Tatkala kita berjuang untuk satu etape kehidupan yang lebih baik misalnya, kita pernah dicuekin, pernah tidak dianggap, atau bahkan diremehkan dan direndahkan. Tentu kita sangat terganggu dengan fragmen yang dipertontonkan orang-orang kepada kita saat itu—di kala kita sedang tidak berharap ada skenario seperti itu.
Ketika kita berjuang di ruang isolasi rumah sakit karena sakit yang kita derita, dokter dan perawat yang seharusnya beramah tamah dengan kita yang sedang sakit, terkadang hadir bukan sebagai manusia biasa, tetapi sebagai orang berlabel dokter yang tidak ramah, yang menjalankan rutinitas sesuai poin-poin dalam standar kerjanya, padahal kita tidak hanya membutuhkan kehadiran dan resep obatnya, tetapi kita membutuhkan keramahannya.
Tatkala kita dikejar oleh deadline waktu yang harus kita taklukkan, kita butuh keramahan orang-orang yang kita temui, kita butuh tegur sapa dan perlakuan bijak untuk membuat kita nyaman menuju deadline yang tinggal beberapa waktu, terkadang keramahan yang kita harap tidak juga kunjung datang dari setiap orang yang kita temui.
Begitu pula dengan kejadian musibah banjir, gempa bumi, atau musibah kebakaran yang tiba-tiba datang melanda. Bagaimana kita merasakan terselimuti oleh kepanikan, ketakutan, dan berlari menyelamatkan diri. Saat itu kita pasti butuh keramahan dari orang-orang sekitar, untuk memberikan empati dan simpati agar kita tenang dan sabar dalam menghadapi musibah tersebut. Namun keramahan itu rupanya ikut tertelan banjir dan longsor, diterbangkan angin dan terbakar oleh api.
Tatkala kita berada dalam kondisi terguncang di dalam pesawat udara, terguncang di tengah samudra oleh badai laut, orang-orang yang ada di sekitar tidak ada yang memperlihatkan keramahanya, semua membaca ke dalam diri masing-masing, membaca keluarga, membaca amal, dan membaca nasib. Egoisme masing-masing diri mengemuka dalam sikap dan raut wajah, tidak ada yang menunjukkan keramahan.
Tatkala kita sedang dalam perjalanan menuju tempat yang tidak ada tolerir atas keterlambatan, entah di bandara, terminal, atau stasiun kereta api. Kita membutuhkan keramahan dari detik-detik waktu yang terus berjalan, butuh keramahan dari roda-roda angkutan untuk lebih cepat berputar, dan butuh keramahan orang-orang yang bertugas, namun semuanya pasif tanpa keramahan.
Tatkala kita berada di ruang ujian, atau ruang sidang, atau ruang pengadilan. Kita membutuhkan keramahan dari orang-orang yang akan kita hadapi. Tetapi amat sangat sedikit harapan untuk mendapatkan keramahan itu, karena di ruang-ruang ujian dan sidang seakan-akan orang tidak dibenarkan untuk ramah.
Dari kasus di atas, pernahkah kita merenung, siapakah yang paling ramah dalam setiap kondisi yang kita hadapi? Terutama dalam kondisi-kondisi yang krisis seperti yang terurai di atas? Andakah, atau kitakah? Tentu kita akan merasa tidak pantas untuk mengaku diri sebagai yang ramah.
Ingatlah, dalam kondisi-kondisi krisis itu, hanya Tuhan yang maha ramah, hanya Dia satu-satunya yang paling ramah menerima setiap aduan, setiap keluh kesah. Hanya Dia tempat yang ramah untuk menumpahkan segala kesusahan, untuk menumpahkan rasa takut, untuk menggantungkan egoisme diri. Hanya Tuhan yang maha paham atas semua kondisi yang dibutuhkan hamba-Nya.
Sepanjang perjalanan dan perputaran waktu dalam kondisi yang krisis itu, kita hanya diramahi oleh Tuhan. Kita hanya damai dalam rengkuhan-Nya, kita tidak malu meminta apa saja, bahkan tidak malu memaksa-Nya untuk apa saja. Kita hanya menemukan keramahan di sisi-Nya.
Tuhan yang maha tahu apa yang kita lakukan dalam kondisi-kondisi krisis, dan tahu pula apa yang kita lakukan selepas dari kondisi krisis. Mari kita renungkan sindiran-Nya kepada kita betapa kita sangat butuh keramahan-Nya dan dalam waktu yang lain betapa kita begitu abai dengan keramahan-Nya.
“Wa izaa massal insaanad durru da’aanaa lijambihiii aw qoo’idan aw qooa’iman falammaa kashafnaa ‘anhu durrahuu marra ka al lam yad’unaaa ilaa durrim massah; kazaalika zuyyina lilmusrifiina maa kaanuu ya’maluun.” Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan. (Qur’an surah Yunus ayat 12).
Tuhan pada ayat di atas mengingatkan kepada kita untuk senantiasa bersandar kepada-Nya dalam kondisi bagaimanapun, baik dalam kondisi senang maupun susah, dalam kondisi sukses ataupun gagal, dalam kondisi sehat maupun sakit, dalam kondisi berada maupun tidak berada. Di sisi-Nya tersedia perbendaharaan terbaik untuk kebaikan kita. Untuk selanjutnya kita akan senantiasa dicatat sebagai hamba-Nya yang pandai bersabar dan juga pandai bersyukur.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram