Fatima Mernissi (selanjutnya Fatima) lahir di Kota Fez Maroko Utara pada tahun 1940-an. Fatima tinggal bersama dengan sepuluh orang sepupunya yang berusia sebaya, baik yang laki-laki dan perempuan di dalam rumah besar. Fatima berasal dari keluarga kelas menengah dan semasa kanak-kanak hidup dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Fatima meninggal dunia pada 30 November 2015, tokoh terkemuka ini meninggal dalam usia 75 tahun. Fatima mulai sekolah al-Quran, yaitu pendidikan tradisional yang mirip dengan sekolah zaman pertengahan, serta sekolah yang paling murah penyelenggaraannya. Fatima melanjutan sekolah tingkat pertama dalam Sekolah Nasional serta sekolah menengah atas pada sebuah Sekolah Khusus Wanita (sebuah lembaga yang dibiayai oleh Pemerintah Perancis) sampai selesai.
Fatima melanjutkan studinya ke Universitas Muhammad V Rabat, menempuh pendidikan bidang Sosiologi dan Politik. Kemudian Fatima hijrah ke Paris dan bekerja sebentar sebagai jurnalis. Selanjutnya, Fatima meneruskan pendidikan tingkat sarjananya di Amerika Serikat. Pada tahun 1973 Fatima memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang Sosiologi dari Universitas Brandeis dengan Disertasi yang berjudul: Sexe Ideologie et Islam, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab, Al-Jins Kahandasat Ijtima’iyat.
Baca juga: Perempuan yang Menyuluh Obor: Tribute untuk Atun Wardatun
Fatima adalah profesor dalam bidang sosiologi di Universitas Muhammad V Rabat. Sebagai ilmuwan dan akademisi, Fatima aktif menulis buku, artikel, dan jurnal, terutama yang berkaitan dengan masalah wanita dan membela hak-hak wanita.
Di antara karya-karnya Fatima Mernissi yang tersebar di berbagi negara seperti yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah: (1) Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society (Revised Edition), 1987, Indiana University Press, Edisi bahasa Inggris. Membahas tentang seks dan wanita. (2) Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yaziar Radianti, Pustaka Bandung, 1994. Membahas tentang wanita dan politik. (3) Islam and Democracy: Fear of Modern World, diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh Mary Jo Lakeland, 1992. Membahas tentang wanita dan demokrasi.
The Forgotten Queens of Islam, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Rahmani Astuti dan Enna Hadi, Mizan – Bandung, 1994. Membahas tentang kepemimpinan wanita. (4) “Women in Moslem Paradise”, dalam Equal Before Allah, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Team Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), LSPPA Yayasan Prakarsa Yogyakarta, 1995. Membahas tentang wanita/bidadari dan surga. (5) “Women in Muslim History: Traditional Perspectives and New Strategis” dalam Equal Before Allah, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Team LSPPA, LSPPA Yayasan Prakarsa Yogyakarta, 1995. Membahas tentang wanita dan politik.
Baca juga: Wanita dalam Pikiran Muammar Khadafi
(6) “Can We Women Head A Muslim State?” dalam Equal Before Allah, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Team LSPPA, LSPPA Yayasan Prakarsa Yogyakarta, 1995. Membahas tentang wanita dan politik. (7) “The Fundamentalist Obsession With Women: A Current Articulation of Class Conflict in Modern Muslim Societies” dalam Equal Before Allah, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Team LSPPA, LSPPA Yayasan Prakarsa Yogyakarta, 1995. Membahas seputar wanita dan politik.
Fatima menyebutkan bahwa kaum wanita muslimat bisa memasuki dunia modern dengan penuh rasa bangga, karena perjuangan meraih kemuliaan, demokrasi, dan hak-hak asasi untuk dapat berperan sepenuhnya dalam bidang politik dan sosial, tidaklah bersumber dari nilai-nilai yang diimpor dari barat, akan tetapi merupakan bagian sejati dari tradisi muslim, Setelah membaca karya-karya para ulama seperti Ibn Hisyam, Ibn Hajar, Ibn Sa’ad, dan al-Thabari serta ulama-ulama lainnya.
