BENCANA yang terjadi dalam kasat mata merupakan musibah yang membawa derita lahir dan batin, terutama bagi yang terdampak, akan tetapi bencana itu pada hakikatnya merupakan bagian dari produk fasilitas pilihan yang disiapkan Tuhan sebagai wadah menabung pada bank simpanan akhirat.
Kalau pada bank simpanan di dunia kita mengenal beberapa produk bank seperti tabungan, giro, deposito, kredit, dan layanan jasa yang kesemuanya memiliki fungsi penyimpanan yang menjamin keamanan rasa bagi nasabahnya.
Demikian halnya dengan bencana, adalah salah bagian dari produk tabungan simpanan akhirat dari sekian banyak produk yang Tuhan siapkan. Bagi yang terdampak bencana, dapat digunakan untuk menyimpan kesabaran dan penyerahan diri secara total pada takdir Tuhan, sehingga hasil simpanan itu akan membuahkan satu keuntungan besar berupa kekuatan akidah untuk berusaha tidak berburuk sangka pada apa yang Tuhan tetapkan.
Sementara bagi yang tidak terdampak, dapat digunakan sebagai fasilitas untuk menyimpan kepedulian dan solidaritas sosial yang menjanjikan keuntungan berlipat-lipat yang dapat dicairkan di teller akhirat nanti. Bukankah kepemilikan maliyah yang sesungguhnya adalah yang disimpan pada bank-bank berbasis ukhrowi yang keuntungannya jangka panjang?.
Keuntungan berlipat-lipat itu telah Tuhan iklankan pada surah Al An’am ayat 160, “Man jaa-a bil hasanati falahu ‘asyru amtsaalihaa”. Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya.
Jika ayat ini kita pahami sebagai ayat motivasi, tidak tertarikkah kita pada komitmen Tuhan yang maha jujur untuk melipatgandakan simpanan kita? Hanya orang-orang yang berorientasi dunawiah yang tidak pernah tertarik dan tidak terketuk hatinya.
Kini di depan mata kita, produk-produk tabungan simpanan akhirat telah dikeluarkan oleh alam atas skenario Tuhan berupa bencana, maka mengambil bagian pada salah satu produk tersebut sebuah keuntungan dan keberkahan yang besar.
Sebagai penguat dari komitmen kita untuk mengambil bagian pada tabungan simpanan akhirat, ada testimoni dari seorang sahabat Rasul saw, pada saat meregang nyawa di kala sakaratul maut dalam kondisi tidak sadarkan diri, sahabat tersebut mengigau dengan tiga kalimat yang tidak satupun dari keluarganya yang tahu maksudnya. Kalimat yang keluar dari lisan sahabat tersebut adalah; ingkana ba’idan (andai lebih jauh lagi), ingkana jadidan (andai yang baru), dan ingkana kulluh (andai kuberikan semuanya).
Kalimat ini sekilas merupakan untaian penyesalan, tetapi keluarga yang berada di sekitarnya tidak pernah tahu, mengapa ada kalimat penyesalan yang diucapkan tatkala sakaratul maut?
Akhirnya Rasul pun datang setelah sahabat itu menghembuskan nafas terakhir. Lalu Rasul bertanya kepada sanak keluarga, termasuk kepada istri dari sahabat Nabi tersebut. “Adakah kalimat terakhir yang diucapkan oleh sahabatku ini?”, Istri sahabat itu mengungkapkan kepada Rasul tiga kalimat di atas.
Rasul saw tersenyum, kemudian menjelaskan, tahukan kalian mengapa sahabatku mengatakan “ingkana ba’idan?”. Dulu kata Rasul, semasa hidupnya pernah menolong orang buta untuk menyeberangi jalan, ternyata pahala yang diperlihatkan Tuhan tatkala sakaratul maut sungguh sangat indah, sehingga dia menyesali dirinya, mengapa tidak aku tuntun orang buta tersebut lebih jauh lagi?
Kemudian mengapa sahabatku mengatakan “ingkana jadidan?”. Dulu kata Rasul, semasa hidupnya pernah menolong orang sakit dalam keadaan demam, dia ambilkan selimut yang sudah terpakai (bukan selimut yang baru), ternyata pahala yang diperlihatkan Tuhan tatkala sakaratul maut sungguh sangat besar, sehingga dia menyesali dirinya, mengapa tidak aku berikan yang baru?
Selanjutnya mengapa sahabatku mengatakan “ingkana kulluh?”. Dulu kata Rasul, semasa hidupnya pernah menolong orang kelaparan di tengah jalan, dia baru saja membeli roti dari pasar, lalu roti itu dibagi dua, setengahnya diberikan kepada orang yang kelaparan dan setengahnya dibawa pulang. Ternyata pahala yang diperlihatkan Tuhan tatkala sakaratul maut sungguh sangat menggembirakan, sehingga dia menyesali dirinya, mengapa tidak aku berikan semuanya?
Penyesalan yang sifatnya jariyah memang tidak terjadi sekarang tatkala kita masih lebih melek terhadap khazanah dunawi ini, akan tetapi penyesalan itu akan datang semenjak menjelang nafas akan dipisahkan dari jasad, saat itu Tuhan akan memperlihatkan bayang-bayang balasan atas semua aksi-aksi kita dalam kehidupan dunia. Dan saat itu hanyalah penyesalan yang terlambat.
Tuhan memiliki banyak produk simpanan akhirat untuk memberikan kesempatan kepada hambanya dalam menitip amal kebaikan, tinggal kita yang menentukan pilihan pada produk yang mana harus kita isi maksimal.
Tuhan memahami keterbatasan kita yang tidak mungkin bisa mengisi seluruh produk tabungan akhirat yang Tuhan siapkan untuk menampung perhatian dan cinta kepada-Nya, akan tetapi Tuhan juga tidak ingin kita abai kepada semua produk-produk itu.
Barangkali produk tabungan yang Tuhan siapkan di masjid-masjid dan mushalla-mushalla belum mampu kita isi dengan maksimal, di majelis-majelis taklim belum mampu kita isi dengan rutin, di lembaga-lembaga pendidikan dan sosial—di sekolah, di madrasah, di pesantren, dan panti asuhan belum bisa kita isi dengan konsisten, di pinggir-pinggir jalan belum sempat kita isi dengan istikamah.
Kini Tuhan membuka produk tabungan yang lebih besar dengan munculnya bencana-bencana alam sebagai produk tabungan akhirat. Dia ingin agar kita-kita ini menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menemui dan menjawab harapan dan doa mereka yang sedang teruji.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram