Belajar Mengelola Keragaman dari Australia (Catatan Peserta AIMEP 2022)

TULISAN ini merupakan refleksi singkat pengalaman penulis sebagai salah satu delegasi program Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP) selama kurang lebih dua minggu di Australia (Sydney and Melbourne).

Sebagai delegasi AIMEP, Penulis memiliki kesempatan untuk belajar dan mengunjungi secara langsung banyak komunitas dan institusi keagamaan, maupun lembaga pemerintahan di Australia yang memiliki fokus pada isu-isu ke-Islam-an dan masyarakat muslim kontemporer di Australia maupun Indonesia.

Namun di sini, secara khusus penulis ingin memaparkan secara singkat mengenai bagaimana Australia mengelola keragaman budaya dan membangun perdamaian sebagai sebuah negara yang sangat multikultural. 

Australia: Negara yang dibangun oleh Migrasi

Australia merupakan negara dengan kebudayaan tertua yang masih bertahan di dunia, yaitu Suku Aborigin dan penduduk kepulauan Selat Torres yang merupakan penduduk asli Australia. Namun, Australia merupakan negara yang dibangun secara dinamis oleh para migran dari berbagai negara  hingga hari ini yang menjadikan Australia sebagai negara yang maju dari berbagai aspek kehidupan.

Sejak tahun 1945, hampir tujuh juta orang telah melakukan migrasi ke Australia baik secara legal maupun ilegal, dan antara tahun 2017 hingga 2021, lebih dari 1 juta orang telah bermigrasi ke Australia (ABS Census data: Australian Migration Levels, 2021). Sehigga wajar jika Australia memiliki slogan sebagai A land built by migrations. Bahkan tanpa imigran, Australia diperkirakan hanya memiliki 80.000 peningkatan penduduk hingga tahun 2061 (Integrational Report 2023, Chart 2.4).

Australia dalam Mengelola Keragaman dan Merawat Perdamaian

Berdasarkan data terkahir (2021) menunjukan bahwa lebih dari 29% penduduk Australia lahir di luar negeri, dan lebih dari 50% dari populasi setidaknya memiliki satu orang tua yang berasal dari luar negeri. Selain itu, Australia juga memiliki lebih dari  130 tradisi keagamaan, 284 bahasa, dan lebih dari 26% penduduknya menggunakan bahasa lain sebagai bahasa utama selain bahasa inggris di rumah mereka dalam setiap keluarga.

Baca Juga  Belajar Agama kepada Adam

Hal ini tentu saja menjadikan Australia sebagai negara yang sangat beragam secara budaya, suku bangsa, tradisi keagamaan, dan kepercayaan. Keragaman ini, jika pemerintah Australia tidak mengelolanya dengan baik tentu saja akan mengarah pada hal-hal buruk yang mengarah pada perpecahan dan konflik kekerasan seperti rasisme dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya sebagaimana yang kerap kali terjadi di berbagai negara dengan karakter masyarakat yang plural.

Secara khusus untuk menjawab hal ini, penulis bersama dengan para delegasi AIMEP, mengunjungi secara langsung Departement Multicultural, New South Wales (NSW) di Sydney untuk menggali lebih jauh bagaimana Australia mengelola keragaman dan membangun harmoni antar agama, suku bangsa, tradisi, dan kepercayaan sebagai negara yang multikultural akibat proses imigrasi yang telah berlangsung sejak lama tersebut.

Malcolm HaddonAssociate Director Community Resilience-Multicultural NSW, menjelaskan beberapa prinsip utama sebagai dasar hukum Australia yang harus dijunjung tinggi oleh setiap warga negaranya dalam membangun kehidupan yang harmonis di tengah keragaman budaya, agama, dan bahasa. Beberapa prinsip dasar tersebut antara lain

Pertama, kesadaran akan pentingnya berbagi nilai budaya dan berkomitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi bagi setiap warga negara secara adil tanpa memandang latar belakang suku, budaya, dan agama. Komitmen untuk bersatu padu dalam melihat Australia sebagai rumah bersama bagi berbagai macam suku bangsa dan merawatnya secara bersama-sama untuk masa depan bersama yang adil dan setara.

Kedua, menerima dan menghargai kenyataan bahwa Australia memiliki karakter masyarakat yang beragam secara budaya, agama, dan keyakinan. Dengan begitu, masyarakat akan didorong untuk memiliki kohesi sosial yang kuat yang menyatukan di saat mereka memiliki potensi konflik ataupun diskriminasi terhadap suatu kelompok keagamaan di Australia.

Baca Juga  Talaq dan Realitas Kontemporer

Ketiga, menghormati kebebasan demokratis untuk setiap warga negara dalam mempraktikkan nilai budaya, menjalankan tradisi keagamaan, dan menggunakan bahasa apa pun di ruang-ruang publik secara bebas.

Ketiga prinsip utama tersebut sejalan dengan misi Australia “an inclusive, connected, and socially cohesive multicultural society” sebagai prinsip dasar dalam mengelola keragaman masyarakat Australia. Sebuah misi yang menjunjung tinggi nilai inklusifitas bagi setiap perbedaan dan nilai kohesi sosial yang kuat untuk membangun perdamaian di tengah keragaman tersebut.

Australia memandang bahwa masyarakat yang memiliki kohesi sosial yang kuat memiliki tingkat resilience yang tinggi pula dalam menghadapi krisis sosial maupun ancaman lain dari luar seperti radikalisme,  terorisme dan lain-lain. Sehingga wajar jika Australia dikenal sebagai the most successful multicultural country on earth.

Hal ini tentu saja dapat menjadi rujukan yang baik untuk Indonesia dalam kaitannya mengelola keragaman dan membangun perdamaian di tengah pluralitas agama dan latar belakang budaya masyarakat Indonesia. Bahwa prinsip persatuan dan menghargai perbedaan adalah dasar utama dalam kehidupan beragama dan masyarakat. Meskipun hal ini bukanlah sesuatu yang baru untuk Indonesia.

Unity in diversity atau Bhineka Tunggal Ika yang selama ini menjadi pilar kebangsaan Indonesia tampaknya belumlah diterapkan secara penuh oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka intoleransi dan diskriminasi berbasis agama maupun aliran keagamaan di Indonesia hingga hari ini. Namun juga belumlah terlambat untuk kembali menyuburkan nilai-nilai perdamaian dan persatuan dan menyingkirkan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi sebagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *