MANUSIA yang hidup di zaman modern sekarang ini, khususnya negara-negara maju—sedikit lebih maju telah ‘menanggalkan’ spritualitas agamanya di ‘lemari kamar’ dan di ruang yang paling privat, sehingga agama menjadi sesuatu yang ‘usang’—bahkan hampir tak lagi dibutuhkan. Padahal agama harus hadir di tengah persoalan dan kekacauan zaman—karena seperangkat aturan di dalamnya dapat mengatur kehidupan umat manusia agar tidak kacau.
Sebagaimana pengertian agama secara etimologi dalam bahasa sansekerta yang berarti A: tidak, dan Gama: kacau. Agama yang seharusnya tidak kacau—namun justru menimbulkan paradoks dengan kekacauan yang sering sekali terjadi seperti; konflik, perperangan, rasisme, diskriminasi, dan bahkan perbudakan selalu terjadi dalam bingkai agama.
Jika dilihat, kekacauan-kecauan semacam itu beriringan dengan kemajuan teknologi—di era moderen saat ini. Sebagaimana yang diungkapkan Kuntowidjoyo; bahwa dunia modern sesungguhnya menyimpan potensi yang dapat menghancurkan martabat kemanusiaan. Meskipun manusia telah berhasil menciptakan peradaban yang sangat maju, namun pada saat yang sama pula—kita menyaksikan manusia menjadi tawanan dari hasil ciptaannya sendiri.
Meskipun dunia modern telah berhasil melepaskan manusia dari aspek mistis nan irasional, namun manusia gagal melepaskan diri dari belenggu yang lain;—yakni penghambaan terhadap diri secara berlebihan, sehingga menyebabkan kecenderungan menganggap orang lain sebagai subordinat dan kurang penting keberadaannya.
Dari berbagai paradoksnya kenyataan yang dirasakan dewasa ini, kemudian muncul pertanyaa bahwa; Jika memang agama memiliki makna ‘tidak kacau’—dan sebagai seperangkat aturan yang hadir untuk mengatur tata kehidupan umat manusia, lalu mengapa di dalam agama banyak sekali kekacauan?
Saya tidak menyalahkan agama,- dan hal yang tidak mungkin pula agama sebagai ajaran suci yang berasal dari Tuhan terdapat kecacatan di dalamnya. Saya pun tidak mengklaim bahwa cara beragama saya sudah benar. Namun, bukan hal yang tidak mungkin adanya kekeliruan terhadap pemahaman serta cara beragama kita. Nah, untuk menjawab pertanyaan di atas, kita akan memulainya dengan pertanyaan: Untuk siapa agama diciptakan?
Di dalam agama Islam, misalnya, pada ayat terakhir yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad saw, bahwa Islam diturunkan untuk kepentingan manusia (al-yauma akmaltu lakum diinakum). Ajaran ini diperjelas oleh Rasulullah ketika melaksanakan haji wada` melalui pidatonya yang mengatakan bahwa turunnya wahyu secara umum memiliki tiga tujuan. Pertama, untuk menyatakan kebenaran. Kedua, untuk melawan penindasan. Ketiga, untuk membangun ummat yang didasarkan pada asas kesetaraan, keadilan dan kasih sayang.
Pada banyak ayat dalam al-Qur’an juga berbicara tentang aspek kemanusiaan. Seperti adanya prinsip humanisasi (kemanusiaan), liberalisasi (pembebasan), dan transendensi (Q.S. Ali-Imran 110). Bahkan orang yang tidak peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan disebut sebagai pendusta agama (Q.S. Al-Ma`un 1-3). Tuhan menurunkan agama untuk manusia dan kemanusiaan. Maka hal yang sangat wajar jika banyak sekali kekacauan dalam agama, karena yang memeluk agama belum menjadi manusia sepenuhnya.
Penjelasan di atas memberi kita jawaban, bahwa agama Islam di turunkan oleh Allah Swt untuk manusia dan demi kemanusiaan. Lalu pertanyaannya, apakah kita telah sepenuhnya menjadi manusia, sehingga kita berhak untuk menerima agama ? Jika memang demikian, maka hal yang penting dilakukan adalah menjadi manusia. Karena untuk memanusiakan manusia—terlebih dahulu kita harus menjadi manusia. Bagaimana mungkin kita bisa memanusiakan manusia jika kemanusiaan kita saja belum tuntas?
Pertama-tama, langkah yang harus dilakukan adalah mengindentifikasi dan memastikan, apakah kita telah benar-benar telah menjadi manusia? Apa dan harus bagaimana mahluk yang bernama manusia tersebut?
Menurut (Wilber, 1995), eksistensi manusia terdiri dari tiga unsur dengan tiga level hierarki yakni: level pertama, adalah materi/fisik (physiosphere). Level kedua adalah jiwa/kehidupan (biosphere) dan level ketiga adalah ruh/kesadaran (noosphere). Dari tiga level di atas, manusia mengada dalam dua dunia, yakni dunia materi atau dunia luar (eksterior), dan dunia non-materi atau dunia dalam (eksterior).
Nasibnya juga akan ditentukan oleh kemampuannya menari di antara dua dunia tersebut, yakni antara dunia luar dan dunia dalam, dunia lahir dan dunia batin, dunia kognitif dan dunia trans-kognitif, dunia material dan dunia spiritual. Banyak yang mengakui dan percaya bahwa kita memiliki elemen konstitutif seperti di atas, yakni terdiri dari level pertama, kedua, dan ketiga. Namun, sering kita tak sadar, dan bahkan terjebak dan mereduksi diri seolah-olah kita mengada hanya pada level dua saja.
Contoh: klaim oleh para ahli ekologi (ekosistem biologi) bahwa sistem biologis adalah bagian dari sistem alam ( level 1). Bukan menolak klaim oleh para ahli ekologi di atas, hanya saja selama ini secara tidak sadar kita terjebak dan terperangkap dalam dimensi keluasan, dimana di dalamnya kita hanya bisa melihat secara kuantitas kita adalah bagian dari (satu jenis) dari berbagai jenis binatang/hewan dengan ciri tertentu, dan kita secara material adalah debu dibandingkan dengan isi dan luasnya jagad raya ini. Kita adalah bagian dari alam dan harus menyatu dan bersahabat dengannya.
Sebenarnya pendapat ini sangat merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan kita. Apa yang salah? Letak kesalahannya, bahwa pendapat di atas telah mereduksi diri manusia menjadi sebuah entitas mono-dimensi, yakni entitas yang hanya memiliki dimensi luar atau dimensi materi saja, sehingga disebut oleh (Wilber, 1995) kita terjebak dalam flatlant consciousness (kesadaran keluasan) dan melupakan bahwa manusia lebih mulia serta kompleks karena terdapat entitas dimensi dalam.
Yang hilang dalam perspektif ini adalah kesadaran akan dimensi dalam pada diri manusia. Bagaimana mungkin kita bisa melihat kedalaman isi dengan menggunakan perspektif keluasan? Isi pada level ketiga tidak akan ditemukan di level pertama atau di level kedua, karena isi level ketiga hanya ada dalam level ketiga yang jelas berada di atas level pertama dan level kedua. Yang kita perlukan adalah perspektif dengan dimensi kedalaman, bukan dimensi keluasan (Muadz, 2017: 33-34).
Berdasarkan penjelasan Wilber tersebut, kita telah sampai pada satu kesimpulan sederhana, bahwa dikatakan manusia manakala ia memiliki kesadaran kedalaman bukan kesadaran keluasan. Sebab, kesadaran kedalaman merupakan kesadaran manusia (subjektif), sedangkan kesadaran keluasan merupakan kesadaran kebendaan (objektif).
Dengan demikian kita telah menemukan satu jawaban atas kekacauan di dalam agama. Wajar jika banyak terjadi kekerasan, penindasan, dan perbudakan di dalam agama karena kesadaran yang dimiliki oleh umat beragama bukanlah kesadaran kemanusiaan melainkan kesadaran kebendaan. Bukankah manusia adalah subjek? Lalu kenapa kita cenderung melihat dan menempatkan bahkan memperlakukan seseorang sebagaimana objek (benda)? Saya rasa dari sinilah awal mula terjadinya kekerasan tanpa kita sadari. Sebab, memperlakukan seseorang sebagaimana objek (benda) merupakan kejahatan kemanusiaan karena telah merendahkan harkat dan martabatnya.
Di samping masalah kesadaran terdapat satu anggapan yang penulis juga rasa ikut andil dalam menciptakan kekacaun dalam agama, yakni, menganggap bahwa Islam adalah agama Tuhan. Hal itu juga membuat sebagian dari kita merasa berhak mengatasnamakan Tuhan untuk menghakimi pihak lain yang berbeda pandangan. Konflik serta kekerasan atas nama agama yang terjadi begitu sangat memprihatinkan.
Bagaimana mungkin orang yang mengaku beragama sampai hati melakukan kekerasan terhadap sesama manusia bahkan terhadap saudara seiman hanya karena beda pemahaman? Padahal Islam hadir sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, – saling curiga, benci dan konflik antar sesama.
Uma Kalikuma, Mataram, 08, Juli 2020.
Ilustrasi: afrikheprik.org
Mahasiswa Studi Agama-agama, Eksponen Kalikuma Mataram: Penyuka Musik dan Buku