TAHUN sudah berganti dari 1441 H ke 1442 H. Terpesona kita dengan pertambahan umur, karena secara lembaran kalender usia kita bertambah satu tahun, padahal secara hakekat sesungguhnya umur kita terkerat satu tahun oleh masa, kita semakin mendekat dengan titik akhir dari jatah hidup yang Tuhan tuliskan dan tetapkan dalam lembaran panjang perjalanan usia kita.
Jika kita menyadari hal itu, maka sungguh sangat tertipu jika harus berpesta pora dengan moment pergantian tahun, karena berpesta pora menunjukkan kegirangan kita dengan berkurangnya jatah umur, mestinya kita menengok diri ke belakang, kita menengok ke dalam diri—tahun berganti sejatinya kita harus naik peringkat menjadi lebih dari tahun sebelumnya, entah lebih cerdas, lebih soleh, lebih bijak, dan seterusnya, karena semakin tahun berganti sejatinya semakin kita dewasa.
Ada satu kalimat bijak dari seorang alim, bahwa manusia pada hakikatnya adalah gugusan waktu, begitu waktu terkerat oleh detik, maka hakikatnya manusia itu telah hilang satu detik, begitu seterusnya. Setiap waktu berjalan sedikit demi sedikit manusia itu pun ikut tertelan mengikuti perjalanan masa.
Menyadari hal ini sungguh tidak tega asa ini untuk selalu berada di luar diri, pantasnya kita menengok ke dalam diri sedalam-dalamnya terutama saat tahun berganti tahun untuk kita tahu tentang diri kita yang selama ini kebanyakan manusia tidak mengenal dirinya karena sibuk mencari tahu tentang manusia lain. Maka tidak heran kalau ada kalimat yang cukup terkenal dalam pepatah Indonesia “Gajah di pelupuk mata tak nampak, semut di seberang lautan tampak”.
Mari kita kembali untuk bangkit dari kealpaan selama ini, kita sadari bahwa Tuhan tidak peduli dengan seberapa kita kenal dengan orang lain, Tuhan hanya menginginkan kita kenal dengan diri kita. Coba perhatikan bocoran soal Ujian Akhir ketika di alam barzakh yang sering disuara-merdukan di atas pusara; Siapa Tuhan yang kamu yakini selama hidupmu?, siapa rasul yang kamu ikuti dalam jejak ibadahmu?, kitab apa yang kamu jadikan penuntun hidup dalam menelusuri lembaran usiamu?, agama apa yang kamu jadikan sebagai kompas dalam mengabdikan dirimu untuk Tuhan?, dan siapa yang menjadi teman yang kau yakini mampu menyelamatkanmu dalam suka dan duka di dunia dan di akhirat?…
Semua jawaban itu pada akhirnya bermuara pada pengenalan “siapa diri ini” yang sesungguhnya. Jawaban yang kita berikan tidak lain menjadi indikasi karakter kita sendiri. Sekalipun pertanyaan terakhir terkait dengan orang lain, tetapi jawaban kita tentang siapa? …. Mencirikan tentang diri kita. Apa pun bentuk jawaban yang kita berikan saat itu hanya untuk membenarkan siapa kita yang sesungguhnya, sehingga mudah bagi Tuhan untuk memposisikan kita dalam sidang pengadilannya.
Maka selagi kesadaran kita masih berbekas dan masih terasa dalam asa, mulailah menengok ke dalam diri, agar kita benar-benar kenal betul siapa diri ini. Tuhan dengan bijak dan santun mengingatkan kita, “Kenalilah dirimu agar kau kenal Tuhanmu”… Wafi anfusikum afala tubshirun… Sungguh bijaksana Tuhan itu, tidak mau mencari muka dan bertepuk dada betapa dia bisa dikenal lewat karya besarnya berupa hamparan kosmos, jagat raya yang terhampar dalam alam semesta dan isinya, tetapi Dia memang Maha Bijaksana, Dia ingin hamba-Nya menyadari tentang diri hambanya sendiri sebelum menyadari tentang Tuhannya.
Rasul pun begitu bijak mengingatkan umatnya, beliau pernah berwasiat: Wahai umatku, saat kau ada di dunia adalah saatnya kau mengumpulkan amal baik untuk bekal kelak tatkala mendekat di hari hisab, maka kumpulkan bekal sebanyak-banyaknya, jangan kau membalikkan fungsi dunia ini, di mana dunia kau jadikan waktu untuk menghisab, menghisab orang-orang yang ada di sekelilingmu, padahal belum waktunya dan tidak ada hak bagimu untuk menghisab, nanti akan ada waktunya di mana hisab itu akan diberlakukan oleh Tuhan sebagai ahli husab tunggal. Celakalah kalian jika kehidupan di dunia tidak kau gunakan untuk mengumpulkan bekal akhirat, tapi malah kau gunakan untuk menghisab.
Dalam pergantian tahun dan dalam berjalannya waktu, bacalah diri secara utuh dan mendalam, kenalilah diri, renungkan diri, dan masuklah ke dalam diri masing-masing, agar kesibukan melihat diri menjadi tidak memiliki waktu untuk membaca orang lain, apalagi menfonis orang lain. Jika itu yang dapat kita lakukan masing-masing, akan lahirlah manusia-manusia arif dan bijaksana. Kata Imam besar Masjid Istiqlal Prof. Nasaruddin Umar, MA; Kalau ada orang suka menyalahkan orang lain, itu pertanda dia masih harus belajar. Tapi kalau sudah berani menyalahkan diri sendiri orang itu sudah sedang belajar. Tapi kalau tidak menyalahkan siapa-siapa orang itu sudah hampir selesai belajar dan menjadi orang arif.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Alhamdulillah pencerahan yang luar biasa..
Dengan saling mengingatkan seperti ini maka kita seolah d bangunkan dari ketidaksadaran manusia yang selalu hubbuddun ya
Ma shaa Allah, ilmu ini amat sngat bermanfaat untuk kembali mengingatkan jika waktu jangan di sia2 kan…, tidk ada yg pantas di sombongkan dr manusia krna smua akan kembali lagi pada Nya
Jazakallah khaer pak….pencerahannya mantul ngenak di hati, smoga bapak sehat pnjang umur dan ,keberkahan selalu menyertai….aamiin