merawat, bahkan mencintai alam dengan sepenuh hati. Inilah bentuk spiritualitas ekologis, ketika tindakan-tindakan konservatif tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari ibadah kehidupan.
Jadi proses kesadaran ekologi bukan hanya tentang fakta-fakta ilmiah, tetapi juga tentang pembentukan kepekaan batin. Dunia butuh manusia-manusia yang mampu mendengarkan bisikan sunyi alam, membaca tanda-tanda kehidupan di sekelilingnya, dan bergerak dari rasa cinta, bukan semata-mata dari rasa takut atau patuh. Alam akan selamat, bukan hanya karena kita mengatur ulang sistem hukum dan teknologi, tapi karena kita—sebagai manusia—kembali mendengar suara alam yang telah lama bergema dalam nurani kita sendiri.
Sebagai catatan pinggir, bahwa dalam dunia modern yang cenderung sekuler dan terasing dari alam, Lebaran Topat menjadi cerminan bagaimana tradisi lokal mampu menjaga jalinan intim antara manusia dan lingkungannya. Tinjauan ekofenomenologi menunjukkan bahwa Lebaran Topat bukan hanya warisan budaya, tapi juga praktik keberlanjutan hidup yang spiritual, ekologis, dan kolektif. Menjaga tradisi ini berarti turut menjaga cara pandang hidup yang menghormati alam sebagai ruang sakral pengalaman manusia.[]
