Ayat Alam Hayat dalam Studi Al-Qur’an

Tulisan ini berawal dari sebuah dialog antara sosok Ama dengan Lesley dalam novel berjudul Tambora yang ditulis oleh Agus Sumbogo. Dalam dialog tersebut, Ama dan Lesley mendiskusikan tentang falsafah ayat alam hayat—dimana falsafah tersebut merupakan prinsip dasar bagi kehidupan masyarakat di tiga kerajaan yang terletak di pulau Sumbawa yakni, kerajaan Tambora, Sanggar dan Pekat. Tiga kata dalam falsafah tersebut mengandung arti, bahwa ayat yang dimaksud adalah teks suci Al-Qur’an, dan alam hayat adalah semesta atau kosmos yang harus dihayati.

Ama mengatakan kepada Lesley bahwa alam semesta ini dipenuhi oleh ayat-ayat Allah, dan manusia harus mampu membaca dan menghayati untuk menangkap makna yang terkandung di baliknya. Manusia, selain menjalin hubungan baik secara vertikal dengan Tuhan dan menjalin berhubungan baik secara horizontal dengan sesama manusia—juga harus menjalin hubungan baik dengan alam semesta—untuk menjaga dan melestarikannya sebagai bagian dari keimanan mereka. Jika tidak dilakukan, maka akan datang suatu kehancuran—sebagaimana meletusnya gunung Tambora pada 1815 yang meluluhlantakkan kerajaan-kerajaan saat itu. Demikian gambaranya!

Membahas Al-Qur’an, tentu kata pertama yang kita ingat adalah iqra‘­—yang berasal dari kata qara’. Iqra’ diartikan “bacalah”, sedangkan qara‘ memiliki arti menghimpun. Jadi, Al-Qur’an adalah himpunan dari huruf dan kata yang bisa dibaca—menghimpun seluruh pengetahuan tanda-tanda, perumpamaan-perumpamaan di alam ciptaan. Perintah membaca huruf-huruf, kata-kata dan kalimat-kalimat dalam Al-Qur’an merupakan ajakan untuk memahami alam raya yang sangat luas dan berlapis-lapis, bukan sekedar melafazkan atau membunyikannya (Kazhim, 2003: 100).

Dalam sejarahnya, Al-Qur’an turun dengan dua cara. Pertama, Al-Qur’an turunkan oleh Allah SWT dari lauh mahfudz ke bayt al-Izzah secara utuh saat malam lailatul qadr. Kedua, Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril as secara bertahap-tahap selama 23 tahun seiring masa kenabian. Saat ketika memberi wahyu ke Nabi Muhammad, Jibril as tidak mengatakan “lihat dan perhatikanlah!” melainkan “bacalah!”. Jadi, antara kata iqra dengan ayat alam hayat menunjukkan bahwa alam semesta tak ubahnya sebuah buku.

Dalam konteks yang sama, Izzuddin pernah menulis, “Segala sesuatu yang ada, adalah sebuah tanda, dan dalam suatu hal lain, adalah sebuah tulisan. Dalam bentuk tertulis, Allah menyebut kosmos sebagai “buku” (kitab) dan barangsiapa membaca buku ini, maka dia akan mengenal Diri-Ku dan pengetahuan, keinginan, serta Kekuasaan-Ku.” Lanjutnya, konon pada saat itu pembacanya adalah malaikat. Pembaca-pembaca ini sangat kecil, sementara buku itu sangat besar. Mereka tidak bisa melihat pinggiran buku atau seluruh halamannya, sehingga mereka tak sanggup melakukan, kemudian Allah membuat salinan (transkripsi) kosmos, dengan menuliskan ikhtisar dan ringkasan buku ini (Murata, :74).

Baca Juga  Mari Melihat Kembali Indonesia

Berdasarkan sebuah tanda, dan dalam suatu hal lain—yang dimaksudkan Izzuddin di atas adalah selain yang terhampar di alam semesta (kosmos) atau dalam bentuk kontekstual (kauniyah), ayat-ayat Allah juga berbentuk tekstual (kauliyah). Ayat-ayat Allah secara kauniyah dan kauliyah dalam falsafah ayat alam hayat merupakan seruan bagi umat manusia agar selalu membaca dan menghayati alam semesta yang di dalamnya juga terdapat ayat-ayat Allah berupa tanda-tanda sebagaimana yang juga dijelaskan di dalam (Q.S Yunus: 6), (Q.S. ar-Ruum: 20-24), (Q.S. an-Nahl: 13, 79), (Q.S. al-An’am: 97), (Q.S. adz-Dzariyat: 20-21), (Q.S. az-Zumar: 42), (Q.S. al-A’raf: 58).

Ayat-ayat di atas, menyampaikan pesan kepada manusia untuk melihat, mengingat, memahami, mempergunakan akal, merenung, bertakwa, meyakini, bersyukur, dan sebagainya. Semua ayat Al-Qur’an menegaskan bahwa tanda-tanda Allah adalah petunjuk bagi manusia untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya (Kazhim, 2003:109). Kenyataan ini juga selaras dengan kesatuan wujud (wahdat al-Wujud) dalam konsep kunci mistisisme Ibnu ‘Arabi—bahwa segala ciptaan adalah tanda dan perumpamaan bagi kehadiran Ilahi.

Selain berbicara tentang tanda (ayat), Al-Qur’an juga berbicara tentang perumpamaan atau pe-misalan sebagaimana yang tertera di dalam beberapa ayat (Q.S. al-Ankabut: 43), (Q.S. an-Nur: 35), (Q.S. an-Nahl: 74). Perumpamaan tentang Realitas Mutlak tersebut bukanlah untuk Allah, tetapi untuk manusia, karena Allah adalah Hakikat itu sendiri (Lihat: Q.S. an-Nahl: 74). Perlu ditegaskan juga, semua perumpamaan sebagaimana yang dikatakan di atas, adalah sebagai suatu perumpamaan yang tidak akan mampu menjelaskan Hakikat Mutlak yang sesungguhnya (Kazhim: 116). Dengan kata lain, agar memudahkan manusia memahami kekuasaan dan kekayaan makna Wujud Illahi, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk huruf dan bahasa yang bisa dipahami oleh manusia, seperti yang Firmankan oleh Allah SWT dalam (Q.S. al-Qamar: 17).

Seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa Al-Qur’an merupakan kumpulan ayat, begitu juga dengan alam semesta. Ayat bermakna sesuatu yang tampak adalah tak terpisahkan dari sesuatu yang tak tampak, sehingga ketika seseorang memahami yang tampak, maka dia mengetahui bahwa dia mulai memahami yang tak tampak, dimana yang tak tampak tidak bisa dipahami dengan dirinya sendiri (Lane: 1984). Dalam hadits Rasulullah SAW, mengatakan bahwa; “Al-Qur’an memiliki bentuk luar yang indah dan makna batin yang kaya. Dalam hadits lain, Beliau juga mengatakan; “Al-Qur’an memiliki sisi batin dan bahwa sisi batin itu memiliki sisi batin hingga tujuh lapis sisi batin (Allamah Thabathaba, 1991: 95).

Baca Juga  Rivalitas Politik di Balik layar

Fakta bahwa kata ayat (tanda) sebagai bagian-bagian ciptaan dan sekaligus bagian-bagian Al-Qur’an menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah teks alam semesta, sedangkan alam adalah konteks Al-Qur’an. Maksudnya, Firman Allah terekam di Al-Qur’an dalam bentuk huruf dan kata, sementara Tindakan-Nya terungkap di alam semesta dalam kejadian dan fakta. Di antara kata dan kejadian ini terdapat jalinan yang jelas bagi orang-orang yang berilmu (Kazhim, 2003: 98). Abdullah bin Mas’ud juga berkata; “Al-Qur’an turun dalam 7 huruf. Tiap-tiap hurufnya memiliki sisi lahir dan batin—Ali bin Abi Thalib mengetahui sisi sisi lahir dan batin setiap huruf dalam Al-Qur’an (Syahri: 202). Jadi, di balik deretan huruf dan rangkaian kata yang dikandungnya, Al-Qur’an menyimpan petunjuk-petunjuk dan makna-makna batin yang tak terhingga, sebagaimana dalam sebuah hadist Baginda Rasulullah menyatakan; “bacalah Al-Qur’an dan tangkaplah keajaiban-keajaibannya (Shadra, 1984: 70).

Itulah mengapa seorang hamba tidak akan pernah melihat pertentangan antara mencari pengetahuan tentang alam melalui metodologi saintifik dan menerima pengetahuan tentang alam gaib dari wahyu Al-Qur’an. Bahkan, dengan penuh keyakinan ia akan menyadari bahwa dibalik tanda-tanda fisik terdapat makna-makna batin yang luas dan mendalam, sehingga ia akan senantiasa mencari petunjuk-petunjuk dari Al-Qur’an dan hadist Nabi mengenai makna-makna itu. Keserupaan lapisan-lapisan dan tingkatan-tingkatan Al-Qur’an dengan bentuk-bentuk alam fisik menegaskan pentingnya manusia memiliki metodologi yang lebih terbuka dalam memahami alam maupun Al-Qur’an sedemikian sehingga pemahaman kita makin lama makin mendekati hakikat yang seutuhnya (Kazhim, 2003: 100).

Dalam hubungan antara perumpamaan dengan Realitas Mutlak, Murtadha Muthahhari menulis puisi dalam, Pengantar Pemikiran Shadra: Filsafat Hikmah:

“Ibarat pancaran sinar cahaya,

Terpisah dari mentari padahal tidak terpisah

Begitu pulalah alam raya,

Tanda Allah padahal bukan Allah.

Lihatlah pantulan kalian pada kaca cermin.

Bakal terlihat (gambar) kalian.

Padahal bukan kalaian.”~(Muthahhari, 2002: 148-149)[]

Ilustrasi:l.bp.blogspot.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *