BEBERAPA tahun belakangan ini, obat dan suplemen pemutih badan banyak diburu kaum perempuan di Indonesia. Padahal banyak merek pemutih badan yang tidak aman. Di kantor Balai POM, etalase yang memuat produk obat dan makanan berbahaya, biasanya didominasi obat atau suplemen pemutih badan. Meski banyak produk pemutih kulit yang berbahaya, tidak menyurutkan kaum perempuan untuk memutihkan tubuhnya secara instant.
Keinginan para perempuan Indonesia menjadi putih bak nona Cina, memang telah ada sejak lama. Dulu, sebelum ditemukan bedak, perempuan nusantara, biasa menggunakan tepung beras untuk memutihkan wajah dan tubuh. Intinya kecantikan diidentikkan dengan kulit putih.
Bisa jadi, kemunculan fenomena ini juga terkait dengan penjajahan. Penjajahan mempengaruhi cara orang memandang sebuah kesempurnaan. Seperti kebanyakan orang di Indonesia, memandang kecantikan diwakili nona-nona Belanda yang putih bersih. Padahal sebenarnya, kaum perempuan nusantara memiliki kulit yang eksotik, yang punya tempat tersendiri dalam khazanah kecantikan seorang wanita. Kiblat kecantikan bisa berubah oleh kondisi ketertindasan.
Di masa sekarang, fenomena tersebut bisa saja dikaitkan dengan apa yang diistilahkan dengan snobisme. Dalam kamus Bahasa Indonesia, snobisme diartikan sebagai kaum snob. Snob, bisa dibedakan dalam dua kelompok. Yakni kelompok peniru orang yang dianggap hebat. Kelompok lainnya adalah kelompok yang suka meremehkan orang lain. Snobisme ini pada akhirnya akan membangun ilusi orang yang tak punya (the have not) untuk menjangkau sesuatu yang tak tersentuh (untouchable). Ilusi ini bahkan berupaya dihadirkan, meski dengan kebohongan.
Massifnya budaya suka memuji atau bahkan menjilat, membuat snobisme menggurita. Kelompok peniru akan menyokong kelompok peremeh. Meski dua-duanya sama-sama snob. Kelompok peremeh ini, sebenarnya juga adalah kelompok peniru level di atasnya. Terus begitu hingga makin menggurita. Snobisme ini berpotensi melahirkan sikap percaya diri. Ia merasa berada dalam level sosial paling atas. Namun di sisi lain, bisa juga melahirkan sifat minder berlebihan.
Priyayi-priyayi baru lahir sebagai efek meluasnya snobisme, meski hanya ilusi. Tidak hanya sebatas kebanggaan atas keturunan atau harta. Tapi juga masuk pada hampir semua sisi ilusi elitis. Bahkan dalam ranah intelektual. Fenomena merasa tahu segalanya (knowing all snob) bisa jadi salah satu contohnya. Banyak yang mengaku-ngaku ahli dalam bidang ilmu tertentu, padahal tidak memiliki kualifikasi pendidikan atau pengalaman di bidang tersebut. Pengakuan intelektual dalam gelar akademik, mendorong kaum snob ikut-ikutan berupaya merengkuh gelar tersebut, meski tidak ada gunanya bagi dia (dan orang lain), selain hanya untuk kebanggaan diri. Hadirnya prilaku masyarakat yang menilai kesuksesan seseorang hanya dari sisi kekayaan atau gelar (bling bias snob), membuat knowing all snob dalam kasus ini makin mendapatkan tempatnya.
Snobisme tentunya akan melahirkan sifat konsumerisme berlebihan. Tak heran industri yang diuntungkan, akan mempupuk terus akar snobisme agar makin kuat. Fenomena industri emosi ditawarkan dengan sedikitnya pada tiga kecenderungan. Yakni penampakan yang serba indah, pelayanan eksklusif serta tawaran kenyamanan tanpa batas. Namun di balik itu ada jualan pencitraan, yang tak lain adalah snobisme. Sisi snobisme ini terkadang justru menjadi jualan utama, meski tidak ditampakkan secara gamblang. Penggunaan barang bermerek, menunjukkan dominasi snobisme ketimbang tiga kecenderungan tadi.
Penghargaan yang hanya berdasarkan sisi materialistik pada akhirnya mendorong meluas kaumnya snob. Penghargaan terhadap kasih sayang seseorang pun, bahkan sudah tereduksi hanya sebatas pada pemberian materi.
Snobisme bukan hanya melulu soal kekayaan. Tapi juga soal intelektualitas, rasisme, bahkan agama. Lahirnya dai-dai dadakan yang tidak punya latar belakang ilmu agama yang kuat, bukankah menjadi salah satu contoh snobisme?
Namun snobisme tidak hanya melulu melahirkan hal-hal negatif. Snobisme mendorong majunya industrialisasi, dan inovasi. Pada sisi idealnya, snobisme juga bisa menularkan trend kebiasaan baik secara luas. Mulai dari kebersihan, kecantikan, kesan klimis, hingga dorongan untuk meningkatkan level intelektualitas, moralitas, bahkan jiwa sosial. Snobisme memang membangkitkan motivasi seseorang agar bisa naik kelas. Asalkan caranya benar dan tidak membuat ujub atau sombong, snobisme sebenarnya juga dibutuhkan.[]
Ilustrasi: bisnis.com
Penulis buku harian, suka mengintip fenomena sosial, sekarang wartawan Lombok Post.