Mendidik Diri Sendiri

Perkembangan teknologi yang begitu cepat saat ini, cukup berpengaruh terhadap perilaku dan pola pikir manusia. Tidak sedikit yang mengalami pergeseran rasa, terutama rasa terhadap diri sendiri. Terkadang kita tidak menyadari bahwa saat ini kita tidak lagi menjadi diri kita sendiri, kita tidak lagi mengenal emosi diri sendiri, tidak memiliki paradigma yang mencerminkan diri kita sendiri.

Bahkan tidak lagi memiliki pola pikir yang mencirikan diri kita sendiri. Sadar atau tidak—kondisi dan gejala ini sedang kita alami, sehingga terkadang secara tiba-tiba orang lain melihat kita berbeda, baik dari perilaku, sikap, pandangan, maupun pola pikir.

Untuk tidak larut tergerus oleh kondisi yang sedang melanda secara global saat ini, penting untuk segera melakukan upaya mendidik diri dan belajar dari kehidupan, agar selalu menjadi diri sendiri dengan ciri yang melekat pada diri kita masing-masing.

Baca juga: Perilaku yang Mati Rasa

Ada satu statemen penuh hikmah yang pantas kita renungkan sebagai iktibar dalam menghadapi bujuk rayu perkembangan teknologi yang berusaha membentuk kita untuk tidak menjadi diri kita sendiri. Statemen itu berbunyi, “hanya ikan mati yang ikut hanyut dalam derasnya arus air”.  Maka untuk tetap pada posisi menjadi diri sendiri dalam segala kondisi, penting kita melakukan upaya mendidik diri sendiri. 

Pertama-tama kita mendidik diri dengan perilaku yang sadar tentang diri atau memahami diri kita sendiri, memahami siapa sebenarnya diri kita, memahami profesi atau pekerjaan yang sedang kita jalani, memahami tugas dan tanggung jawab yang melekat pada masing-masing diri, memahami kedudukan sebagai hamba Tuhan, sampai kepada memahami kondisi pisik untuk memaksimalkan aktivitas-aktivitas kemanusiaan, sosial, dan keagamaan.

Tuhan mengingatkan kita untuk senantiasa mengerti tentang diri sendiri dengan firman-Nya di surah Adz Dzariyat ayat 21, “Wafi anfusikum afala tubshirun”. Dan pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikannya?

Baca Juga  Fokus Kepada Diri Sendiri

Setelah sadar atau paham tentang diri sendiri, kita tidak boleh lengah dan merasa pada zona nyaman, tindakan berikutnya senantiasalah kita memotivasi diri, memberi semangat dari dalam diri untuk harus lebih baik, lebih sehat, lebih produktif, lebih rajin, lebih taat, dan selalu ada girah untuk perubahan menuju yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Nabi saw mengajarkan kita untuk senantiasa memotivasi diri, “Ightanim khamsan qabla khamsin Syaba-baka qabla haromika, Waghina-ka qabla faqrika, Wasyughlaka qabla fara-ghika, Washihhataka qabla suqmika, Wahaya-taka qabla mautik”. Jaga lima sebelum datangnya lima, jaga muda sebelum tuamu, jaga kaya sebelum miskinmu, jaga sempat sebelum sempitmu, jaga sehat sebelum sakitmu, dan jaga hidup sebelum matimu.

Sukses dalam memotivasi diri tidak boleh membuat kita lalai dan nyaman dalam menikmati kehidupan ini, ingatlah bahwa semua yang ada di sekeliling kita cukup berpengaruh terhadap kondisi dan keadaan kita, maka langkah berikut yang harus kita lakukan terhadap diri ini adalah mengelola diri secara kontinu atau istikamah.

Memastikan diri untuk senantiasa berada pada rel yang tepat, yakni istikamah untuk komitmen dalam kebenaran dan kebaikan, istikamah untuk komitmen dalam ketaatan dan kepatuhan, dan istikamah untuk komitmen menuju perubahan ke arah yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Baca juga: Salah Persepsi dalam Beramal Saleh

Kedamaian hidup tidak cukup hanya dengan berbuat baik kepada diri sendiri, takdir untuk hidup bersama dengan orang lain menjadi potensi bawaan yang sangat sulit untuk kita hindari, maka langkah berikut dalam mendidik diri sendiri adalah berusaha memahami orang lain. Dalam hidup ini memahami orang lain terkadang jauh lebih penting dibanding memahami diri sendiri.

Hidup akan terasa indah, damai, dan nyaman apabila kita dapat menyadari sekaligus berusaha untuk tidak mempraktikkan perilaku dan sikap yang tidak kita sukai di hadapan orang lain, karena bisa jadi sikap dan perilaku yang tidak kita sukai—orang lain pun juga tidak menyukainya, sebaliknya berusahalah untuk senantiasa mempraktikkan sikap dan perilaku yang membuat kita nyaman dan damai di hadapan siapa saja, karena bisa jadi sikap dan perilaku yang kita sukai—orang lain pun juga pasti sangat suka.

Baca Juga  Perilaku yang Mati Rasa

Pada etape terakhir dari muatan mendidik diri sendiri adalah menumbuhkan rasa empati atau rasa peduli dengan siapa saja, dalam hal keterpurukan hidup misalnya—bagaimana agar kita dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, sehingga kita bisa berbagi perhatian.

Baca juga: Kecanduan Salat, Bisakah?

Dalam kaitannya dengan musibah, bagaimana kita dapat merasakan derita orang lain, sehingga dapat berbagi kebahagiaan. Kaitannya dengan  kesedihan, bagaimana kita dapat merasakan pedihnya hati orang lain, sehingga kita bisa berbagi uluran rasa simpati.

Itulah hal penting yang kita lakukan untuk diri sendiri sebagai cara kita mendidik diri dalam menyelami kehidupan dengan tantangan yang sangat deras. Istilah Munib Chatib, pengarang buku best seller  dengan judul Gurunya Manusia, bahwa tindakan mendidikan diri sendiri semakna dengan guru kehidupan.

Para sabahat Rasul dalam rangka menjaga dan merawat marwah diri sebagai umat terbaik yang Tuhan lahirkan di tengah-tengah manusia, mereka pun sibuk mendidik dirinya sendiri, belajar pada kehidupan dengan komitmen yang disandarkankan pada prinsip hidup: “setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi”.


2 komentar untuk “Mendidik Diri Sendiri”

  1. Nanda Zahratu Raudah

    Ayahanda…
    Terimaksih banyak untuk motivasi pagi penuh berkah ini….aamin
    Bagaimana ciri yg melekat pada diri ini ayah??? Bagaimana sahabat shabatku???
    Aaahh….semoga saja ciri2 yg melekat pada diri ini untuk pribadi dan orang lain selalu menentramkan, membuat nyaman, membahagiakan….membanggakan….dan menjadi tauladan di kemudian hari….aamiin Allahumma aamiin :-):-):-)
    Semoga Allah melimpahkan nikmat sehat n penjagaan terbaiknya untuk ayah dan shabat2 tercinta diamnapun berada…aamiin…
    Slm cidaha dari “NZR”:-)

  2. Subhanallah…
    “Ku Anmpusakum Wa Ahlikum Naaroo
    Jaga dirimu sendiri dan Jaga keluargamu dari api neraka”
    Artinya Kita Harus IBDAQ BINAFSIK
    Mulai dari diri sendiri …..
    Trimakasih Tausiahnya Saudaraku ….
    Semoga Plungguh selalu dalam keadaan sehat Wal’afiat selalu dalam lindungan Allah SWT amiiinn ya Allah ya robbal Alamin

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *