Perpustakaan Kalikuma, Edu-Ekowisata dan Jihad Literasi

Ketika saya membuka kembali akun facebook/FB (artinya sesekali non-aktif), tetiba kata kunci ‘Kongres Luar Biasa (KLB)’ sebuah partai politik membanjiri linimasa FB. Saya memang kadang-kadang ‘puasa’ FB, ketika dihadapkan dengan urusan tertentu yang memerlukan KTT (konsentrasi tingkat tinggi), hehe.

Setelah itu, FB dibuka lagi. Hal ini berkaitan juga dengan aktivitas media monitoring dan mengendus isu-isu aktual yang sedang hangat diperbincangkan khalayak ramai.

Nah, kembali ke soal Kongres Luar Biasa. Tapi bukan berbau politik gaduh itu. Namun yang saya maksud adalah perpustakaan kongres (Library of Congress), Amerika Serikat (AS). Sudah pasti luar biasa.

Ingatan saya melayang ke perpustakaan terbesar di AS itu, tentu bersumber dari bacaan. Saya belum pernah ke Negara Paman Sam.

Kata ‘perpustakaan’ terlintas begitu saja dalam benak saya, ketika menyergap postingan akun alamtara seputar serba-serbi Perpustakaan Kalikuma (Kalikuma Library), Kota Bima-NTB. Istilah ‘kalikuma’ mengingatkan saya pada permainan masa kecil.

Waktu masih SD di Bima sekitar tahun 1995-an, saya sempat bermain ‘kalikuma’. Bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kira-kira artinya ‘tangan terkepal’. Nyaris mirip dengan tagline Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII): tangan terkepal dan maju ke muka, hehe.

Kalikuma Library yang terletak di sekitar Pantai Ule-Kolo itu didirikan oleh dua akademisi prolifik yang lahir dari tradisi intelektual dan pergerakan. Pendiri dan inisiatornya adalah Abdul Wahid (alumni HMI), juga didukung istrinya Atun Wardatun (alumni PMII): keduanya dosen di UIN Mataram. Keren!

Baca juga: Tuan Imam: Representasi Ulama-Umara di Bima

Versi resmi mengapa dinamakan Kalikuma, tentu Aba Du Wahid dan Kak Atun yang tahu. Yang jelas, saya kagum seraya bersyukur, rupanya masih ada orang yang peduli dan mau berbagi.

Inisiatif Aba Du Wahid dan Kak Atun mengingatkan saya pada Fadli Zon Library (perpustakaan Fadli Zon) di Jakarta. Terdapat puluhan ribu koleksi buku-buku, koran tua, naskah kuno disertai barang-barang antik.

Ada juga Freedom Institute yang didirikan Rizal Mallarangeng. Termasuk Rudalku (Rumah Daulat Buku) yang dikelola sahabat saya selama penelitian di BNPT, yakni Soffa Ihsan, intelektual NU. Rudalku punya tagline “banyak baca jadi terbuka, banyak bacaan jadi toleran”.

Baca Juga  Malingi-nya Jalan Alan Malingi (Obituari untuk Alan Malingi)

Kalikuma Library sebagai Edu-Ekowisata

Tak bisa dipungkiri, beragam informasi dan ilmu pengetahuan saat ini, bisa diakses lewat internet. Cukup bermodalkan HP canggih, maka e-book pun bisa didownload dan dibaca. Namun arti penting bangunan perpustakaan disertai wangi kertas (buku cetak) tetap tak tergantikan.

Signifikansi simbol perpustakaan terletak pada kepraktisannya sebagai pusat riset, rumah komunitas epistemik sekaligus sarana pendidikan informal. Artinya, perpustakaan menjadi tempat wisata pendidikan: membaca, menulis dan diskusi. Bukan sebagai beban, tapi sebagai kebutuhan, semacam wahana relaksasi dan meditasi.

Lokasi Kalikuma Library pun terbilang eksotis. Yakni berdekatan dengan Teluk Kota Bima yang bernuansa historis dan kultural. Artinya Kalikuma Library and Educamp menjadi monumen gagasan, senam otak dan suluh peradaban di timur nusantara.

Lebih dari eduwisata, Kalikuma juga bercorak ekowisata yang menyalakan kesadaran lingkungan, merawat tradisi sekaligus memberdayakan komunitas lokal. Pada sekitar Juni 2019 lalu, sejumlah relawan dari Alamtara Institute, Kalikuma, La Rimpu, Uma Ilopeta dan komunitas lainnya telah menanam mangrove di sekitar Pantai Ule.

Akhirnya Kalikuma sangat tepat dikatakan sebagai icon Pulau Sumbawa, sekaligus tempat edu-ekowisata, khususnya di Bima-Dompu. Kabar baik seperti ini yang perlu dirayakan bersama-sama di tengah kegaduhan ruang publik yang melulu berpolemik.

Jihad Literasi

Dalam buku “Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019), bahwa 3 provinsi dengan Indeks Dimensi Kecakapan terendah ialah Papua (dengan angka 60,51), Nusa Tenggara Barat (68,36), dan Nusa Tenggara Timur (70,49).

Merujuk pada laporan di atas, maka kita butuh banyak komunitas yang melakoni jihad literasi. Bukan hanya menyediakan buku-buku, tapi membangunkan kesadaran kolektif betapa pentingnya budaya membaca. Lebih bagus lagi tergerak untuk menulis.

Di tengah defisit literasi dan minat baca yang rendah itu, maka kehadiran Kalikuma Library bisa menjadi katalisator. Keberadaan Kalikuma Library sekaligus melengkapi perpustakaan yang dikelola pemerintah daerah, juga rumah baca dan komunitas literasi di sejumlah desa. 

Baca Juga  Membincang Maqashid al-Syari’ah ala Gus Nadir (2)

Kalau bisa, para anggota DPRD, pejabat eksekutif dan pengusaha setempat wakafkan dananya untuk bangun perpustakaan, misalkan di Dapilnya. Masa sih kalah sama akademisi?

Baca juga: Ketika Duo Peneliti Bertemu: Antara Deradikalisasi dan Moderasi

Jauh sebelum perpustakaan Kalikuma dibangun di Bima, saya tahu Aba Du Wahid dan Kak Atun telah menyuguhkan bercangkir-cangkir inspirasi melalui komunitas Kalikuma di Mataram. Di sana digelar aktivitas produksi dan reproduksi pengetahuan, publikasi gagasan dan penelitian beragam tema.

Saat yang sama, kerap terselenggara diskusi sejarah, kebudayaan, penguatan literasi politik, kampanye perdamaian hingga advokasi kebijakan yang pro kemajuan dan kesetaraan. Inilah perwujudan dari geliat jihad literasi.

Lebih dari sekadar urusan baca dan tulis, tapi bagaimana membentuk mentalitas masyarakat agar kritis dan analitis menafsir era keberlimpahan informasi. Maka terhindarlah kita dari disinformasi, hoax dan fake news, khususnya di berbagai platform digital dalam suasana era pasca-kebenaran.

Banyak baca, maka semakin meluas sudut pandang, cakrawala dan perspektif. Maka terciptalah ruang publik yang dialogis, dialektis dan manusiawi. Terkadang konflik dan kekerasan bisa lahir dari krisis intelektual, kebekuan nalar, defisit literasi, lalu gampang terprovokasi dengan semburan kabar palsu.

Jihad literasi sangat urgen untuk menggairahkan membaca, memahami dan menganalisis fenomena alam maupun sosial sehngga masyarakat tercerahkan. Selain itu, masyarakat tidak lagi terkungkung sebatas budaya lisan (oral society). Perpustakaan yang representatif bisa menjadi tonggak kebangkitan kaum jihadis literasi.

Semoga Kalikuma terus jaya. Panjang umur perjuangan. Yakin usaha sampai. Tangan terkepal dan maju ke muka. Merdeka. Fastabiqul Khairat!

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *