Fokama (Forum Kajian Mahasiswa Alauddin), boleh dikatakan, merupakan kelompok studi bergengsi di zaman saya. Walau kecil tapi keberadaan forum ini cukup diperhitungkan di kampus saya. Forum ini intensif mengadakan berbagai kegiatan diskusi atau bedah buku. Tempatnya bisa di mana saja: di masjid kampus, di bawah pohon, emperan kampus, lapangan tenis, atau di kos. Setiap ada isu-isu keilmuan yang aktual selalu diperbincangkan. Waktunya juga tak tentu: hari libur atau malam hari.
Narasumbernya, berasal dari anggota sendiri yang diatur secara bergilir dengan tema yang disepakati. Sesekali kami mengundang pembicara dari luar kelompok. Tapi tanpa dibayar alias gratis. Untuk sekadar snack kegiatan kami urunan. Kadang juga tanpa snack. Yang penting kegiatan kajian berjalan. Jadwal kegiatanya sekali sepekan. Dapat dikatakan, modal utama hidupnya kelompok ini hanya semangat membara dari anggotanya.
Sebagai kelompok kajian ilmiah, kami bebas berbicara atau bertanya apa saja. Termasuk soal yang ‘aneh-aneh’. Tidak ada wacana pengkafiran, penyesatan atau tuduhan penistaan. Misalnya, dalam suatu diskusi seorang kawan saya, Mukmin Naini asal Buton (belakangan jadi komisioner KPUD dan legislator di daerahnya) pernah mempertanyakan ketentuan Fikih mengenai keharusan tayamum dengan debu/tanah. Dia protes. Padahal menurutnya, sekarang tersedia banyak pilihan seperti bedak modern yang, di samping lebih wangi juga higienis.
Begitupun minat keilmuan para anggotanya, cukup beragam. Ada pemamah berat sosiologi seperti Mukmin Naini, peminat teologi (Abidin Wakano), filsafat (Zainal Arifin Sandia), sejarah dan politik (Zulkifli Azis) dan lain-lain. Pengurus dan anggota kelompok kajian ini juga berasal dari berbagai daerah baik dari Sulawesi, Ambon, saya, dan teman dari Bima-Dompu. Meski bersifat terbuka, namun sebagian besar anggotanya adalah anak-anak HMI. Mungkin karena ada kesamaan frekuensi.
Jadi, selain di HMI, forum ini juga merupakan tempat untuk mengasah kemampuan intelektual mahasiswa. Beberapa pengurusnya membayangkan Fokama itu semacam ‘Formaci’-nya IAIN Jakarta. Formaci (Forum Mahasiswa Ciputat) adalah kelompok studi cukup terkenal di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta era 1980-an. Forum ini banyak menghasilkan pemikir dan intelektual muda terkenal di zamannya. Sebutlah misalnya Ihsan Ali-Fauzi, Deden Ridwa, Nurul Agustina dan lainnya.
Faktanya, Fokama — sebagaimana Formaci — banyak menghasilkan mahasiswa dan intelektual muda yang cerdas dan kritis. Mereka umumnya gila baca. Kultur semacam itu yang akhirnya mempengaruhi kami, generasi berikutnya di forum kajian tersebut. Saya juga rajin mengikuti berbagai kegiatan kelompok ini. Termasuk yang diadakan secara bergiliran di kos-kos mahasiswa di kawasan Manuruki, belakang kampus IAIN.
Bila pada malam Minggu muda-mudi ramai datang ‘apel’ ke kos sang pacar, kami malah terlibat diskusi-diskusi panas dan tajam di kos-kos sempit itu. Begitu pula saat akhir tahun. Jika anak-anak muda sibuk menyiapkan berbagai paket hiburan, baik di sekitar kos maupun di luar (terutama di pantai Losari) kami sebaliknya, mengantar pergantian tahun itu dengan aneka dialog akhir tahun hingga dini hari. Sungguh sebuah petualangan dan sensasi intelektual yang mengesankan.
Nah, karena sebagian besar anggota Fokama itu anak-anak HMI maka secara tidak langsung memungkinkan saya juga bisa bertemu dengan anak Kohati (Korps HMI-wati) asal Ambon pujaan saya, hehehe. Sebagai pengurus Kohati, cewek ini juga rutin mengadakan kajian perempuan. Sebaliknya, saya juga beberapa kali mengisi kajian di sekretariat Kohati di belakang kampus IAIN. Kebetulan saya menaruh minat pada kajian wanita dan feminisme. Saya juga menulis beberapa artikel di koran tentang isu-isu perempuan ini.
Jika tempat kajian kami di kos teman-teman asal Ambon, maka snack-nya biasanya khas Ambon: sagu putih kering yang sudah dimasak. Bentuknya batangan kecil-kecil sebesar jempol kaki. Cara memakannya, terlebih dahulu mencelupkan sagu itu ke dalam teh manis. Bisa juga dimakan langsung seperti makanan ringan tapi hambar lantaran belum diberi penguat rasa apa pun, termasuk garam; jadi rasanya tanpa rasa.
Ketika pertama mencoba, sagu ini terasa aneh di lidah saya. Kata mereka, sebagaimana tradisi di Ambon, sagu tersebut akan lebih enak jika dimakan dengan ikan laut yang dibakar yang masih segar. Dijamin maknyuss, katanya. Setelah mendengar “tutorial” dari sahibul sagu, saya mencobanya berkali-kali. Tapi ya, tetap hambar. Kendati begitu, saya tetap berjuang memakan sagu itu meski tersiksa, hehehe.
Hal itu saya lakukan semata karena saya kesengsem dengan Kohati asal Ambon itu. Ya, ada sepotong cinta dalam batangan sagu. Perkiraan saya, jika suatu saat saya berjodoh dengan dia dan harus tinggal di Ambon, maka saya tidak terlalu kesulitan beradaptasi dengan urusan lidah itu. Semacam diplomasi asmara lewat sagu.
Sayang sekali, takdir berkata lain. Hingga selesai kuliah saya tidak berjodoh dengannya. Setelah wisuda, saya segera mengemas semua barang-barang saya, terutama buku-buku yang lumayan banyak. Saya pulang kampung. Di atas kapal Pelni menuju Bima, di tengah hembusan angin laut dan ombak yang ganas, saya duduk termenung mengenang kembali takdir perjodohan yang gagal itu. Juga mengenang pahitnya perjuangan lidah saya harus ‘berdamai’ dengan cita rasa sagu yang “tanpa” rasa itu. Segalanya seolah pupus bagai debu diterpa angin. Sia-sia.
Kendati sagu ditakdirkan untuk dimakan, namun entah kenapa saya ikut merasa bersalah karena telah mencabut “hak hidup” tumbuhan ini demi sebuah hasrat pribadi. Ya, saya berkeyakinan bahwa sebagai ciptaan Tuhan maka sagu pun sejatinya berhak menentukan kelangsungan hidupnya. Sayangnya, demi Kohati pujaan itu, saya telah merenggutnya. Nasibmu sagu, Maafkan daku.
Ilustrasi: Kumparan.com
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.