Dalam perspektif pakar ushul al-fiqh, persyaratan-persyaratan tersebut (diawal tulisan bagian pertama) bertujuan untuk menjamin kualitas hasil pemikiran (ijtihad) sehingga tidak keluar dari fream agama. Karenanya, status mujtahid hanya diberikan kepada siapapun yang memenuhi kualifikasi tersebut. Siapapun bagi al-Tayyib al-Khuderi sebagaimana dikutip Satria Efendi, bahwa mereka yang telah memenuhi kreteria di atas dipersilahkan ber-ijtihad (Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 53).
Sekalipun demikian, ulama membedakan tingkatan (derajat) mujtahid ke dalam beberapa tingkatan, mulai dari rangking tertinggi sampai ke peringkat terendah. Beberapa tingkatan mujtahid dimaksud sebagai berikut:
Pertama, Mujtahid mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum shari’ah langsung dari sumbernya yang terpokok (al-Qur’an dan hadits) dan dalam meng-istinbat-kan hukum mempunyai dasar-dasar ushul sendiri, tidak mengikuti ushul istinbat mujtahid Mujtahid mustaqil ini lazim disebut mujtahid mutlak. Kedua, Mujtahid muntasib, yakni mujtahid yang dalam meng-istinbat-kan hukum mengikuti (memilih) ushul al-istinbat imam madzhab tertentu walau terkadang dalam hal furu’iyah berbeda dengan pendapat imamnya. Ketiga, Mujtahid madzhab yaitu mujtahid yang mengikuti imam madzhabnya, baik mas’alah ashl mapun furu’ . Kalaupun berijtihad adalah pada hal-hal yang ketentuannya tidak ditemukan dalam pendapat madzhabnya.Baca juga: Melihat Kualifikasi Mujtahid yang Sebenarnya (1)
Keempat, Mujtahid murajjih, yaitu mujtahid yang tidak meng-istinbat-kan hukum-hukum furu’ apalagi hukum ashl, ia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang dipandang paling kuat (arjah). Kelima, Mujtahid mustadil, yaitu ulama yang tidak melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada. Akan tetapi, dia hanya mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan menerangkan mana yang patut dipegang (diikuti) tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu.
Wahbah al-Zuhaili dan Abu Zahrah memetakan tingkatan mujtahid hampir sama dengan yang disebut di atas, namun dengan istilah yang berbeda, yaitu (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh.., 108): Pertama, Mujtahid mustaqil, yakni mujathid yang berdiri sendiri dari sisi metodelogi (empat madzhab). Kedua, Mujtahid ghair mustaqil, yakni mujtahid yang memanfaatkan metode imam madzhab, seperti Ibn Qasim, Madzhab Malikiyah, dan Muzanni Madzhab Syafi’iyah. Ketiga, Mujatahid muqayyid(tahrij), yakni mengikuti hasil ijtihad imam madzhab, seperti Thahawi, Hanafiyah, dan Abi Ishak al-Syairazi Syafi’iyah. Keempat, Mujtahid tarjih, yakni mujtahid yang dapat memilah dalil-dalil yang digunakan imamnya, seperti al-Quduri, dan Hanafiyah. Kelima, Mujtahid fataya, yakni hanya memahami beberapa pendapat dari madzhabnya beserta mengetahui dalil yang digunakan.
Sebagian ulama yang lain menyempitkan klasifikasi mujtahid menjadi dua yaitu: Mujtahid Mutlak dan Mujtahid bi al-madzhab. Bagi al-Syaukani, yang disebut mujtahid adalah orang telah memiliki persyaratan di atas, baginya dilarang taklid (ikut-ikutan). Lebih lanjut Syaukani (dalam al-Jairazi, 1998), sangat mencela praktek taklid, baginya taklid dalam agama disebut bid’ah (Muhammad Bin Husein Bin Hasan al-Jairazi, Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘Inda Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, (Beirut: Dar Ibn al-Jairazi, 1998), 92).
Kalau demikian adanya bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki kapasitas sebagai mujtahid? Bukankah alami dan sunnatullah bila ada imam dan makmum? Pertanyaan ini setidaknya menyadarkan al-Syaukani untuk tidak terlalu memaksakan pendapatnya kepada semua umat Islam untuk berijtihad. Bila ungkapan tersebut bertujuan mendorong semangat berfikir maka patut diapresiasikan. Atau Syaukani sebenarnya mengakui adanya tingkatan mujtahid, sehingga dengan sendirinya semua orang berijtihad sesuai tingkatannya masing-masing.
Sejalan dengan keinginan menghidupkan kembali semangat syari’at melalui ijtihad, perlu dikedepankan niatan yang bersih dan i’tikad yang baik bagi tiap-tiap upaya pemikiran hukum. Niat dan i’tikad yang bersih akan mengarahkan mujtahid pada kebersihan pikiran dan tindakan. Lebih-lebih masyarakat saat masih mengalami syndrom pada kaidah undur ila man qala bukan ila ma qila.
Di era dewasa ini, ijtihad menjadi kebutuhan mutlak untuk kepentingan dinamisasi kehidupan umat Islam. Problem yang dihadapi sedemikian kompleks, membiarkan persoalaan tersebut berlalu lalang tanpa kapastian hukum justru akan mengacaukan pola kehidupan umat Islam. Tentu saja tak cukup menyerahkan persoalaan kekinian ke hadapan fiqh klasik yang dibuat jauh sebelumnya. Lain persoalaan lain pula cara menyelesaikannya. Mengingat peluang ijtihad berdasarkan pola dan tingkatannya masih terbuka, maka pandangan kaum bermadzhab perlu dirubah, dari madzhab qauli menjadi madzhab manhaji, dari ijtihad induvidu ke ijtihad ijtima’i. Demikian juga disiplin ilmu tertentu yang dapat memberikan solusi terbaik patut juga dipertimbangkan (Ahmad Azhar dan IbrahimHosen, IjtihadDalam.., 39).
Baca juga: Hakikat Peran Ushul Fiqh dan Qawaid al-Fiqh
Masa depan ijtihad setidaknya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama, Ijtihad intiqa’i(tarjih), adalah menyeleksi pendapat dan dalil yang digunakan oleh madzhab, tidak hanya di dalam internal madzhab tertentu tapi meliputi semua madzhab yang ada. Pola ini setidaknya dapat mengetahui dalil mana yang kuat dan dapat dijadikan pegangan. Kedua, Ijtihad insyai, adalah usaha untuk menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan oleh imam madzhab terdahulu, metode yang digunakan para mujtahid dapat dipakai disamping memperhatikan disiplin ilmu tertentu yang berkembang saat ini. Perlu kiranya melihat persolaan secara utuh dan menyeluruh. Mengingat desain pengetahuan masa kini bersifat spesifikasi, maka sangat sulit kiranya dilakukan secara mandiri. Melibatkan banyak orang atau semacam kelompok penelitian akan lebih angrsif.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut diperlukan rekonstruksi idea-moral al-Qur’an. Al-Qur’an bukan sekumpulan teks yang anti dengan kenyataan-kenyataan bumi. Idealitas al-Qur’an justru ingin memberikan kemaslahatan yang besar buat manusia di bumi. Karena itu, hukum yang ada di al-Qur’an semuanya merupakan syari’at ideal yang dibantu oleh organisasi hadits.
Memahami akar sosiologis setiap bagian al-Qur’an secara utuh dengan tidak melupakan karya-karya klasik akan memberikan pemahaman baru dan lebih mengena. Tidak bisa dipungkiri bahwa al-Qur’an sangat terkait dengan realitas dimana diturunkan, yakni tradisi Arab. Historisitas ayat akan membantu penyingkapan ruh ataupun tujuan yang dikehendaki oleh syara’, meski tidak harus membuang aspek legalitas (Al-Baihaqi, Metodelogi Ijtihad Sayyidina Umar,(Yogyakarta: Qalam, 2005), 78).
Apa yang dilakukan Sahabat Umar, mewakili gerakan reaktualisasi ajaran al-Qur’an. Umar secara nyata keluar dari formalitas al-Qur’an untuk beralih ke substansi yang lebih maslahah dan berkeadilan. Kreatifitas dan inovasi yang dinamis dalam menemukan rumusan baru dalam memahami syari’ah untuk kemudian dijadikan pijakan ber-ijtihad perlu mengakomodasi tiga pilar sebagai berikut (Fahruddin Muhammad Bin Umar al-Husain al-Razi, Al-Mahshul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1988), 126): Pertama, pendekatan historistas guna menemukan keinginan teks. Kedua, menemukan perbedaan legal formal teks dan tujuan pemberlakuan syari’ah. Ketiga, penetapan shari’ah harus bisa memperhatikan aspek maslahah.
Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Menyukai kajian keislaman dan filsafat.