Hijrah: Perubahan Mulai dari Diri Sendiri

Ada satu ungkapan dari seorang bijak yang sedang terbaring di tempat tidurnya sembari meratapi kesalahannya di masa silam. Dia berkata: Ketika aku masih muda  dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia. Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah. Maka cita-cita itu pun kupersempit. Lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku. Namun, tampaknya  hasrat itu pun tiada hasil.

Ketika usia semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku. Merekalah orang-orang yang paling dekat denganku. Tetapi celakanya, mereka pun tidak mau berubah. Dan kini, sementara aku terbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari: andaikan yang pertama ku ubah adalah  diriku, maka dengan menjadikan diriku teladan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku. Kemudian siapa tahu, perubahan negeriku akan membuat dunia ini berubah.

Baca juga: Hijrah: Menghimpun Ilmu untuk Masyarakat

Dalam hidup ini sering sekali kita melihat sesuatu yang tidak pantas dan tidak sesuai, sering pula kita tidak setuju, dan sering juga kita tidak sepaham. Dominasi ketidaksesuaian diri dengan kondisi di luar diri kita sesungguhnya bersumber dari kealpaan kita melihat dan membaca ke dalam diri kita sendiri.

Kita sering menggunakan keinginan dan kemauan diri sendiri sebagai takaran didalam membaca situasi, membaca keadaan, membaca orang lain, membaca lingkungan, dan membaca perubahan. Yang pada akhirnya akan menyeret kita untuk berandai-andai, untuk otoriter, dan berujung kepada menyalahkan dan berburuk sangka.

Semangat hijrah yang digagas oleh Nabi Saw 14 abad silam dalam rangka merevolusi mental orang-orang beriman yang ada di sekeliling beliau kala itu, agar mengalihkan pandangan ke dalam diri masing-masing, bahwa meratapi kondisi di luar diri  tidak akan bisa merubah keadaan.

Baca Juga  Sikap Hidup terhadap Dunia dan Akhirat

Saat ini pun kondisi itu masih kita jumpai, bahwa masih banyak dari kita-kita ingin memenangkan diri sendiri dalam melihat situasi dan keadaan di sekitar kita; ingin agar orang lain bersikap dan berprilaku sesuai yang kita inginkan, ingin agar lingkungan tempat tinggal kita sesuai dengan standar kenyamanan diri kita, ingin mendapat teman dan sahabat yang memiliki sifat dan sikap yang sesuai dengan apa yang kita bayangkan, bahkan ingin agar seluruh kehidupan ini bernuansa keinginan kita sendiri.

Itulah ambisi diri yang sering mewarnai cara pandang terhadap keadaan dan situasi, sehingga apapun yang dipandang dan didengar dari seluruh dinamika kehidupan ini, terasa tidak damai oleh karena tidak sesuai dengan diri sendiri. 

Baca juga: Sikap Tuhan Kepada Hamba yang Melampaui Batas

Nabi mengamputasi ambisi itu dari hati dan pikiran para sahabat dan orang-orang muslim kala itu, dengan gerakan hijrah untuk sebuah perubahan, bahwa situasi dan keadaan akan bisa berubah dimulai dengan merubah paradigma terhadap diri sendiri, dengan introspeksi diri sebagai kata kuncinya. Kata nabi Saw; “Ibda’ binafsik”, mulailah dari dirimu sendiri. Kata orang bijak bahwa perubahan itu terjadi bukan anugerah yang turun dari kayangan, akan tetapi usaha yang dimulai dari kesadaran terhadap diri sendiri.

Mulailah untuk berdamai dengan situasi yang ada di luar diri—ajaklah hati dan pikiran kita untuk tidak terganggu dengan hiruk pikuk situasi dan keadaan di sekeliling kita. Mulailah untuk mengerti tentang keadaan di luar diri—bawalah pandangan dan pendengaran kita untuk merespon keadaan dengan respon positif. Mulailah untuk paham terhadap orang lain—leburlah rasa dan asa kita untuk simpati dan empati terhadap siapa saja.

Dengan merubah paradigma menengok ke dalam diri sendiri di dalam membaca dan merespon situasi dan keadaan, akan lahir aura positif dari seluruh kemampuan fitrah yang Tuhan berikan sebagai kelebihan dari makhluk yang paling sempurna dalam penciptaannya.

Baca Juga  Akhir dari Pesta Demokrasi: Saatnya Memaafkan dan Melupakan

Itulah sesungguhnya nilai hijrah yang ditanamkan dan sekaligus diwariskan oleh Nabi Saw kepada para sahabat, dan orang-orang muslim yang sabiqunal awwalun, sehingga mereka lahir sebagai manusia baru yang unggul yang keperibadian dan sikapnya dipuji oleh Tuhan dalam firman-Nya di surah ketiga ayat 110; “Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nāsi ta`murụna bil-ma’rụfi wa tan-hauna ‘anil-mungkari”, Kamu adalah umat terbaik yang terlahir di tengah-tengah manusia, yakni umat yang selalu menebar kebaikan dan kebenaran dan anti terhadap kemunkaran.

Baca juga: Dari Tuhan dan Kembali ke Tuhan

Buah dari tempaan hijrah bagi para pengikut Muhammad Saw saat itu adalah pancaran cahaya dari sinar budi yang menembus jagad semesta raya, sehingga bukan hanya jazirah yang takluk, akan tetapi seluruh penguninya ikut takluk, terpana dengan keindahan sikap, pikiran, dan perilaku yang lahir dari kemampuan membaca dan memahami diri sendiri.

Itulah janji Tuhan terhadap hamba-Nya yang memaknai hijrah dengan memulai perubahan dari dirinya sendiri dalam menyikapi situasi dan kondisi, akan Tuhan tundukkan kepadanya bumi dan seluruh isinya, sebagaimana firman-Nya pada surah ke-4  ayat 100; “Wa may yuhājir fī sabīlillāhi yajid fil-arḍi murāgamang kaṡīraw wa sa’ah”. Barang siapa berhijrah di jalan yang dikehendaki Tuhannya, niscaya akan memperoleh tempat pindah yang banyak di bumi serta kelapangan rizki.    

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *