Kata seorang pujangga, “setelah tiada baru terasa”. Betapa bayang-bayang aktivitas spiritual tersebut membuat kita kangen ingin mengulangnya kembali, ingin mengukir relif-relif aksi spiritual itu dalam hidup kita lagi.
Dengan kesan seperti ini, tidak sedikit yang berdoa di penghujung Ramadhan sambil berjanji dengan dirinya sendiri agar dipertemukan kembali dengan Ramadhan tahun yang akan datang untuk diisi semaksimal mungkin dengan amalan-amalan yang penuh manfaat.
Amaliah Ramadhan yang sudah kita jalani selama satu bulan lamanya, dalam bentuk latihan untuk mengatakan “tidak” terhadap sesuatu yang halal, berupaya keras untuk melawan rasa lapar dan dahaga untuk suatu kenikmatan yang lebih indah, berusaha patuh dan tunduk kepada aturan Tuhan untuk kemanfaatan yang lebih besar, dan bertahan untuk prihatin demi memperoleh ketahanan dan kekuatan fisik dan psikis.
Semua itu telah kita jalankan maksimal dengan maksud agar sebelas bulan pasca Ramadhan kita dapat menjadikan aktivitas tersebut sebagai kebiasaan baik untuk tetap kita jalankan secara istiqomah, kita berusaha menjaga amalan-amalan saat Ramadhan untuk tetap kita laksanakan agar dapat meraih kesucian diri, kita aplikasikan aksi tarawih dalam wujud silaturrahmi, dan kita abadikan ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan yang kita lakukan saat Ramadhan sebagai wujud dari kontinyuitas aksi keimanan dan ketaqwaan kita.
Kata orang bijak, “menjaga dan merawat jauh lebih berat ketimbang mengusahakannya”. Kata bijak ini kayaknya berlaku juga bagi pelaku puasa, setelah mengupayakan berlatih maksimal dalam melaksanakan ibadah selama satu bulan, saatnya untuk mempertahankan, merawat, dan manjaganya agar kontinyu sepanjang waktu.
Penting bagi kita untuk menjaga amalan-amalan yang baik yang kita jalankan selama Ramadhan untuk terus teraplikasi dalam hidup kita, jangan sampai Idul Fitri menjadi momen yang bermakna kembali kepada kebiasaan lama sebelum Ramadhan. Islam tidak mengajarkan umatnya hanya taat dan patuh kepada Tuhan dan RasulNya di bulan Ramadhan saja, setelah itu kembali bebas sebebas-bebasnya. Tidak, justru dari riadhah di bulan Ramadhan itulah kita memantapkan komitmen diri untuk tetap taat dan patuh sebagai wujud keberhasilan menjadi alumni Ramadhan.
Jika kita kembali melakukan kebiasaan buruk setelah Ramadhan usai, malas membuka lembaran al qur’an, malas merapat di shaf-shaf shalat, malas qiyamullail di pertengahan malam, enggan memberi kelebihan rizki, sulit untuk menahan diri, maka sama artinya kita telah memintal benang untuk menjadi kain, lalu setelah menjadi kain kita urai lagi menjadi benang. Sebagaimana kisah seorang perempuan pemintal benang yang patut kita renungkan untuk memperkokoh komitmen ketaatan kita kepada Tuhan pasca Ramadhan.
Alkisah seorang perempuan bernama Rithah dari Bani Ma’zum yang cantik jelita dan kaya raya dilamar dan dinikahi seorang laki-laki dari kalangan miskin tetapi sangat tampan. Akhirnya, Rithah yang sudah paruh baya pun menikah dengan pemuda tampan itu. Hatinya berbunga-bunga penuh kesenangan dan kebahagiaan.
Namun, semua itu tampak indah hanya di awalnya. Sang pemuda tampan dan miskin itu ternyata tidak lebih dari seseorang yang hanya menginginkan harta Rithah. Ibarat kisah drama, pemuda itu pun kabur setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkan dan meninggalkan Rithah. Kehidupan Rithah pun seolah kembali ke titik awal, namun kali ini lebih menyedihkan.
Untuk mengubur kisah sedihnya itu, Rithah pun membeli benang dalam jumlah yang sangat banyak dan memintalnya menjadi kain. Akan tetapi setelah benang yang dipintalnya berwujud kain, Rithah mencerai-beraikan kain itu lagi menjadi benang. Dan itu dilakukan setiap hari sebagai pelampiasan kesedihan yang dia derita.
Kisah perbutan sia-sia yang dilakukan Rithah diabadaikan Tuhan sebagai tamtsil (perumpamaan) yang tertulis di dalam surah An Nahl ayat 92: “Wala takunu kallati naqadhat gazlaha min ba’di quwatin angkatsa”, Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali”
Ini bagian dari ibrah (pelajaran) yang sangat indah untuk direnungkan terutama oleh kita sebagai alumni Ramadhan. Tuhan merekam kisah seorang perempuan yang bernama Rithah yang menjalani hidupnya dengan sia-sia untuk menjadi pelajaran penting bagi hambaNya.
Jikalau amalan yang sudah dilaksanakan maksimal di bulan Ramadhan tidak dipertahankan, atau malah kembali lagi dengan kebiasaan lama bermalas-malas dan lalai dalam beribadah, maka tidak ubahnya seperti pemintal benang yang mengurai hasil pintalannya menjadi benang lagi. “Kun Rabbâniyyan walâ takun Ramadhâniyyan”. Jadilah insan yang senantiasa beribadah kepada Tuhan sepanjang waktu, jangan kau beribadah hanya dibulan Ramadhan, karena sungguh Allah itu Tuhan di seluruh waktu.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Ya Allah…..*sdh tiada baru terasa….naudzubillahi min dzalik 🤲 semoga kita termasuk orang2 yang senantiasa terus dan terus beribadah/menuju Allah smakin dekat dan dekat menuju Ridhonya…tanpa menjauh apalgi sampai berbalik arah meninggalkanNya…aamiin Allahumma aamiin…🤲😇
Terimaksih ayahanda,, sehat dan berkah selalu 🤲
ممتاز استاذ 💯