SUATU saat, Abu Nawas berjalan-jalan sore di pasar. Sampai di sebuah warung sate hidungnya mencium bau sedap dari asap sate yang sedang dibakar. Abu nawas merogoh kantungnya, ternyata ia hanya punya dua kepingan uang, tak cukup buat beli sate. Ia lalu merayu hatinya untuk rela menerima baunya saja.
Melihat Abu Nawas menikmati bau satenya, sang pedagang minta bayaran. Abu Nawas kaget. Dalam hati ia memngumpat, “Dasar pedagang tak tau diuntung, apa saja mau diuangkan!”
Tapi ia segera kuasai diri. Ia rogoh sakunya, meraih dua keping uang logamnya, lalu dilempar-lempar bersamaan sehingga menimbulkan bunyi gemerincing. “Ambil saja bunyinya!,” kata Abu Nawas sambil berlalu.
Nah, kisah antah-berantah itu juga terjadi di kampung kita. Adalah seorang tokoh muda yang amat kesohor. Namanya disebut di mana-mana, bak selebriti infotainment. Sebetulnya, orangnya biasa-biasa saja, Tapi entah mengapa, banyak orang, terutama kalangan pejabat, segan atau takut terhadapnya.
Kata orang, ia memiliki banyak jaringan dan koneksi, terutama kalangan atas. Yang lain bilang, ia punya banyak ‘pasukan’ yang bisa dilepas jika keadaan lagi genting dan diperlukan. Ada juga yang menduga ia punya ‘ilmu-ilmu’ tertentu untuk menundukkan siapa saja yang dihadapinya. Atau karena ia seorang bangsawan? Entahlah. Yang jelas, jika orang menyebut namanya, pasti ada saja yang merasa cemas.
Baca JUga:
Sebagai seorang cerdik, ia selalu menemukan peluang dalam keadaan apa saja, lebih-lebih dalam ketakutan orang. Segera setelah kesadaran itu muncul, perilakuknya seperti bunglon, gaya dan sepak terjangnya berubah. Mulai politis, mulai pragmatis, dan mulai oportunis. Gaya dan gerak-geriknya juga didesain sedemikian rupa agar siapapun yang didatangi terpelihara rasa takutnya. Output-nya tentu duit atau proyek atau kompensasi-kompensasi lain yang menguntungkan. Ya, seperti gaya permainan kalangan avonturir. Jika itu didefinisikan sebagai “permainan kasar” maka itu namanya ‘ngompas’ dalam dunia preman.
Semakin lama ia beredar semakin banyak pula modus operandi yang ia terapkan. Sasaran bidiknya juga semakin banyak, dan sudah tentu para pejabat berduit yang nyalinya kembang-kempis karena akumulasi dosa dan kekhilafan yang mereka buat sendiri.
Suatu saat ia mencium berita bahwa Tokoh Kita orangnya royal dan dompetnya tebal. Ini jelas berita baik, dan tentu saja harus dijajal. Sebagaimana setiap orang mempunyai pintu masuk untuk menaklukkan orang lain, sang cerdik ini juga punya caranya sendiri.
Dibuatlah even fundraising bagi suatu kegiatan sosial dan kedermawanan yang melibatkan anak-anak muda. Sengaja diundang banyak kalangan, terutama para petinggi. Dan sang cerdik ini tampil “melelangkan” program-programnya kepada seluruh hadirin.
“Pemuda adalah elemen masyarakat yang harus terjun aktif dalam mengisi pembangunan masyarakat. Dan kami sebagai pengurus kaum muda merasa harus berdiri paling depan dalam usaha ini. Alhamdulillah, para hadirin yang terhormat, banyak pihak telah memberikan komitmen dan dukungan riil bagi program pemberdayaan masyarakat yang kami canangkan ini. Bapak bupati telah menyumbang sekian juta, bapak sekda juga tidak kalah banyaknya, kepala dinas ini sekian, kepala itu sekian, mudah-mudahan nanti yang terhormat Bapak kita…”
Merasa dibidik dan akan kena tembakan, Tokoh Kita ambil posisi meloncat gesit ke podium. Sambil memulai pidato, ia keluarkan sebungkus amplop tebal dari balik sakunya. Sang aktivis, dan para hadirin yang lain, terbelalak.
“Terima kasih, Bang, ini betul-betul di luar perkiraan kami. Sekali lagi terima kasih,” kata sang cerdik dengan berbinar mata setelah Tokoh Kita turun dari mimbar. Tokoh Kita hanya manggut-manggut sambil tersenyum simpul, lalu pergi bersiul-siul.
Merasa targetnya sudah kena, sang cerdik tidak perlu lagi melanjutkan jualan. Meski baru satu tapi satu itu kakap. Toh uang segebok itu sudah cukup untuk sementara waktu. Lagi pula ini baru penjajakan, begitu pikir sang cerdik.
Di depan rekan-rekan seperjuangan, cedik kita ini merasa jumawa, berbangga diri dapat menaklukkan orang sekaliber Tokoh Kita. Ini tentu investasi sosial-politik bagi karirnya sebagai “aktivis”. Ia pun bisa pidato: “Tuh, kan, kalau bukan saya nggak jalan kita punya organisasi.”
Tapi suasana berubah drastis ketika ia membuka amplop. Tenyata yang tebal itu adalah lembaran-lembaran seribuan. Serta merta ia muram durja dan mencakar sana-sini. “Kita kena tipu! Awas, pasti tau rasa dia nanti,” teriaknya penuh kesumat.
Dengan langkah dan raut muka yang anker, ia mendatangi kantor Tokoh Kita. Tokoh Kita melihat kedatangannya yang tidak bersahabat dari balik kaca riben. Maka sengaja ia bunyikan warning kayak di film-film. Mendengan bunyi alaram, sang petualang celingukan, toleh kiri toleh kanan. Terlintas beberapa sosok besar dari balik kaca mau menghampiri. Sang pemuda cepat-cepat balik kanan, dan kabur. Nyalinya ciut.[]
Diangkat kembali dari buku Anak Pelayan Belajar Melayani
Ilustrasi: lakonhidup.com

Pegiat literasi dan peminat sufisme lokal