SUDAH lama kami warga kampung menunggu adanya geliat yang lain. Dari kecil kami sudah akrab dengan deru gelombang yang menerpa pantai. Bahkan amukan gelombang yang menggerogoti jalanan yang membelah antara kampung kami dan pantai. Kami juga sudah mafhum, jika ada keriuhan di kampung, itu berarti ada kawanan sapi yang turun dari gunung, atau menjangan yang terperangkap ke laut, perahu-perahu nelayan yang terdampar di pinggir pantai diterjang badai, atau ada kapal-kapal asing yang datang untuk sekadar singgah di dermaga kecil kampung kami.
Ah, itu semacam keriuhan alamiah saja yang membuat kami setelah itu seperti tertelungkup selimut tebal lagi. Yang kami butuhkan adalah hal dahsyat yang lebih dari itu. Sudah lama kami seperti mengurung diri, tanpa ada geliat yang bsa mengubah hidup kami sekampung.
Suatu saat terdengar bunyi geledek. Jelas bukan suara dari bom ikan di sepanjang pantai yang sudah sering didengar oleh penduduk kampung. Penduduk kampung mengira ada kebakaran di geladak kapal asing yang sering bersandar di dermaga pantai. Bunyi itu berulang beberapa kali, dan sejurus kemudian terdengar teriakan histeris.
“Sangiang! Gunung Sangiang meletus!! Lari!!!” Sontak para penduduk kampung semua berhamburan cari selamat. Seolah dikomando, mereka mengarah ke sebuah lembah yang dilindungi oleh sebuah bukit. Di situ tempat yang aman dari terpaan material muntahan gunung berapi.
Lama-lama lembah itu jadi legenda. Dipercaya sebagai parafu (tempat keramat), di mana orang sering melaksanakan ritual-ritual adat. Para tetua menamai tempat itu Sori Nggili (sungai tersembunyi), karena letaknya yang cenderung tersembunyi dari sudut pandang perkampungan. Tetapi leluasa memandang ke laut. Setiap ada gejolak, baik alam maupun sosial, selalu saja tempat itu jadi pilihan untuk berlindung. Dari generasi ke generasi, turun temurun.
Tiada dentuman tiada suara geledek, penduduk ramai-ramai menuju Sori Nggili, suatu hari. Ada kabar berembus kencang membuat mereka resah gelisah. Bahwa tempat keramat itu bakal segera sirna. Tempat itu sudah berubah jadi galangan kapal, milik Haji Adam, saudagar kampung, yang berkongsi dengan saudagar terkaya dari kota. Mereka telah membeli lahan keramat itu dan sekitarnya, dan diam-diam mereka merakit sebuah kapal yang besar.
“Mari ikut aku!” kata Haji Burhan, kepala desa, kepadaku yang sedang menemani para turis-turis yang baru turun dari kapal mereka. Ia meleraiku dari kerumunan para tamu asing yang mampir di pantai kampung kami untuk singgah, sebelum mereka melanjutkan tujuannya melawat ke timur lagi. “Kamu yang pintar harus menjelaskan kepada mereka, para penduduk kampung, yang sekarang menduduki Sori Nggili,” desaknya sambil menggandeng tanganku. Akupun mengikuti langkah kepala desa dan kata hatiku dengan jiwa yang membara.
Sesampai di sana, memang aku melihat seonggokan kapal besar yang hampir selesai, terbuat dari kayu-kayu pilihan, dengan badan dan geladak yang kelihatan kokoh berwibawa. Aku menjadi terkesima. “Macam perahu Nuh saja,” bisikku lirih kepada diri sendiri. Orang-orang kampung lalu bergerak dari tempat mereka berkumpul, demi melihat kepala desa dan aku yang datang. Ah, kehadiran kepala desa-lah yang membuat mereka bergerak. Sama sekali bukan karena aku.
Orang-orang itu bukannya bergeser menjauh dari kapal, malah mendekati badannya. Mereka berusaha memanjat kapal itu. Ada yang naik melalui tangga-tangga darurat dari kayu. Ada juga yang memanjat melalui tali-tali besar yang menjuntai ke sana kemari di sekeliling badan kapal. Puluhan mereka berhasil naik dan menduduki geladak kapal.
Aku dan kepala desa mengendus mereka dari belakang. Diam-diam kami meneropong mereka dari balik semak di tebing yang agak tinggi di samping belakang galangan itu. Ada jalan setapak di belakang kami yang menghubungkan Sori Nggili dengan kampung. Dengan mengambil posisi di belakang kapal, kami bisa segera kabur ke kampung jika terjadi kericuhan di galangan atau pembakaran kapal.
Suasana terlihat hening. Tidak ada tanda-tanda kekacauan akan terjadi. Mana orang-orang yang rebel itu, tanya saya dalam hati. Jika pun ada suara keriuhan, itu lamat-lamat berirama. Semula riuh rendah, lalu membahana seperti orang bermantra. “Kesyirikan tambah kental di parafu ini,” bisikku kepada kepala desa.
Kepada desa menarik tanganku untuk naik lagi tiga kaki dari tempat kami duduk, agar suara dan geliat orang-orang semakin gamblang. Yang masuk ke teropong mata kami berbeda dengan imajinasi kami. Orang-orang berbaris rapi dengan pakaian rapi seperti orang hendak menunaikan sholat. Betul, mereka sedang sholat. Setelah itu mereka duduk bersila dan berzikir di atas geladak itu. Khusyuk.
Kepala desa hendak mengatakan sesuatu kepadaku. Tapi sebelum ia mengeluarkan kata-katanya, terdengar sebuah khutbah yang menggema dari arah geladak. “Saudara-saudaraku sekalian, sudah lama kita semua sekampung ini ditimpakan hina. Kitalah orang yang selalu ditunjuk sebagai objek olokan. Dari atas kapal ini kita bertekad bangkit, dengan kekuatan sendiri, meski tanpa kuasa. Kita akan coba terjang lagi lautan Nusantara di depan kita ini sebagaimana nenek moyang kita dulu telah mengajarkan. Dari kampung kecil dan geladak kapal bersahaja ini, kita songsong jaya kembali maritim negeri ini. Hidup Haji Adam! Hidup kampung kita!”
Suara itu datang dari barisan tengah para pezikir. Seorang muda berambut gondrong, yang selama ini kami persangkakan sebagai bajak laut, mengayun-ayunkan tangan dan kepalannya. Ia seperti pembaharu, kali ini.
Kepala desa dan aku yang dipanggilnya sebagai orang pintar, termangu. Sambil mendengus, kami berjalan pulang. Kali ini tanpa bergandengan tangan.[]
Foto: Ayang Saifullah
Pegiat literasi dan peminat sufisme lokal
Bernas