JUDUL di atas sekilas memang aneh, karena ada diksi yang berlawanan makna yakni “Tatkala sakit manusia itu sehat”. Kedengarannya memang aneh, tetapi kalimat itu ingin menjelaskan kepada kita bahwa banyak di antara kita tatkala berada dalam kondisi sehat sering memperlihatkan sikap dan prilaku orang tidak sehat. Sebaliknya tatkala ditimpa penyakit akan memperlihatkan sikap dan prilaku orang yang sehat.
Mari kita telisik secara teliti beberapa sikap dan prilaku kita yang nampak aneh. Betapa banyak di antara saudara-saudara kita dikala jiwa dan raganya sehat dia memperlihatkan sikap sombong dan angkuh di hadapan saudaranya yang lain. Betapa banyak di antara sudara-saudara kita tatkala sehat memperlihatkan sikap dendam dan dengki yang melampaui batas terhadap saudaranya dalam satu komunitas.
Betapa banyak dari saudara-sudara kita tatkala sehat menampakkan sikap arogan dan tinggi hati yang berlebihan di hadapan banyak orang. Betapa banyak dari saudara-saudara kita tatkala sehat menampakkan sikap tidak peduli dan antipati yang berlebihan terhadap orang di sekitarnya.
Itulah yang banyak kita lihat dan alami dalam hubungan sosial kemanusiaan yang cukup mengganggu harmoni dan romantisme kehidupan kita. Terkadang timbul rasa heran manakala kita menjumpai sikap-sikap yang tidak semestinya dilakukan oleh orang-orang yang sehat secara fisik maupun psikis, namun sikap dan prilaku seperti itu memang nyata.
Itulah mungkin ada untaian petutur dari Nabi SAW, “Fakkir qablal qalam” Berpikirlah sebelum berkomunikasi verbal. “Fakkir qablal ‘amal” Berpikirlah sebelum berinteraksi dengan sesama. Tujuannya tidak lain agar harmoni dan romantisme dalam kehidupan kita tetap terjaga, tetap nyaman, dan tetap damai.
Orang-orang yang memiliki sikap dan prilaku sombong, angkuh, dendam, dengki, arogan, tinggi hati, tidak peduli dan antipati biasanya akan disadarkan oleh dirinya sendiri dengan hadirnya satu penyakit dalam tubuhnya dan disitulah biasanya manusia menyadari kekhilafan dari seluruh sepak terjang semasa sehat, di saat itulah biasanya akan datang pikiran yang sehat dan ingin menghapus seluruh prilaku buruk yang pernah dilakukan di hadapan alam semesta dan isinya.
Ujian sakit yang diidapnya seakan-akan menjadi petutur dan petuah yang menyadarkannya akan prilaku yang tidak manusiawi yang pernah dipraktekkan semasa sehat. Terbayang bagaimana orang-orang mendapatkan kesan buruk dari prilaku dan sikapnya, terbayang bagaimana orang-orang menaruh rasa tidak senang kepadanya, terbayang bagaimana orang-orang menaruh rasa tidak simpati kepadanya, dan terbayang pula bagaimana orang-orang menggunjing keburukan sikap dan prangainya.
Lihatlah kenyataan dari saudara-saudara kita yang dulunya memiliki sikap dan perangai di luar batas, begitu dokter memberikan vonis bahwa dia menderita suatu penyakit yang agak parah, di hadapan setiap orang yang datang menjenguknya hampir-hampir dia ingin mengikrarkan betapa dia menyesali seluruh sikap dan prilaku buruknya yang pernah dipraktekkan selama sehat di hadapan semua orang.
Hal ini nampak dari sikap, prilaku, dan bahasa tubuhnya. Mulailah dia merendah serendah-rendahnya di hadapan orang-orang yang datang menemuinya, bahasanya yang dulu kasar dan tinggi—mulai diperhalus sehalus-halusnya, wajah yang dulu tatkala sehat sangat sangar—mulailah ditundukkan dengan amat sangat tawadhu’, mulut yang dulunya selalu mencibiri orang dengan keangkuhan—mulai diperindah dengan senyuman yang sudah terpaksa, tangan yang dulu sangat keras menunjuk kepada orang-orang—mulai lemah gemulai, mata yang dulu sangat tajam dan membelalak menatap orang-orang kecil—mulai diredupkan, hati yang dulu penuh curiga dan dendam—mulai dipoles dengan ciri-ciri qalbun salim.
Apa yang dipraktekkan tatkala sehat berbalik 90o dibanding tatkala sakit. Maka tidaklah salah statemen yang menyatakan “Terkadang tatkala sakit manusia itu sehat”. Maka wajar jika Rasul SAW pernah menjelaskan di hadapan para Sahabat, bahwa sakit yang diderita oleh umatku dalam bentuk dan rasa apapun akan menghapus dosa-dosanya. Lalu salah seorang sahabat yang bernama Amru bin Ash bertanya; ya Rasul, sekalipun sakit itu sakit yang paling ringan? Jawab Rasul, iya, sekalipun sakitnya ringan asal dia bersabar dalam menerima sakitnya.
Ternyata keberpihakan Tuhan yang tinggi terhadap hamba-Nya yang sakit sebagaimana sabda Nabi di atas di samping karena dia sabar dalam sakitnya, juga karena ada pendidikan kesadaran yang lahir dari dalam diri hambanya akibat sakit yang diderita yang membuat prilaku dan sikapnya berubah menjadi mulia, sehingga keberpihakan Tuhan diperlihatkan dalam bentuk pengampunan dosa. “Iringi kejahatan itu dengan perbuatan yang lebih baik”. Demikian Allah menuntun hamba-Nya didalam firmannya di surah ke-41 ayat 34.
Sungguh ironi memang apabaila makhluk beradab dan berbudaya seperti kita ini mempraktekkan sikap dan prilaku yang tak beradab dan tak berbudaya. Maka akan sangat bijak apabila kita mentradisikan dalam diri kita rasa kemanusiaan dan rasa menghargai dalam bersikap, berbicara, dan berprilaku di hadapan semua orang. Belajarlah dari pesan Tuhan kepada Nabi SAW; “Fabima rahmatin minallahi linta lahum, walau kunta fazzhan galizhal qalbi lanfaddhu min haulika”. Maka disebabkan rahmat dari Tuhanlah kamu berlaku lemah lembut. Seandainya kamu bersikap keras dan berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.[]
Ilustrasi: m.ayobandung.com
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram