MASIH ingat kisah tragis keluarga Adam ‘alaihi salam (as), manusia pertama. dan istrinya? Keduanya terusia dari tempat surgawi, tempat impian. Saya katakan ini tragedi keserakahan, kapitalisme, budak naluri hewani.
Adam as dan Siti Hawa adalah manusia biasa, seperti kita. Hanya Adam dibait oleh Allah dengan otoritas nubuwwah. Ketika di Surga, nabi Adam as belum diberi tugas tambahan untuk menyebarkan pesan kenabiannya.
Ketika di Surga, Nabi Adam as dan Siti Hawa dimanjakan oleh Allah. Bagaimana tidak, semua hal tidak ada yang dilarang, serba boleh (Qs. Al-Baqarah : 35), kecuali satu larangan. Bahkan larangan itu tampak biasa saja, hanya casing (polesan nakal kemasan luar) yang menggoda, dan promosinya yang lebay oleh Iblis membuat Adam as dan istrinya terpeleset, terusir dari surga.
Sahabat. Kalau dikalkulasi, rasio perbandingan antara kuantitas-kualitas obyek yang DILARANG (diharamkan) dengan obyek TIDAK dilarang dapat dikatakan seperti formula perbandingan obyek yang sangat sederhana, terbatas, naif, versus obyek yang tidak berbatas (unlimited) dan berkualitas super. Tetapi, karena satu larangan itu, nabi Adam as dan Siti Hawa, leluhur umat manusia, terusir juga dari surga.
Nalar sufistiknya mungkin begini. Sahabatku yang dimuliakan Allah! Kuantitas satu hanya sebatas urusan angka, dan banyak hanya urusan hasil penjumlahan obyektif. Angka dan jumlah hanya sebatas obyek tanpa makna.
Nalar rasional dan bisik nuraniqalbu akan memberi bobot atribut kebaikan dan keburukannya. Pertimbangan rasional dan nurani-qalbu yang dituntun oleh etika, moral, terutama agama menjadi penentu segalanya.
Sahabat! Jauh di bawah palung terdalam dari larangan dan pembolehan dalam pergumulan hidup di dunia ini, tersimpan legacy ujian ketaatan. Bukankah dengan ujian, status peserta ujian akan ditentukan, yaitu mulia atau terhina.
Nabi Adam as dan istrinya terusir dari surga dengan predikat hina. Mereka gagal melewati HANYA satu cobaan, padahal di sisi lain, karunia Allah berlimpah tanpa batas, jumlah yang dapat dinikmati sepanjang hidup keluarga Adam dan buyut tidak terakhirnya yang tidak berbatas.
Indahnya, keterusiran Adam as dan Siti Hawa langsung disesali dengan pengakuan doa (i’tiraf) oleh keduanya. Tanpa kalkulasi untung rugi duniawi, mereka berdua bertobat atas kesalahannya. Tidak seperti banyak manusia serakah, tanpa rasa malu, yang terus ngeyel walau sudah tertangkap basah dalam lumpur dosa.
Apa pelajaran yang menarik, tetapi sering terabaikan dari kisah pengusiran Adam as dan Siti Hawa dari surga?
Sahabatku, pelanggaran yang menjerumuskan pasangan Adam-Hawa, faktanya, bukan karena jumlah karunia yang terbatas (kemiskinan). Angka dan jumlah tidak memiliki kekuatan yang menjerumuskan. Pilihan penghadiran pemaknaan terhadapnya menjadi hulu dan sumber tetes turunan buruknya.
Banyak orang dengan keterbatasan dan kekurangan harta, bahkan anggota tubuhnya, mereka masih bisa bersyukur dan hidup bahagia dalam ketaatan yang merindukan ridlo, kasih, dan berkah Allah.
Faktanya, dengan hati yang penuh rasa ketercukupan (qana’ah), jumlah sedikit terasa cukup, dan banyak ternyata juga ludes tanpa sisa dalam libido keserakahan. Penghadiran bisik nurani akan memberi nilai religi dan moral ke dalam jumlah banyak atau kuantitas sedikit.
Sebaliknya, berapa banyak orang dengan limpahan jumlah dan kemewahan harta dan tahta, masih terjerumus dalam noda dan dosa. Ia terhina, dari aura dan singgasana SUKA KAYA, terusir mendekam di kehinaan dan penderitaan SUKA MISKIN (penjara).
Sahabatku, semuanya bermuara pada keserakahan. Dalam libido keserakahan, tidak ada batas kepuasan, karena keserakahan itu sendiri adalah nafsu hewani yang eksploitatif, menindas sesama dan diri sendiri. Nafsu selalu menghalalkan segala cara dan tujuan.
Karena nafsu keserahakan tidak berbatas, maka, jumlah banyak tidak akan pernah terasa cukup, dan satu larangan akan terus menggoda dan diabaikan. Oleh sebab itu, satu riwayat profetik (hadits Nabi) mengajarkan bahwa “kekayaan sungguh tidak diukur dengan jumlah kepemilikan, tetapi kekayaan adalah rasa ketercukupan* dalam bingkai ketaatan pada sang maha Pemberi karunia.
Rasa syukur akan hadir dari jiwa ketaatan, dan ketaatan adalah buah kesadaran primordial bahwa kita memang diciptakan untuk menghambakan diri pada sang Pencipta, maha Penyedia dan Pemberi kebutuhan manusia.
Pamulang, 5 Ramadhan 1442 H.
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Setara Institute.