NDANONAE termasuk salah satu lingkungan dari kelurahan Ntobo Kota Bima yang terletak di areal pegunungan sekitar + 15 kilometer ke arah timur. Dinamakan NdanonaE, konon tempat tersebut terdapat NdanonaE (danau besar) tempat minum dan mandinya hewan piaraan di kala kehausan.
Munculnya dusun NdanonaE menurut cerita para tetua kampung, pertama kali dibuka oleh gelarang Ntobo masa kerajaan sebagai areal perkebunan dan pertanian warga untuk bercocok tanam karena di kelurahan Nbobo sendiri kekurangan lahan pertanian.
Terdapat sembilan orang yang mengawali pembukaan lahan di sana, di antaranya ompu Jawa, ompu Hama, ompu Raja, ompu Ria, ompu Si, dan yang lainnya. Mereka membuka lahan perkebunan dan pertanian untuk menanam berbagai macam kebutuhan pokok sehari-hari, seperti padi, jagung, ubi, dan lain-lain.
Ketika terjadi peperangan pada masa penjajahan Jepang, warga NdanonaE membuat Karombo Jati, lubang Jati di sebelah timur lingkungan NdanonaE sebagai tempat persembunyian. Maka ramai-ramailah warga Ntobo dan Busu menyelamatkan diri ke NdanonaE, karena wilayahnya tidak terjangkau oleh Nipon. Lama kelamaan, mereka betah tinggal di sana hingga beranak pinak sampai saat ini.
Dulu, areal sekitar NdanonaE termasuk hutan yang ditumbuhi oleh berbagai macam jenis pohon yang besar dan rindang. Namun seiring perkembangan jaman, areal tersebut dijadikan lahan perkebunan dan pertanian warga sehingga sedikit demi sedikit kayu-kayu besar itu hilang dari peredaran, hingga saat ini tidak ada satu pun yang tersisa, hanya terlihat hamparan gunung yang gundul.
Masyarakat NdanonaE termasuk warga yang sangat menjaga tradisi leluhur, baik tradisi yang berkaitan dengan pertanian dan perkebunan seperti tradisi penanaman padi yang diiringi dengan musik gambus dan biola (sagele) maupun tradisi keislaman yang sudah mendarah daging seperti khataman al-Qur’an dan khitanan yang diiringi dengan alat musik tradisional, gendang dan silu/sarone dengan berbagai seni pertunjukan seperti buja kadanda dan mpa’a gantao.
Tradisi khataman al-Qur’an sudah ditanamkan sejak dulu. Anak-anak NdanonaE diwajibkan melakukan khataman al-Qur’an yang didampingi oleh guru ngajinya. Acara khataman, biasanya diselenggarakan secara meriah dihadiri oleh sanak saudara, handai tolan dan para tetangga. Oleh karenanya, walaupun secara praktek seseorang sudah khatam al-Qur’an tapi belum mampu menyelenggarakan secara meriah, maka khataman al-Qur’annya ditunda dulu sampai ada modal untuk menyelenggarakan acara.
Jika tidak demikian, bisa jadi disatukan dengan perhelatan lain, seperti acara sunatan atau acara pernikahan yang dirangkaikan dengan khataman al-Qur’an. Hal yang menarik di NdanonaE, calon pengantin yang belum bisa mengkhatamkan al-Qur’an, belum diperbolehkan melakukan akad nikah. Menunggu sampai dia dan calon isterinya bisa mengkhatamkan al-Qur’an, kecuali terjadi hal luar biasa (kecelakaan).
Hal ini diketahui ketika dilakukan mbolo ro dampa (mbolo kampo) musyawarah warga untuk pelaksanaan pernikahan seseorang. Calon pengantin dites untuk mengaji al-Qur’an. Jika kedua calon pengantin bisa membaca al-Qur’an dengan lancar, maka acara khataman al-Qur’an dapat dilaksanakan yang dilanjutkan dengan acara pernikahan, tapi jika kedua calon tidak bisa membaca al-Qur’an, maka pernikahan ditunda sampai keduanya lancar membaca al-Qur’an.
Hal ini didasari oleh keyakinan warga yang telah ditanamkan secara turun temurun bahwa pahala khataman al-Qur’an setelah menikah hanya didapatkan oleh suami dan isteri yang bersangkutan, sementara pahala mengkhatam al-Qur’an sebelum menikah, diperoleh juga oleh kedua orang tuanya yang telah mendidik dan membimbingnya sejak kecil. Keyakinan seperti inilah yang terus ditanamkan oleh para orang tua NdanonaE kepada anak-anaknya sehingga anak-anak sebelum menikah sudah bisa membaca al-Qur’an. Barangkali hal yang demikian merupakan metode ulama dalam pembumian baca tulis al-Qur’an di NdanonaE dan sekitar.
Begitulah yang penulis saksikan ketika berkunjung ke acara perhelatan khataman al-Qur’an sepasang calon pengantin beberapa waktu lalu di NdanonaE. Sebelumnya, mereka tidak mampu menyelenggarakan khataman al-Qur’an secara mandiri karena faktor biaya, maka ketika hendak menikah, mereka menyelesaikan kewajiban mengkhatamkan al-Qur’an tersebut dengan didampingi oleh guru ngajinya masing-masing.
Keyakinan seperti ini telah ditanamkan oleh ulama kharismatik Bima H. Ibrahim atau biasa disapa guru Mbenco sejak jaman kesultanan dulu, di mana beliau sangat gigih memberantas keyakinan terhadap Parafu dan Pamboro yang berbau syirik, dengan mengenalkan ajaran tauhid yang tertera dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Oleh karena itu, al-Qur’an sebagai pedoman hidup harus dikuasai bacaan dan maknanya oleh warga sehingga dapat dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Saat ini, pencerahan keagamaan di NdanonaE dilanjutkan oleh H. Afandi atau biasa disapa Ince Fendo, putra H. Ibrahim. Dalam ceramahnya malam itu, Ince Fendo menegaskan bahwa umat Islam Bima khususnya warga NdanonaE harus bisa membaca al-Qur’an karena membacanya saja mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Setelah membacanya lancar, maka harus dipahami isinya sedikit demi sedikit, kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Lebih lanjut Ince Fendo menjelaskan bahwa di samping berfungsi sebagai hudallinnas, petunjuk bagi kehidupan kita sehari-hari di dunia, al-Qur’an juga akan memberi syafaat kepada para pembacanya di akhirat kelak. Dikatakan, bahwa seseorang yang masuk neraka beribu-ribu tahun lamanya karena dosa-dosa yang dilakukan, pada saatnya nanti, al-Qur’an akan memohon kepada Allah Swt. untuk membebaskan dia dari siksa api neraka disebabkan karena dia pecinta al-Qur’an, selalu membacanya siang dan malam.[]
Iluustrasi: Syukri
Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Mataram dan Pengkaji Islam dan Budaya Lokal.