Daur Ulang Penindasan: Pantulan Orwell

PETERNAKAN Manor adalah ladang penindasan dan pemerasan bangsa binatang oleh tirani manusia. Sebegitu lamanya sampai pemimpin spiritual-kharismatik bangsa binatang, dari kalangan babi, menyadarkan sesamanya bahwa mereka benar-benar perlu bangkit untuk melawan, menyelenggarakan pemberontakan. Ia menanamkan kesadaran tentang penindasan, lalu menabur mimpi tentang masa depan, yaitu kedaulatan atas tanah peternakan mereka sendiri.

Momentum pemberontakan itu muncul seiring dengan matangnya kepemimpinan di kalangan binatang. Tiga serangkai dari kalangan babi – Snowball, Napoleon, dan Squealer – tampil sebagai pahlawan kemerdekaan dari penjajahan manusia. Mereka ini kelas cerdik pandai dari kalangan binatang.

Baca juga: Pram, Sejarah, dan Perlawanan Sastra

Mereka berhasil merajut sistem pemikiran – ideologi binatangisme yang memandu jalannya revolusi. Yang lain adalah para petarung tangguh, pekerja keras, tak kenal lelah dalam kesetiaan dan mimpi kesejahteraan.

Kedaulatan benar-benar diproklamirkan usai pertempuran yang membuat lari tunggang-langgang Tuan Jones dan karyawannya, manusia yang selama ini mengeksploitasi peternakan dan binatang-binatang itu. Identitas, semboyan, bendera, asas Tujuh Perintah, dan lagu-lagu kebangsaan baru dibuat dan disosialisasikan.

Tonggak dan kepahlawanan sejarah diperkenalkan. Yang lebih urgen adalah mengubah nama peternakan menjadi Peternakan Binatang, sebelum segera menjadi Republik Binatang.

Tetapi janji kemerdekaan dan kesejahteraan tak kunjung tiba. Justeru, sejak saat itu pertarungan yang sebenarnya berlangsung. Snowball dan Napoleon segera masuk dalam kancah perebutan kekuasaan. Snowball yang teknokrat dan orator tersingkir oleh Napoleon yang dingin tapi teguh.

Setelah itu, Snowball menyelenggarakan perlawanan bawah tanah dan operasi senyap, lalu terlupakan. Peristiwa demi peristiwa terjadi dalam upaya perebutan dan pemertahanan kekuasaan yang melibatkan dwitunggal itu: intrik, kekerasan,  manipulasi, dan korupsi.

Rakyat binatang tergencet dalam berbagai kesulitan yang ditimbulkan oleh praktik hegemoni satu pihak terhadap yang lain. Squealer tampil sebagai sosok intelektual organik tanpa integritas. Pekerjaannya adalah memenangkan persetujuan warga binatang, dengan kecerdasannya memanipulasi pengetahuan, mengubah fakta sejarah, dan pencitraan kosong.

Lebih dari itu, ia merekayasa persekongkolan jahat dengan musuh awal mereka – manusia pemilik peternakan tetangga untuk mempertahankan kekuasaan Napoleon. Minimus, penyair dari bangsa babi juga, membantu hegemoni ini dengan kerja budayanya menciptakan karya-karya puitik yang meninabobokan.

Baca juga: Antara Perlawanan dan Loyalitas Kaum Subsisten

Boxer – kuda loyal dan pekerja tangguh – harus menjadi korban yang tragis nasibnya oleh praktik “memakan saudara sendiri” oleh “the ruling class” para babi. Tetapi praktik penjualan nasib rakyat itu diputarbalikkan fakta dan maknanya oleh retorika penguasa di bawah jubir Squealer. Rakyat peternakan sebenarnya putus asa dalam kesadaran bahwa ternyata para babi memang jenis binatang yang rakus dan culas.

Ternyata pemberontakan itu bukan untuk kedaulatan binatang atas manusia, tetapi untuk menciptakan momentum politik bagi ketamakan. Tetapi para binatang itu telanjur dirasuki oleh mimpi mengenai martabat Binatangisme sehingga mereka terpaksa pasrah dalam daur ulang penindasan oleh bangsanya sendiri.

Peternakan binatang itu memang mengalami semacam makmur. Tetapi kuasi. Hanya kelas sosial babi dan anjing yang terlihat menikmatinya. Rakyat binatang yang lain hidupnya seperti apa adanya dulu: kelaparan dan menderita. Kerja keras dan kekecewaan adalah hukum kehidupan yang tidak bisa diubah. Ternyata prinsip binatangisme “kebahagiaan sejati adalah kerja keras dan hidup sederhana” hanyalah kedok, pengabur kenyataan binatang yang kerja lebih keras mendapat ransum lebih sedikit.

Pada akhirnya babi-babi itu duduk semeja dan bersulang dengan manusia pemilik peternakan tetangga. Mereka sudah mengenakan pakaian manusia dan berlagak laku seperti Tuan Jones pemilik awal peternakan. Mereka juga sudah berlatih untuk berjalan dengan dua kaki. Slogan “kaki empat baik, kaki dua jahat” berbalik menjadi “kaki empat baik, kaki dua lebih baik”.

Nasionalisme binatang sudah dilumpuhkan. Ajaran founding father dicampakkan. Dan ternyata, kejahatan manusia atas binatang yang memicu pemberontakan adalah kesalahpahaman. Rumor. Dengan ini semua, Napoleon dan anteknya menginginkan Peternakan Binatang ini adalah perusahaan, yang dimilikinya sendiri, juga dimiliki oleh babi-babi secara bersama.

Mereka adalah komprador asing belaka. Berkaraakter oligarki. Dan, peternakan ini kembali menjadi menyandang nama “Peternakan Manor” sebagaimana awalnya sebelum pemberontakan. Perselingkuhan para babi dengan manusia jahat dimulai. Tetapi perkelahian di meja pesta pun meletus segera setelah mereka mabuk oleh perselingkuhan itu.

Pantulan Orwell

Membaca novel Animal Farm karya fenomenal George Orwell mengingatkan kita pada pembentukan masyarakat-negara postkolonial. Alegori politik ini memang bersetting dan kritik kekuasaan masa Perang Dunia II, tetapi juga relevan sebagai kiasan perilaku kekuasaan di negara-negara berkembang yang para pemimpinnya kaum intelektual.

Romo Mangun benar ketika menengarai bahwa karakter intelektual dari masyarakat postkolonial itu ironis, selalu terperangkap dalam spiral penindasan. Kalau tidak penindasan maka kekecewaan. Kita bisa ingat tragisnya nasib Che di Amerika Latin, tersingkirnya Bung Hatta, juga pada gilirannya Bung Karno, serta banyak tokoh yang terlupakan.

Kita juga menyaksikan berbagai pergulatan intelektual sampai hari ini, di negeri ini. Termasuk gerakan-gerakan intelektual kemahasiswaan yang heroik. Lahir para pemimpin masyarakat, lalu menjadi orang besar, menjadi pejabat, menteri, gubernur, bupati, anggota dewan, komisaris perusahaan. Mereka dipandang khianat, didongkel, dimakjulkan, dikriminalisasi, lantas dilupakan.

Tetapi memang tidak ada resolusi ideal dari proses dan kulminasi peran intelektual, kecuali bahwa mereka lahir dan berbuat untuk konteks zaman dan tempatnya sendiri. Setelah itu misalkan menjadi penghianat, pecundang, atau eksil maka segera dimakna sebagai cara revolusi memakan anaknya sendiri.

Baca juga: Perilaku Orang Terpimpin

Lalu, apakah karena ini kaum intelektual sebaiknya tidak lahir/dilahirkan? Atau lahir tapi mati muda seperti Gie, Wahib, Munir, atau Widji Tukul?

Intelektual, lahirlah sebanyak-banyaknya! Sebagai sebuah kaum. Dan hiduplah panjang! Berpikir dan bertindaklah sejauh kemampuanmu! Sejarah selalu punya cara untuk menyeleksi siapa yang terbaik di antara kalian. Dan Tuhan pasti punya timbangan yang lebih jeli dari cara pandang manusia, untuk menilai secara “khabir’ siapa dan bagaimana sejatinya kalian.[]
Ilustrasi: Dreadxp.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *