Trilogi Intelektual Qurani

Dalam beberapa ayat, Quran memberikan isyarat tentang tiga kualitas intelektual; Ulil Albab, Ulil Abshor, dan Ulin Nuha. Tiga kualitas yang digambarkan dalam Quran merujuk pada Manusia yang memiliki kedalaman intelektual (albab), kepekaan dan ketajaman pencandraan (abshor), serta keluhuran dan kebijaksanaan (Nuha).

Ulil Albab digambarkan sebagai orang yang berakal (lubb) yang senantiasa berfikir dan berzikir (QS 2: 7, QS 14: 52, QS 38: 29, 43, QS 39: 9, 21, QS 40: 52-54) memiliki kemampuan untuk membaca tanda-tanda (QS 3: 190-195), memahami hukum-hukum (QS 2: 179), menangkap dan mencerna pelajaran dan hikmah-hikmah yang diberikan Tuhan (QS 2: 269, QS 3:7), serta memiliki kapasitas intelektual par excellence (QS 39: 9).

Kata “al-albab” adalah bentuk jamak dari lubb yang bermakna ini atau saripati dari sesuatu yaitu saripati sesuatu. Kacang, misalnya memiliki kulit yang menutupi isi dalamnya. Isi kacang itu dapat disebut sebagai lubb. Ulul-albab, dengan demikian adalah orang-orang yang memiliki akal murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, secara jernih menyingkirkan kabut-kabut ide, dan menghilangkan peluang lahirnya kerancuan dalam berpikir.

Sementara Ulil Abshor menunjukkan kualitas pencandraan lahir dan bathin. Pengamatan inderawi terhadap penciptaan alam semesta (QS 24: 44) bisa mengambil I’tibar dari apa yang dilihat dan diamati (QS 59: 2) dan bisa melihat dengan mata hati (QS 3:13). Bashar bermakna penglihatan. Ulil abshar berarti orang-orang yang memliki penglihatan multi dimensi. Tidak terbatas pada penginderaan yang terbatas.

Bagi kebanyakan orang, fakta yang dapat diindra itu tidak berbicara apa-apa. Namun, bagi ulil abshar, suatu peristiwa itu selalu memberikan pelajaran, karena manusia macam ini tidak hanya melihat dengan matanya, tetapi dengan kepekaan dan responsifitas “mata hati”. Tentu saja, ulil abshar dapat mengoptimalkan keduanya, tidak hanya melihat dengan mata, melainkan pula dengan ‘mata hati’.

Ulin Nuha merujuk pada contoh kebijaksanaan yang ditunjukkan Musa saat berdialog dengan Firaun (QS 20: 49-55). Kebijaksaan Musa lahir sebagai hasil dari kesadaran akan keterbatasan pengetahuannya akan segala hal (‘ilmuha ‘inda rabbi fi al-kitab, laa yadhillu rabbi wa la yansa). Kebijaksanaan yang pula ditunjukkan dengan kesadaran eksistensial bahwa manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dengan alam dalam kondisi hubungan mutualisme yang tidak terpisahkan (minha khalaqnakum wa fiiha nu’idukum wa minha nukhrijuhum taarotan ukhro).

Baca Juga  Semiotika Burung Garuda Berkepala Dua sebagai Wajah Hukum Masyarakat Bima

Dalam konteks filsafat, Ulil Albab adalah mereka yang memiliki kecerdasan metafisis. Konsep ini menemukan relevansinya pada gagasan Vernunft (Pure Reason). Yakni kualitas akal manusia yang mampu sampai pada tingkat memahami ide-ide transcendental. Dalam Critique of Pure Reason, Kant menjelaskan bahwa pengetahuan manusia pada dasarnya terbentuk melalui dua hal: sensibilitas (pengindraan) dan intelek (pemahaman). Namun, Kant memberikan batasan bahwa akal manusia tidak memiliki kemampuan untuk melampaui batas dunia fenomena.

Ulil Abshar juga sejalan dengan gagasan Wittgenstein yang menjadikan bahasa sebagai simbol dari realitas. Kalimat hanya dapat memiliki makna jika ia memiliki gambar logis dari dunia. Dalam hal ini, Ulil Abshar dapat diartikan sebagai mereka yang memiliki kemampuan mendedah makna di balik kata, menangkap relasi simbolik yang tidak kasat mata, memahami dunia yang terlihat (seen) melalui apa yang tidak terlihat (unseen).

Ulil Albab, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai sosok ideal dari “Manusia Kantian”, yang dapat menggabungkan rasio murni dan praktik moral transcendental dan mampu menghadirkan diri sebagai pribadi yang memegang prinsip moral universal mengarahkan diri pada imperatif kategoris.Individu ulil albab adalah mereka yang tidak terjebak pada rasional intelektual semata, tetapi juga menenggelamkan diri pada prinsip moral universal. Pribadi yang dapat menggapai “kesadaran transendental” dengan tidak kehilangan kesadaran akan batas-batas pengetahuan empiris.

Kecerdasan metafisis diperoleh melalui tafakkur dan tadzakkur, kemampuan untuk berfikir melampaui dirinya. Yang kemudian menjadikan pribadi ulul albab, dapat membaca tanda-tanda (ayat), menangkap dan mencerna pelajaran dan hikmah-hikmah yang diberikan Tuhan yang tidak tertangkap oleh manusia lain, Think the unthinkable.

Ulil Abshar secara filosofis dapat dimaknai sebagai Manusia yang mampu melihat melampaui Bahasa, Simbol dan Tanda-tanda, seeing the unseen. Dengan penglihatan batin, Indera-nya mampu melihat makna yang tersirat di balik segala macam fenomena. Maka manusia macam ini adalah mereka yang secara integral memadukan nomena dan fenomena. Ulil Abshar juga sejalan dengan gagasan Wittgenstein yang menjadikan bahasa sebagai simbol dari realitas. Kalimat hanya dapat memiliki makna jika ia memiliki gambar logis dari dunia. Dalam hal ini, Ulil Abshar dapat diartikan sebagai mereka yang memiliki kemampuan mendedah makna di balik kata, menangkap relasi simbolik yang tidak kasat mata, memahami dunia yang terlihat (seen) melalui apa yang tidak terlihat (unseen).

Baca Juga  Epistemologi Nikah Misyar

Manusia yang mampu melampaui batas-batas kebahasaan untuk menangkap dan memahami “apa yang tak bisa dikatakan namun harus ditunjukkan”. Yang dapat menyingkap makna melalui permainan Bahasa dalam kehidupan, dan menyadari batas-batas dari apa yang tidak dapat dipahami sebagai bagian dari makna terdalam.

Ulin Nuha, adalah gambaran filosofis manusia yang mengalami puncak pengetahuan; sebagai gambaran manusia bijaksana, mereka adalah manusia yang mampu melampaui akal (lubb) dan penglihatan (bashar), yang memiliki kualitas eksistensial (pemahaman yang mendalam akan diri), dan spiritual (pemahaman yang mendalam akan Tuhan). Dalam istilah Kant, mereka adalah ia yang memiliki moral otonom yang bertindak berdasarkan hukum moral internal yang berbasis pada eksistensi diri dan spiritualitas.  Eksistensi diri membentuk kemerdekaan moral, sedang spiritualitas membentuk apa yang disebut sebagai Suara hati.

Keseimbangan antara keduanya menjadikan manusia sebagai subjek moral otonom yang bertindak berdasarkan hukum moral internal tetapi tidak lepas dari suara hati yang ilahiah, yang berujung pada wisdom; Kebijaksanaan.

Sedangkan dalam tinjauan Wittgenstein, Ulin Nuha adalah manusia yang hidup sesuai dengan bentuk kehidupan (form of life), mereka tidak sekedar tahu akan sesuatu, tetapi juga menghidupi makna atas apa yang diketahuinya. Ulin Nuha adalah manusia yang mampu hidup dan menghidupi dirinya dalam harmoni dengan bahasa simbol yang terbaca dalam kehidupannya, serta mampu menemukan diferensiasi antara apa yang hanya bisa dikatakan dan apa yang hanya bisa dipraktikkan.

Inilah tiga kualitas insan akademis yang diisyaratkan Quran, Tiga kualitas yang seyogyanya menjadi kualitas output yang ingin kita bentuk dalam studi keislaman. Pada akhirnya sesuai dengan apa yang diisyaratkan dalam Quran, bahwa pendidikan memang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kaum beriman (yarfa’illahulladziina aamanu minkum) pada khususnya dan meningkatkan kualitas manusia  manusia pada umumnya (walladziina uutul ‘ilma darajaat)


Ilustrasi: tanwir.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *