BICARA masalah Perda Syariah Islam, pasti pandangan kita akan tertuju pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah berhasil merancang dan menerapkannya.
Pada tahun 2002, Pemerintah Provinsi Aceh mulai merancang Perda Syariah dan pada tahun 2014 DPR Aceh mengesahkan Perda tersebut, yang isinya antara lain mengatur tentang khalwat (mesum), khamar (alkohol) dan maisir (perjudian).
Dalam perjalanannya, Qanun (hukum) ini mengatur pula sejumlah tindakan pidana termasuk pelecehan seksual, pemerkosaan, gay, dan lesbian. Ancaman hukuman pidana dalam Qanun Jinayat kepada pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh pu beragam, dimulai 10 hingga 200 kali cambuk.
Baca juga: Semiotika Burung Garuda Berkepala Dua sebagai Wajah Hukum Masyarakat Bima
Ada juga hukuman denda mulai 200 hingga 2.000 gram emas atau 20 sampai 200 bulan penjara. Hukuman paling ringan dijatuhkan pada pelaku mesum, sedangkan ancaman hukuman terberat adalah terhadap pelaku perkosaan pada anak.
Sejak awal, kalangan Islamofobia dan para aktivis HAM mengkritisi isi Qanun tersebut karena dinilai diskriminatif dan dapat meningkatkan kekerasan terhadap kaum hawa. Mereka juga menilai bahwa penerapan Perda syariah atau Qanun Jinayat ini bertentangan dengan konstitusi dan beberapa Undang-Undang (UU).
Seperti pada hukuman cambuk, dinilai bertentangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentan HAM dan lain sebagainya. Sehingga pihak-pihak tersebut meminta agar Perda itu ditinjau ulang karena banyak tumpang tindih dengan peraturan perundangan, termasuk perbedaan sanksi pidana, terdapat dualisme dan duplikasi hukum serta bertentangan dengan asas ketertiban dan kepastian hukum.
Asas-asas tersebut diatur dalam UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan lain sebagainya.
Dari fakta dan data ini, jelas terlihat ada masalah dan penolakan dengan Perda-Perda Syariah tersebut, khususnya berkaitan dengan masalah pidana dan ancaman hukumannya.
Pada tulisan ini, penulis ingin menawarkan sebuah tawaran solusi progresif yang mungkin dapat diimplementasikan di daerah-daerah yang ingin menerapkan Perda-Perda Syariah atau daerah-daerah yang dulu sebelum kemerdekaan, merupakan sebuah kesultanan di mana ajaran atau syariat Islam telah mendarah daging di seluruh lapisan masyarakatnya.
Tawarannya adalah mari lupakan Perda-Perda syariah itu, mari mulai memperkuat lembaga-lembaga adat atau peradilan adat-peradilan desa yang memang secara historis telah ada di setiap masyarakat adat, di mana hukum yang diterapkan adalah hukum adat yang bernuansa Islam.
Baca juga: Institusi Lokal, Hukum Rakyat, dan Nasionalisme
Pemerintah bisa saja membuat payung hukum atau regulasi yang memperkuat eksistensi lembaga atau peradilan adat dan seluruh aturan turunannya. Pada dasarnya, negara mengakui dan melindungi masyarakat adat beserta seluruh perangkatnya selama tidak bertentangan dengan konstitusi negara.
Karena hukum yang hidup di masyarakat lebih ditaati serta lebih dulu ada dibandingkan dengan hukum Islam dan hukum negara yaitu hukum adat itu.
Di Indonesia, hidup banyak suku dengan keanekaragaman adat dan budaya yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Suku-suku tersebut telah memiliki sistem hukum sendiri untuk menyelesaikan semua masalah dan telah terbukti dapat menciptakan keadilan, ketertiban, dan harmoni.
Pelajaran Berharga dari Suku Donggo
Masyarakat adat Donggo memiliki cara unik, berdasarkan pada kearifan lokal (local wisdom) dan hukum adat dalam menyelesaikan setiap sengketa dan masalah hukum yang terjadi pada masyarakatnya.
Penyelesaian kasus perdata dan pidana yang terjadi pada masyarakat adat Donggo dijalankan oleh Lembaga Adat dan Syariat Donggo (LASDO) yang dibentuk oleh masyarakat.
Prinsip-prinsip yang melandasi penyelesaian masalah hukum menggunakan prinsip dan cara musyawarah, kekeluargaan, keadilan, perdamaian, dan kerukunan dalam rangka harmoni.
Dari penelitian penulis, bahwa LASDO sebagai lembaga peradilan adat, telah memainkan perannya untuk menegakkan hukum adat.
Pada masalah hukum pidana, seperti pada kasus pencurian, perzinaan, perselingkuhan, perkosaan dan murtad, LASDO memutuskan dengan berdasarkan pada hukum adatnya, seperti sanksi denda, dua kali waru (ganti rugi), pengusiran, di-baja, dan dicambuk.
Hukum adat bagi masyarakat Donggo merupakan sistem yang diyakini sebagai suatu kebenaran dan memenuhi unsur rasa keadilan masyarakat dari segi substansi hukum, sanksi hukum, dan fungsi hukum sebagai pemberi rasa keadilan, perdamaian, dan pemelihara kerukunan masyarakat.
Hukum adat masyarakat Donggo dapat bertahan hingga kini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: pertama, adanya kesadaran dan ketaatan masyarakat Donggo akan pentingnya hukum adat yang dapat menyelesaikan semua konflik atau masalah hukum di masyarakat.
Kedua, mempertahankan hukum adat, merupakan salah satu pilar untuk dapat mempertahankan jati diri masyarakat adat. Ketiga, eksistensi hukum adat masyarakat Donggo harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan.
Di samping tiga alasan di atas, terdapat satu alasan yang mendasar sehingga masyarakat Donggo tetap konsisten melestarikan adat dan hukum adatnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ketua LASDO, Arifin J Anat, bahwa hukum adat yang berlaku di Donggo secara substansi sesuai dengan hukum Islam.
Baca juga: Hukum Adat dan Nasib Transformasi Generasi Indonesia
Lanjutnya, bagi masyarakat Donggo, melaksanakan hukum adat berarti melaksanakan syariat Islam. Dalam pelaksanaan dan penegakan hukum bagi masyarakat yang melanggar ketentuan dan norma adat, hukum yang diterapkan adalah hukum adat. Sementara hukum Islam atau syariah menempati posisi sebagai pengawal atau mengawasi pemberlakuan hukum adat.
Pada prinsipnya, hukum dibuat untuk manusia, bukan untuk hukum itu sendiri. Hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan, apabila hukum tidak adil, maka dapat dipastikan itu bukan hukum.
Artinya, bahwa masyarakat akan patuh dan taat pada hukum apabila keadilan dirasakan oleh masyarakat. Maka, rasa keadilan masyarakat menjadi sebuah barometer bahwa sebuah hukum telah mencapai tujuan hukum itu sendiri.
Tawaran untuk meninggalkan Perda Syariah menjadi sebuah wacana yang urgent, ketika rasa keadilan masyarakat terpenuhi oleh penerapan hukum adat. Maka, penerapan hukum adat menjadi sebuah solusi di tengah maraknya penolakan pada Perda Syariah.
Wacana kembali kepada hukum adat, bukanlah sebagai sebuah kemunduran, malah menjadi sebuah tawaran dan solusi alternatif-progresif.
Seharusnya kita bisa belajar dari masyarakat suku Donggo yang telah sukses menerapkan hukum adat yang dibalut dengan syariah Islam, sehingga Perda-Perda bernuansa syariah sudah tidak relevan lagi.[]
Ilustrasi: Jendela Hukum.com

Dosen Pascasarjana UIN Mataram dan Ketua STIS Al-Ittihad Bima