Masa dewasa adalah transisi dari masa remaja yang telah menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya atau telah tumbuh menjadi pribadi yang sempurna “grown to full size and strength” (B. Hurlock, 2014). Sedangkan menurut pandangan fikih Islam masa dewasa dilihat sebagai kematangan biologis, seperti terjadinya baligh atau mimpi basah bagi laki-laki, menstruasi bagi perempuan dan kesempurnaan dalam berpikir atau ar-rusyd.
Para ahli sepakat bahwa batasan umur dewasa adalah 20-40 tahun untuk dewasa awal dan 40-60 tahun dewasa madya. Dalam rentang waktu tersebut individu mencapai kematangan fisik, biologis, cognitive dan pedagogis. Kemudian indikator yang menjadi tolak ukur bagi individu agar dikatakan dewasa adalah keseimbangan mental dan kemapanan sosial. Sederhananya seseorang baru dikatakan dewasa apabila telah memenuhi standar umur orang dewasa dan mampu bersikap seperti orang dewasa pada umumnya serta dapat bertanggung jawab terhadap diri dan lingkungannya.
Baca juga: Mudik dan Pencarian Jati Diri yang Otentik
Dalam realitasnya aspek kedewasaan sering kali tidak konsisten dan kontradiktif dengan yang terjadi di masyarakat. Di mana seorang sudah mencapai umur orang dewasa secara hukum yang berlaku namun tidak memiliki kematangan dan tanggung jawab yang mencerminkan karakter orang dewasa. Terkadang sering kali bersikap dan berprilaku layaknya anak-anak. Hal tersebut dipengaruhi salah satunya oleh adanya trauma atau luka masa lalu yang belum disembuhkan. Familiarnya fenomena tersebut dikenal dengan istilah inner child.
Menurut psikolog dari Charisma Consulting, Annisa Poedji Pratiwi dalam Economica.id (03/12) inner child merupakan salah satu bagian dari keanekaragaman sub kepribadian dalam diri seseorang yang berwujud anak-anak. Inner child bergantung pada stimulus yang hadir dalam diri seseorang. Stimulus ini akan membuat cara berpikir, merasa, atau respon lainnya terlihat seolah-olah bagaikan sifat anak-anak. Hal ini terjadi karena adanya pengalaman serupa yang mendahului dalam diri seseorang, sehingga ketika stimulus hadir, maka seakan-akan respon itu memproyeksikan kembali respon yang dulu sempat dikeluarkan.
Inner Child merupakan sisi kepribadian seseorang yang terbentuk dari pengalaman masa kecil. setiap orang pasti memiliki inner child baik negatif maupun positif. Namun inner child positif akan berdampak baik apabila hadir diwaktu yang tepat dan dikelola dengan baik. Seperti kecerian, energetic, kreatif, fokus, auntusias dan memiliki keingintahuan yang besar. Sehingga apabila semua itu hadir pada orang dewasa maka akan dapat mendukung kepribadiannya.
Namun inner child yang sering kali hadir pada orang dewasa adalah bersifat negatif atau menjelma sebagai sifat buruk, seperti tidak memiliki kontrol atas diri dan terlalu mudah mengekspresikan kemarahan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Tidak terpenuhinya kebutuhan masa kecil, tekanan, dendam yang terpendam dan pengalaman traumatis lainnya yang belum disembuhkan.
Baca juga: Tropi Taqwa untuk Alumni Ramadhan
Faktor lain yang memicu terbentuknya inner child pada diri seseorang adalah polah asuh keluarga dan lingkungan yang toxic. Seseorang yang tumbuh besar dari polah orang tua yang keras, otoriter dan cenderung kasar akan membentuk kepribadian seorang anak persis seperti cara didik orang tuanya. Karena orang tua adalah role model seorang anak, sehingga pembawaan, etitut, tutur kata, bahkan statemen orang tua cenderung membentung kepribadian seorang anak. Seperti pepatah mengatakan, Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Sama halnya dengan seorang yang hidup dan tumbuh di lingkungan toxic. Contohnya seorang korban bullying baik secara fisik maupun ferbal dengan motif tertentu. Dimana kesehariannya penuh dengan olok-olokan dari teman-temannya, dipandangan sebelah mata hingga dikucilkan dari lingkungannya. Maka pengalaman itu akan menjadi sebuah trauma yang membekas. Apabila trauma itu tidak disembuhkan atau diatasi hingga dewasa, maka dapat membentuk pribadi yang perfeksionis, insecure, dan cenderung minderan hingga pendendam.
Namun kebanyakan orang tidak menyadari kehadirannya inner child-nya, dan menganggap bahwa responnya terhadap lingkungan itu alamiah. Bahkan parahnya orang-orang sering kali mewajarkan segala hal yang ada dalam dirinya, termasuk kepribadian dan cara merospon lingkungannya yang cenderung negatif. Seperti suka marah, tidak dapat mengtrol emosi, dan hal-hal negatif lainnya. Sehingga inner child negatif itu tumbuh subur dalam dirinya. Sering meluap dikala stimulus hadir dan bahkan tidak dapat mengtrolnya ketika sudah terlanjut emosian.
Mengingat inner child ini akan menjadi masalah apabila tidak diatasi atau dikelola dengan baik. Maka ada beberapa cara mandiri yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau setidaknya meminimalisir dampak negatifnya.
Pertama, meditasi mindfulness. Coba kenali dan pahami sikap dan emosi kita dalam merespon suatu masalah. Apakah itu cara yang wajar untuk dilakukan seorang dewasa atau kekana-kanakan. Sadari hal yang melatar belakangi kita sehingga menjadi seperti ini. Jika itu trauma masa kecil kita maka coba lakukan self-talk atau mengajaknya berbicara. Kemudian rangkullah diri kita dan inner child kita karena seburuk apapun inner child kita, berhak mendapatkan cinta.
Kedua, berdamai dengan inner child. Berusahalah untuk jujur dengan diri kita sendiri. Ungkapin semua emosi terpendam. Kita bisa marah, menangis atau berteriak dengan sekeras-kerasnya. Kita juga bisa menuliskan surat untuk inner child kita. Sampaikan semua perasaan kecewa, sedih atau marah kita. Jika kita sudah merasa tenang, cobalah terima semua kejadian itu dengan lapang dada dan berasuha untuk memaafkannya.
ilustrasi: Liputan6.com
Mahasiswa BKI Sekaligus Pengurus UKM Exact UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta