MAULID Nabi Muhammad SAW menjadi salah satu momen untuk merefleksi komitmen persaksian kita terhadap kenabian dan kerasulan Muhammad SAW sebagai sosok suri tauladan yang Tuhan kirim untuk manusia. Tuhan menitip rujukan pada diri Muhammad SAW sebagai cermin kehidupan manusia, baik sebagai rujukan dalam berbicara, bersikap, maupun didalam diam.
Selama ini kita sering melihat fenomena di tengah masyarakat di mana Muhammad SAW ditempatkan sebagai sosok manusia langit yang keberadaannya lebih diposisikan sebagai wakil Tuhan ketimbang sebagai sosok yang dapat dicontoh. Peringatan Maulid Nabi SAW yang diadakan setiap tahun sejatinya momen dijadikan sebagai wahana untuk memahami bahwa sosok Muhammad SAW itu sebagai referensi manusia dalam memahami dan melakoni kehidupannya, sehingga kepribadian Muhammad SAW lekat dengan kepribadian manusia yang mengimaninya, bukan sebaliknya yakni bertolak belakang dengan sikap Muhammad SAW sebagai suri teladan.
Coba kita perhatikan, alangkah naifnya bila mengaku-ngaku mencintai dan meneladani Muhammad SAW sementara enggan mencontoh perilakunya. Di satu sisi kita senantiasa bersholawat kepadanya, tetapi pada kesempatan yang lain kita malah melakukan perbuatan yang tidak disukainya. Mengaku mengidolakan Muhammad SAW tetapi anehnya membaca al-Qur’an saja jarang-jarang, shalat wajib masih malas-malasan—apalagi shalat malam dan shalat dhuha, bermuka manis terhadap sesama terasa sulit, bersedekah masih hitung-hitungan, berbohong dan menggunjing masih menjadi kebiasaan.
Mengaku bersaksi menjadi pengikut Muhammad SAW tetapi dalam bertransaksi mengikuti cara Abu Jahal, berhadapan dengan sesama mengikuti cara Abu Lahab, mendapat rizki yang melimpah mengikuti cara Tsa’labah yang enggan berbagi. Semua prilaku tersebut tentu saja kontradiksi dari apa yang telah dicontohkan oleh Muhammad SAW. Kita lengah dari sindiran Tuhan di surah ke-3 ayat 31, “Katakanlah (hai Muhammad): Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)-ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Imam at-Thabari, ketika menafsirkan ayat di atas berkata, ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Muhammad SAW, maka cintanya adalah cinta palsu.
Pada renungan hikmah ini, saya mengajak pembaca untuk berandai-andai pada bulan kelahiran Muhammad SAW saat ini. Andai ada seseorang yang tiba-tiba datang ke rumah kita dan mengetuk pintu di awal malam, tentu kita akan bertanya siapa ya….? Lalu orang tersebut menjawab, saya Muhammad SAW… Kira-kira berapa lama kita akan mempersiapkan diri dan mempersiapkan kondisi rumah kita baru kita membuka pintu untuk Muhammad SAW?
Setelah kita membuka pintu dan duduk di ruang tamu, kira-kira annazhofatu minal iman sudah nampak di sudut-sudut ruang tamu kita? Quote-quote yang kita pasang sebagai penghias ruangan, apakah kita ambil dari hadits-hadits beliau atau dari tulisan-tulisan orang yang belum tentu memiliki sifat satunya kata dengan perbuatannya? Obrolan seputar sunnah-sunnah beliau bisakah kita ceritakan sejauh mana kita mengamalkannya? Jika beliau bertanya seputar kebiasaan mengaji al-Qur’an bisakah kita membuat beliau bangga dengan kita sebagai umatnya? Jika Muhammad SAW bertanya bagaimana shalat berjamaah di setiap shalat wajib bisakah kita menjawab yang membuat beliau tersenyum?
Jika Muhammad SAW ingin mengetahui seberapa cintanya kita kepada beliau bisakah kita hadirkan bukti-bukti yang nyata? Jika Muhammad SAW bertanya seputar sikap kita dalam rumah tangga, dalam mendidik dan mempersiapkan anak-anak kita sebagai generasi yang melaksanakan sunnah Nabinya, sampai kepada bagaimana kepedulian kita kepada tetangga, dapatkah kita menjawabnya dengan lancar? Lalu pertanyaan yang tidak kita sangka-sangka, apabila Muhammad SAW bertanya tentang persiapan kita untuk menyongsong suatu waktu yang amat sangat pasti yakni kematian, bisakah kita menjelaskan bahwa hal itu sudah kita rencanakan dan siapkan dengan matang?
Bayangkan kalau seandainya pertanyaan-pertanyaan Muhammad SAW itu tidak mampu kita jawab karena kita belum melakukannya dengan maksimal atau kita belum melakukannya sama sekali, alangkah sedihnya Muhammad SAW, Terbayang malunya beliau di hadapan Tuhannya. Empat belas abad usia dakwah beliau semestinya kita memiliki prilaku dan kebiasaan hidup seperti yang dikatakan Aisyah ummul mukiminun “Khuquhu al-qur’an” prilaku nabi SAW adalah implementasi dari al-Qur’an.
Jika Muhammad SAW empat belas abad silam berprilaku dengan konsep-konsep yang ada di dalam al-Qur’an untuk kita contoh sebagai referensi dan rujukan dalam berprilaku, maka saat ini selayaknya konsep al-Qur’an itu sudah membumi dan berurat berakar pada sikap dan prilaku para pengikutnya, ya, prilaku kita-kita ini.
Sebagai refleksi dan evaluasi diri, ingatlah bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bangga di hadapan para sahabat: Tahukah kalian generasi yang paling baik? Semua sahabat menjawab, generasi nabi dan ada pula yang menjawab generasi sahabat, lalu Nabi SAW mengatakan tidak!. Bahwa generasi yang paling baik adalah generasi yang jauh dari masaku, jauh dari masa sahabat, dan jauh dari masa tabi’in, bahkan tidak pernah bertemu denganku, dengan sahabat, dan dengan tabi’in, akan tetapi dia sangat mencintaiku dan mengikuti dengan yakin seluruh sunnah yang aku contohkan.
Sekarang bisakah kita membuktikan bahwa kita pantas menjadi generasi yang paling baik yang dibanggakan Nabi Muhammad SAW?[]
Ilustrasi: pixabay.com
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram