Anti Dokter dan Fatwa Ulama

DOKTER menghimbau jaga jarak sosial, social distancing. Lalu MUI memperkuat himbauan itu dengan mengeluarkan fatwa agar tidak sholat Jumat atau sholat berjamaah di masjid. Logikanya, kalau Anda setuju dengan saran dokter, harusnya Anda juga setuju dengan fatwa MUI. Kan esensi dari saran dokter dan fatwa MUI adalah “jaga jarak”. Dihimbau untuk tidak berjamaah atau jumatan supaya kita bisa jaga jarak. Jaga jarak bisa memutus penyebaran corona. Dalilnya begitu.

Harusnya fatwa ulama menjadi suara terakhir yang didengarkan umat Islam. Suara ulama adalah suara tertinggi dan paling suci. Suara ulama adalah suara Tuhan. Oleh karena itu, harusnya tidak ada lagi yang bertengkar soal fatwa. Ulama ditiru dan dipatuhi fatwanya karena kapasitas keilmuan dan kredibilitasnya di bidang agama. Mereka itu menguasai al-Qur’an dan Hadits, hafal tarikh Islam, ilmu tafsir, belajar bahasa Arab, dan seterusnya. Lha kamu?

Para ulama yang duduk di MUI, tentu saja bukan sembarang ulama, kapasitas dan kredibilitas keilmuan mereka tidak diragukan lagi. Butuh waktu lama untuk sampai menjadi ulama. Belajar agama lewat Youtube, WA dan medsos tidak akan sampai pada tangga ulama, karena di sini, di medsos banyak ajaran hoax.

Keputusan MUI tentang sholat Jumat diganti dengan sholat Duhur terutama zona terpapar virus tentu bukan keputusan asal-asalan. Berbagai dalil aqli dan naqli, termasuk pertimbangan sosiokultur telah mereka pelajari secara saksama. Kalau Anda tidak meragukan keilmuawan ulama, harusnya Anda juga tidak ragu dengan fatwa ulama tentang sholat Jumat.

Kalau saya sendiri melihat tak masalah dengan imbauan itu. Kalau dilarang sholat berjamah atau Jum’ah di masjid, kita sholat saja di rumah masing-masing secara berjama’ah. Yang jadi masalah adalah kalau kita tidak sholat sama sekali, lalu mempersoalkan fatwa MUI. Saya yakin, jauh atau dijauhkan dari masjid untuk sementara waktu, bukan berarti menjauh dari Tuhan, Umat muslim dihimbau untuk tidak sholat jum’at tentu saja karena ada sebabnya.

Baca Juga  Muhammad Abduh dan Penyebab Kemunduran Umat Islam

Saking anti-nya terhadap fatwa itu, seorang mahasiswa magister sampai mengatakan; “Lebih baik mati di masjid daripada mati mengurung diri di rumah”.

Emangnya kamu pikir mati di masjid langsung masuk syurga. Lalu bagaimana kalau orang tua Anda mati saat ia sedang sujud dan berzikir di rumah, apa ia masuk neraka. Terus para dokter yang mati di rumah sakit karena virus itu masuk neraka. Itu semua adalah spekulasi manusia soal syurga dan neraka.

Sebenarnya, kalau beragama ukurannya adalah pahala, maka ada banyak sumber pahala yang  bisa kita lakukan utk mengganti pahala ibadah Jum’at. Misalnya ngaji, sholat duha, puasa sunnat, tahajut dan berzikir, mengajar ngaji anak-anak dan istri-istri, dan keluarga. Itu semua punya nilai pahala dan ibadah. Jangan pernah berpikir bahwa hanya yang sholat di masjid yang masuk surga. Bahwa sholat jumat atau berjamaah di masjid itu wajib. Setuju. Di dalam kehidupan itu, ada banyak hal yang harus diperhatikan, termasuk soal kesehatan diri dan orang lain. Tidak melulu soal sholat.

14 Abad yang lalu Nabi Muhammad wafat, ajaran-ajarannya sudah ada dan sempurna. Nabi tidak mewariskan harta, tapi ajaran dan ilmu. Tapi semua ajaran itu tidak akan dipahami oleh umat kecuali atas tinta dan peran ulama. Semua ajaran Nabi Muhammad diwariskan kepada para ulama. Tugas ulama adalah menjelaskan ajaran Nabi. Lalu kita ikuti. Ini makna ulama warasatul anbiya.

Saya tidak yakin Islam di Bima akan hancur, iman kita rusak hanya karena melaksanakan himbauan MUI. Musuh umat Islam bukan ulama, tetapi musuh kita adalah keterbelakangan, kemiskinan, moralitas anak anak muda, dan lain-lain.

Kita umat Islam, jangan pula takabur soal corona menurut ilmu kedokteran tidak ada orang yang kebal terhadap virus ini. Ia bisa menginfeksi siapa saja, tanpa permisi soal agama, suku, profesi apa saja, semakin tinggi tingkat keshalehan seseorang bukan berarti tidak bisa dipapar oleh virus ini.

Baca Juga  Kebebasan Sipil sebagai Tantangan dalam Demokrasi (2)

Dalam kepustakaan medis, tak ada istilah penyakit kutukan. Apalagi kutukan yang hanya menyasar kelompok orang, budaya atau agama tertentu. Istilah kutukan itu sebuah mitos yang pernah ada di mana lalu yang bisa dipersoalkan kebenaranya secara sains modern. Mempertandingkan mitos versus logos bukan lagi eranya. Era mitos sudah selesai, kita sedang menuju era rasionalitas logos.

Mari, demi kesehatan kita lakukan tindakan priventif, ikuti saran dokter, amankan fatwa MUI.[]

Ilustrasi: sindonews.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *