“Orang yang tidak pernah merasakan kegelapan, biasanya tidak akan mengerti apa artinya lampu”. Ungkapan klasik ini menggambarkan betapa seringkali kita membenci bahkan memusuhi sesuatu yang tidak kita ketahui. Kita menganggap sesuatu itu musuh kita, padahal itu adalah bayang-bayang ketidaktahuan kita. Kita menganggapnya ia lawan kita, padahal yang harus kita lawan justru diri kita, egoisme kita, ketidaktahuan kita.
Nah, salah satu cara mengatasi ketidaktahuan itu adalah dengan bergaul atau berinteraksi langsung dengan sesuatu yang kita benci atau kita musuhi itu. Hubungan pribadi yang tulus dan informal seringkali memberikan kesan yang berbeda dari apa yang pernah kita baca.
Baca juga: Konflik Palestina-Israel, Dialog Agama dan Citra Yahudi
Salah satu hambatan dalam mewujudkan toleransi beragama yakni adanya persepsi keliru atau stereotipe tentang agama tertentu. Hampir setiap penganut agama punya penilaian negatif tentang agama lain yang dibangun berdasarkan pada prasangka. Celakanya, prasangka itu terus dirawat hampir sepanjang hayat tanpa upaya melakukan klarifikasi kepada pemilik agama bersangkutan. Akibatnya, prasangka itu berlangsung awet.
Dalam situasi di mana hubungan antarpenganut agama itu dipekati perasaan saling curiga, maka prasangka itu bagai rumput kering yang mudah dibakar. Di tangan para petualang politik, prasangka jelas merupakan amunisi yang gampang diledakkan setiap saat.
Bagi sebagian non muslim, Islam itu identik dengan agama kaum ‘biadab’: disiarkan dengan pedang, agama hiperseks (poligami), mengungkung kebebasan, menindas kaum perempuan, mendiskriminasi minoritas dan lainnya.
Sedangkan bagi kaum muslim, citra umat Kristiani misalnya, juga tak kalah buruknya: gemar melakukan kristenisasi dan berbagai konspirasi untuk menghancurkan Islam, agama sesat dan menyesatkan, konsep ketuhanannya aneh, kitab sucinya palsu dan sejenisnya.
Baca juga: Liar, Apologis, Kambing Hitam dan Psikologi Prataubat
Begitulah, berbagai gambaran buruk tentang agama tertentu itu bersemayam dalam alam kesadaran kaum beragama itu, sehingga kalaupun mereka terlihat rukun maka hal itu hanyalah basa-basi sosial saja. Sejatinya dalam hati mereka menyimpan kebencian, dendam, semangat saling menghancurkan, atau minimal sikap meremehkan penganut agama lain. Dan sikap ini tidak hanya di kalangan masyarakat umum tapi juga sebagian elite.
Sebagai pengurus mesjid di kampung, beberapa tahun lalu saya diundang mengikuti pelatihan imam salat dan khatib yang diselenggarakan oleh MUI Kabupaten Dompu. Di tengah penyampaian materi seorang narasumber sekaligus pengurus FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) ‘menjelek-jelekan’ ajaran agama tertentu. Saya kaget. Ya saya kaget karena hal itu disampaikan elite FKUB, sebuah wadah yang seharusnya berjuang mewujudkan saling menghormati sesama umat beragama.
Saya sulit membayangkan untuk mewujudkan keharmonisan itu jika elite FKUB saja masih terjebak dengan prasangka tentang agama lain. Jangan-jangan elite FKUB ini malah belum pernah menginjakkan kaki sama sekali di rumah-rumah ibadah lain selain rumah ibadah agamanya sendiri.
Bagi saya, pengalaman-pengalaman nyata dengan hadir secara langsung dan merasakan ‘aura sakral’ di rumah-rumah ibadah semacam itu akan mampu melahirkan penghayatan dan sikap menghormati agama yang berbeda.
Ketika kuliah di Makassar dulu, saya juga pernah terjebak dengan sikap prasangka semacam ini. Di kos kami terdapat penghuni yang beragama Katolik. Namanya Selviana Pasapan dari Tana Toraja, mahasiswi IKIP Ujungpandang (kini Universitas Negeri Makassar).
Saat ngobrol santai di kos, entah kenapa selalu timbul hasrat saya untuk ‘menyerang’ sisi-sisi kelemahan agama yang dianutnya. Seperti kebanyakan muslim, saya pun punya gambaran peyoratif tentang agama Kristen, baik tentang konsep ketuhanan trinitas yang saya anggap kacau, kerancuan status ketuhanan Yesus, hingga ritual peribadatan yang menggunakan media lagu.
Maka bermodalkan pengetahuan tentang kekristenan yang minim, saya selalu ‘menyerang’ Selvi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tendensius. Sayangnya, meski berstatus mahasiswa tapi kesan saya Selvi ini awam tentang agamanya.
Semacam penganut Katholik-KTP begitu. Tentu saja dia kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaan provokatif saya. Kalau sudah terpojok dia hanya tersenyum getir, sementara saya merasa ‘puas’ karena berhasil mempermalukannya.
Tetapi persepsi negatif semacam itu secara perlahan mulai berkurang seiring dengan pergaulan saya dengan mereka yang berbeda itu. Ketika hendak menurunkan laporan utama tentang toleransi beragama pada koran kampus tempat saya bekerja, saya menelpon Dr Zakaria Ngelow, pendeta sekaligus Ketua Sekolah Tinggi Teologi (STT) Kristen Indonesia Timur di Makassar. Kepadanya saya menyampaikan maksud saya untuk mewawancarainya.
Dari ujung telepon saya mendengar suara Pak Zakaria agak hati-hati merespon permintaan saya. Dia sempat menanyakan saya duduk semester berapa di IAIN Alauddin. Dia ingin memastikan bahwa sebagai wartawan mahasiswa saya memahami topik yang akan ditanyakan nanti. Setelah saya menjelaskan agak panjang lebar barulah beliau mau menerima wawancara saya di rumahnya yang berada dalam kampus calon pendeta itu.
Ketika pertama kali masuk, saya lihat suasana kampus itu relatif sepi karena sudah sore. Ada semacam perasaan aneh kala melihat beberapa bangunan utama kampus yang berbentuk kapel gereja abad pertengahan ini. Bahkan ‘aura’ kampus ini terasa beda. Saya merasakan suasana ‘asing’ dengan gaya arsitektur maupun suasana kampus. Begitu mendekati rumahnya, saya dikejutkan oleh gonggongan beberapa ekor anjing piarannya. Saya juga kaget karena ternyata anjing-anjing itu ikut masuk ke dalam rumah. Saya diterima dengan ramah.
Baca juga: Predator Anak di Sekitar Kita
Saya juga diperkenalkan dengan istrinya yang berasal dari Ambon dan putri kecilnya yang berusia 3 tahun. Di pintu depan, ketika hendak membuka sepatu, dengan hangat Pak Zakaria menegur saya agar tidak perlu membuka sepatu. “Gak usah dibuka sepatunya dik, toh ini bukan rumah ibadah,” ujarnya sambil bercanda. Saat mewawancarainya saya disuguhi teh dan kue oleh istrinya. Lagi-lagi perasaan saya bimbang dan aneh.
Melihat anjingnya yang melintas di ruang tamu saya (maaf) agak jijik menikmati teh dan kue itu. Saya pikir, sudah pasti perabot dapur yang digunakan untuk memasak dan menyuguhkan penganan di hadapan saya ini dijilat anjing. Dan anjing, dalam fikih Islam, tergolong najis mugholadhah (najis berat). Tapi di sisi lain, batin saya juga tak tega melukai perasaan keluarga non muslim ini jika tidak mencicipi suguhannya.
Saya merasa malu mencederai ketulusan mereka. Akhirnya, dengan perasaan dan lidah tertahan, saya mereguk teh dan kue itu dengan suasana batin yang tak karuan. Inilah untuk kali pertamanya saya terlibat dalam perang batin yang mencekam: antara menjaga moralitas agama yang saya yakini dengan moralitas sosial non muslim yang hendak saya jaga.
Yang menarik, setelah selesai wawancara dengan Pak Zakaria, secara jujur menyayangkan ‘kesalahpahaman’ saudara-saudaranya yang muslim terkait isu pendirian gereja. “Selama ini, saudara kami muslim menuduh kami melakukan kristenisasi karena jumlah gereja lebih banyak dari umat Kristiani. Mereka tidak paham bahwa dalam Kristen itu ada banyak sekali sekte seperti Gereja Bunda Maria, Gereja Roh Kudus, Gereja Advent, dan lain-lain.
Nah, tiap sekte itu hanya boleh sembahyang di gerejanya masing-masing. Ini beda dengan Islam karena meski NU, Muhammadiyah, Persis, daln lain-lain itu berbeda, tapi saudara-saudara kami muslim itu masih bisa salat di masjid yang sama. Sedangkan di Kristen berbeda,” ujarnya. Inilah untuk pertama kalinya saya mulai memahami ‘kerumitan’ sistem teologi Kristen.
Setelah selesai kuliah, saya pulang kampung dan bekerja di sebuah LSM lokal. Ketika melakukan pendampingan, lagi-lagi saya ditakdirkan bertemu dan berhubungan dengan salah satu mitra dampingan yang non muslim. Kali ini tugas saya melakukan pendampingan terhadap ketua komite sekolah dasar yang beragama Hindu di sebuah kecamatan di Kabupaten Dompu.
Karena tuntutan pekerjaan, saya harus sering bertemu dengannya. Yang jadi masalah, setiap kali saya ke rumahnya saya harus menemuinya di rumahnya di kebun, yang di dalamnya dia memelihara beberapa ekor babi dan anjing. Tiap kali saya bertamu saya selalu disuguhi kopi dan kue. Sama dengan di rumah pendeta sebelumnya, saya dibuat dilematis antara perasaan ‘aneh’ dengan menjaga perasaan sang tuan rumah.
Akhirnya, pilihannya saya pun ‘terpaksa’ mencicipi kudapan itu. Meski harus melalui perjuangan berat, akhirnya pengalaman-pengalaman semacam itu membantu saya untuk membangun persepsi dan hubungan positif dengan mereka yang berbeda. Saya mulai memahami arti perbedaan dan mendorong saya untuk belajar dan mengoreksi penilaian dan persepsi negatif sebelumnya tentang agama tertentu.
Tidak hanya kepada yang non muslim, sikap yang sama saya lakukan juga kepada beberapa kelompok aliran atau mazhab dalam Islam. Penasaran dengan isu-isu tentang ajaran Syiah, maka saat kuliah di Bandung pada 2009 lalu saya sempatkan diri beberapa kali mengikuti kajian tasawuf di Masjid Al-Munawwarah di dekat SMA plus Muthahhari Bandung, milik Jalaluddin Rakhmat, tokoh Syiah Indonesia.
Semula saya ragu datang ke sana karena takut dituduh Syiah. Tapi saya pikir tidak ada salahnya saya menjadi ‘pemulung hikmah’. Toh jika ada ajaran yang ‘menyimpang’ saya abaikan saja. Kewajiban saya adalah memungut setiap kebaikan sebagaimana perintah hadis “Khudzul hikmata wala yadurruka min wi’a’in kharajat” (Ambillah hikmah/ilmu itu dari tempat mana saja ia keluar”).
Baca juga: Islam: Antara Universalitas dan Partikularitas
Tadinya saya pikir jamaah ‘Syiah’ ini para perempuan bercadar seperti saya lihat di Iran. Saya kaget karena ternyata jamaah pengajian ini beragam mulai dari remaja ABG, aktivis Islam, hingga ibu-ibu rumah tangga yang memakai celana jean’s. Topiknya tentang tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa) yang disampaikan secara bergantian oleh Kang Jalal dan putranya Miftah Fauzi Rakhmat.
Model pengajiannya sama saja dengan majelis taklim umumnya. Saat berbicara, gaya Kang Jalal persis sama dengan gaya tulisannya yang sering saya baca: santai dan diselingi humor-humor ringan. Di Jakarta saya juga sempat mengikuti pengajian akbar pengikut Syiah di markas Syiah dekat jalan Warung Buncit Jakarta. Saat itu sempat kedatangan seorang ayatullah dari Teheran yang menyampaikan ceramah dalam bahasa Persia.
Pesertanya banyak sekali hingga tumpah ke halaman kompleks markas itu. Sejumlah pengikut Syiah berwajah Timur Tengah juga berbaur dengan jamaah lainnya. Setiap jamaah yang hendak masuk ke aula, tempat pengajian itu, saya perhatikan menempelkan sepotong tanah warna merah di dekat pintu masuk untuk dioleskan di jidat (belakangan saya tahu kalau itu adalah tanah Karbala, tempat pembantaian Hassan dan Hussein, cucu Rasulullah oleh Muawiyah).
Begitulah, saya berusaha bergaul dan menjalin silaturrahim dengan berbagai kelompok dan harakah dalam Islam. Mulai dari yang lembut, moderat hingga yang radikal; dari yang konservatif sampai paling liberal; dari yang tradisional hingga modern. Tujuannya jelas yakni untuk menyelami pandangan-pandangan mereka serta menjauhi prasangka.
Sayang sekali, meski banyak dalil yang menganjurkan pentingnya ukhuwah islamiah namun berbagai kelompok dan aliran Islam itu masih terjebak pada prasangka. Bahkan tidak jarang satu kelompok menyerang dan mendiskreditkan kelompok Islam lainnya hanya karena menyangkut perbedaan pemahaman perkara furuiyah (cabang) dalam ajaran Islam.
Masih jarang kita temukan misalnya, pengajian satu kelompok ikut dihadiri oleh kelompok aliran lainnya. Ke depan kebekuan dan ketegangan semacam ini harus dicairkan dengan aktivitas olahraga, katakanlah sepak bola atau lomba futsal antarharakah.
Alangkah damainya jika kita melihat kesebelasan Jamaah Tabligh bertanding dengan kesebelasan Salafi misalnya, lalu setelah lelah bertanding kedua harakah itu terlihat ngobrol akrab di luar lapangan hijau. Saya kira hal semacam itu lebih menentramkan ketimbang saling membidahkan apalagi mengkafirkan. Syukur-syukur kalau ada yang menginisiasi pernikahan antarharakah untuk menepis prasangka itu. Mungkinkah?
Ilustrasi: Detik.com
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.