Pemikiran Fatima tidak dilatarbelakangi dari Barat, melainkan tokoh-tokoh dari muslim sendiri, di antaranya Qasim Amin adalah merupakan urutan yang paling utama, Menurut Qasim Amin bahwa Islamlah yang pertama sekali memberikan persamaan hak dan kedudukan antara pria dan wanita.
Namun, tradisilah yang merubah keadaan ini dan wanita dipandang lemah, untuk itu wanita harus mendapatkan pendidikan. Hal ini bukan berarti tokoh pembaru Mesir Al-Thahthawi dilupakan, akan tetapi mengingat konsep yang diuraikan oleh Qasim Amin lebih jelas dan lengkap bila dibandingkan dengan konsep yang disampaikan oleh Al-Thahthawi.
Pada dasarnya pemikiran al-Thahthawi dan Qasim Amin adalah sama, karena keduanya mengemukakan tentang hak dan kedudukan kaum wanita serta emansipasi wanita. Namum pemikiran Qasim Amin mempunyai ciri khas tersendiri karena Qasim Amin mampu merebut simpati masyarakat Mesir, sedangkan pada saat ide al-Thahthawi muncul, masyarakat pada waktu itu serentak menentangnya sehingga ajakan yang dilancarkannya segera hilang ditelan kerasnya tantangan.
Baca juga: Perempuan yang Menangis di Pusara Suamiku
Tokoh lain yang mempengaruhi pemikiran Fatima adalah Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Berawal dari peristiwa yang terjadi di Pakistan, ketika Benazir Bhutto berhasil memenangkan pemilihan umum pada tanggal 16 November 1988 sebagai perdana menteri Pakistan yang baru. Nawaz Syarif yang pada waktu itu merupakan pemimpin oposisi berteriak atas nama Islam, “belum pernah sebuah negara muslim diperintah oleh seorang wanita”.
Untuk meluruskan perdebatan sekitar kepemimpinan wanita inilah tampil Syaikh Muhammad Al-Ghazali sekaligus membawanya langsung ke jantung Al-Azhar, yakni pada tahun 1989, saat bukunya yang terkenal Al-Sunnat al Nabawiyyat: Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis. Dalam bukunya ini, Syaikh Muhammad Al-Ghazali telah mematahkan argumentasi golongan yang menolak kepemimpinan kaum wanita dengan memberikan pukulan yang hebat terhadap Hadis kontroversial, yang melarang kaum wanita untuk menduduki posisi kepemimpinan negara.
Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam hal ini mengaitkan kepemimpinan wanita dengan kedaulatan al-Quran itu sendiri. Dengan mengutip QS. Al- Naml (27): 23 yang maksudnya: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar”.
Pemikiran Fatima tentang kedudukan wanita dalam Islam di antaranya adalah: pertama, secara empiris, sejarah Islam juga telah membuktikan bahwa wanita telah banyak yang menjadi pemimpin di berbagai negara muslim.
Fatima menyatakan kedudukan wanita dalam bidang politik dapat disebutkan bahwa secara umum wanita dalam Islam mendapat porsi yang sama dengan kaum laki-laki, namun yang menjadi silang pendapat di kalangan para Ulama adalah seberapa besar porsi yang dapat diperankan oleh kaum wanita dalam bidang politik.
Kedua, dalam bidang ekonomi, Fatima berpendapat bahwa mencari nafkah atau bekerja di luar rumah bukan dominasi kaum pria saja, karena sejak awal-awal masyarakat Islam, wanita muslimah juga telah ikut aktif bekerja, termasuk juga para istri Rasulullah saw. (Umm alMukminin).
Ketiga, sedangkan dalam bidang hukum keluarga terutama yang berkenaan dengan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga (QS. Al-Nisa’ (4): 34), Fatima berpendapat bahwa mereka meletakkan wanita pada tempatnya dan mendisiplinkan wanita, jika hal itu berkaitan dengan kewajiban kepada Allah dan suaminya, bukan untuk menguasai wanita.
Persamaan hak dan kewajiban antara wanita dan pria tersebut menurut Fatima, bukanlah bersumber dari paham yang diimpor dari Barat, akan tetapi digali dari ajaran Islam, baik dari al-Quran dan Hadis maupun praktik kehidupan masyarakat Islam awal yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Ilustrasi: Wikidata.org
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan HKI UIN Mataram