MEMBINCANG Sumpah Pemuda berarti kita berbicara tentang memori dan narasi. Yakni, memori dan narasi perjuangan tanpa lelah dari kaum muda dalam menyusun aneka puzzle keragaman hingga membentuk sebuah bangunan kebangsaan bernama Indonesia. Pernahkah kita membayangkan, bagaimana preseden historis dalam mengumpulkan dan merajut kepingan-kepingan identitas suku, budaya, bahasa dan agama itu hingga terjalin sebuah bangsa besar yang membentang dari Sabang sampai Merauke seperti hari ini?
Pada 92 tahun lalu, saat Sumpah Pemuda itu diikrarkan, tentu bukanlah perkara mudah untuk menenun kain kebangsaan itu. Selain diperlukan kebesaran jiwa untuk meluruhkan sekat-sekat yang ada (ideologis, psikologis maupun sosiologis), menundukkan ego dan kepentingan serta menenggang semua perbedaan, juga perjuangan tersebut berhadapan dengan kendala teknis.
Di tengah keterbatasan alat transportasi dan komunikasi, maka mengumpulkan berbagai kelompok pemuda di tengah persoalan geografis yang maha luas itu tentu tidaklah mudah. Dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit. Toh, suasana kebatinan yang sama, perasaan senasib sependeritaan menyebabkan kendala teknis itu bisa di atasi. Dan peristiwa monumental itu berhasil ditorehkan. Sebuah momentum yang kian meneguhkan ikatan kebangsaan atas dasar kebhinekaan.
Tetapi hari ini, di zaman now, di era digital di mana sekat-sekat geografis itu nyaris hilang, masihkah citarasa kebangsaan 1928 itu menimbulkan getaran? Masihkah rumah keindonesiaan menjadi tempat kembali bagi kaum muda? Hampir dua tahun terakhir ini, secara jujur, harus kita katakan bahwa aura dan marwah kebangsaan itu kian kehilangan daya magisnya. Rumah besar keindonesiaan yang dahulu dengan susah payah diperjuangkan, disusun dan dibangun di atas airmata dan penderitaan itu mengalami kerapuhan di sana sini.
Ironisnya, bukan hanya bangunan rumah yang terancam melainkan sesama penghuninya juga saling bertengkar, bahkan hendak saling membunuh dan menafikan. Sedihnya lagi, pertengkaran dipicu oleh hal remeh-temeh, sedangkan di luar sana sang ‘predator’ terus mengintai dan menghancurkan mereka. Bila pemuda 1928 saling menenggang rasa, bahkan merayakan perbedaan, guna merawat rumah keindonesiaan itu, hari ini kaum muda justeru hendak membakar rumah itu demi primordialisme sempit, termasuk yang menggunakan jubah agama.
Dalam hal ini, para pemburu ekonomi dan pemuja syahwat politik telah merobek-robek kain kebangsaan itu demi penghambaanya kepada uang dan kekuasaan. Sebagian kaum muda telah terjebak dalam skenario ini. Mereka memperalat semangat dan heroisme kaum muda demi tujuan-tujuan politik dan ekonomi sempit. Akibatnya, ruang publik kita tiba-tiba menjadi sumpek oleh sampah penistaan, aksi saling melapor atas dugaan pelecehan dan penghinaan atas suku dan agama tertentu, isu pribumi, aksi-aksi massa, penyebaran kebencian dan seterusnya.
Kita tiba-tiba melihat semua yang ‘berbeda’ dari kita sebagai ancaman atas eksistensi kita, identitas kita, kelompok kita. Setiap yang berbeda kita anggap punya konspirasi jahat untuk menghancurkan kita. Ruang publik lalu dirasakan serba kaku dan kikuk karena dipenuhi atmosfir kecurigaan, kedengkian, kebenciaan, dendam serta semangat untuk menghancurkan; sedangkan semangat kebangsaan dan rasa persatuan semakin terasa jauh.
Celakanya, mereka yang fasih beretorika tentang kebangsaan, yang sering berkhutbah dengan nasionalisme, bahkan partai politik yang mendedahkan kebangsaan itu sebagai asas, justeru lihai memainkan sentimen primordial itu demi selembar surat suara. Mereka menggadaikan, bahkan menjual slogan kebangsaan itu demi “junjungan”-nya—merengkuh tahta kekuasaan.
Oleh karena itu, memori kolektif tentang kebangsaan dan kebhinekaan itu harus terus-menerus disuarakan untuk melawan amnesia sejarah kaum muda ini. Kalau tidak, gangguan amnesia itu bisa menyebabkan pelakunya bertindak fatal—membakar rumahnya sendiri. Kita tidak boleh menyerahkan alur hidup bangsa ini diserahkan kepada kemauan sejarah. Kita harus bergerak bersama untuk mengatur dan merekayasa jalannya sejarah. Kita mesti mengendalikan sejarah hidup kita.
Seperti halnya tembok yang sudah bertahun-tahun terpapar matahari dan hujan maka sudah pasti warnanya akan kusam dan pudar. Maka, jangan biarkan imaji kebangsaan kaum muda kita seperti tembok yang kesepian—-yang kian kusut oleh aneka cuaca zaman![]
Ilustrasi: redaksiindonesia.com
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.