21 APRIL yang diperingati sebagai hari Kartini adalah momentumnya perempuan Indonesia, melebihi momentum hari-hari perempuan lainnya. Mungkin tidak akan ada kontes aneka macam kebaya dan sanggul serta model riasan akan muncul meriah menghiasi sekolah-sekolah, institusi pemerintah, bahkan komunitas perempuan “milenial” yang terbentuk secara kultural, khususnya di pulau Jawa, karena kondisi keterbatasan berkegiatan pasca pandemi covid masih terasa, dan hari Kartini kali ini bertepatan dengan bulan Ramadan.
Namun, inilah saat yang tepat perempuan Indonesia kembali belajar paradigma berfikir Kartini dan membalik mainstream wacana kita yang selama ini seolah masih mengenal pahlawan dari kacamata “bungkus” bukan “isi” yang sejatinya melekat pada nilai kepahlawanan Kartini.
Baca juga: Kartini dan Sejarah di Ujung Tanduk
Jika melihat konstruksi cara berfikir Kartini, sejatinya sedang mengajarkan model “critical thinking” dan bukan model “analytical thinking” sebagaimana banyak dikembangkan di berbagai institusi pendidikan formal maupun informal di Indonesia.
Kartini dengan segenap pemikirannya, sejatinya sedang mengajarkan perempuan Indonesia berpolitik dengan strategi jaringan dan konstruksi wacana yang ia operasikan. Kartini tidak sedang mendobrak yang sering kali diidentikkan “negatif” sebagai bentuk perlawanan terhadap tatanan yang ada. Namun kartini sedang memainkan nalar kritis dan mencoba menerapkannya pada lingkungan terdekatnya.
Ia mencoba membuat konstruksi baru tentang berbagai dimensi kehidupan perempuan Jawa pada masanya. Konsep circuit of culture dengan korespondensi yang dilakukan Kartini dan rekan Belanda-nya pada akhirnya dapat memproduksi wacana baru yang masih dikenang hingga saat ini.
Pemikiran progresif Kartini ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang ia dapat dari Marie Ovink-Soer, istri dari seorang pegawai administrasi kolonial Hindia Belanda di Jawa Tengah yang banyak mengenalkannya pada pemikiran feminisme melalui jurnal De Hollandshce Lelie.
Baca juga: Perempuan yang Menyuluh Obor: Tribute untuk Atun Wardatun
Jurnal ini merupakan struktur pengetahuan yang otoritatif dan legitimate pada masa itu sehingga dapat mempengaruhi praktik-praktik sosial individu baik cara berfikir, berbicara maupun bertindak sebagai sebuah rezim pengetahuan. Lalu apa saja yang sejatinya diajarkan Kartini? Kartini sedang mengajarkan bahwa membaca, menulis, berfikir kritis adalah salah satu strategi gerakan politik untuk merubah kultur mainstream yang ada.
Dalam Konteks ini, Kartini tidak sedang mengeluh dan menulis surat tak bertujuan, Kartini sangat pandai membaca jaringan politik yang bisa dimanfaatkan untuk mengukuhkan wacana yang sedang ia konstruksikan. Ia tahu dengan berkirim surat kepada Estella Zeehandelar (seorang pegawai kantor pos) akan memudahkan untuk mengenalkan nalar kritisnya, karena dalam sejarah kolonialisme kantor pos adalah pusat informasi masyarakat yang paling penting, itu mengapa dalam tatanan perkotaan warisan kolonial Belanda, kantor Pos berada dekat dengan alun-alun (sebagai pusat kota).
Kartini juga menuliskan surat kepada Rosa Abendanon, istri dari JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Kartini dapat melihat bahwa perempuan-perempuan Belanda rekan korespondensi Kartini memiliki posisi yang strategis untuk membantu Kartini mewujudkan misi politiknya. Tentu politik yang dioperasikan oleh kartini bukan politik dalam padangan maistream tentang kekuasaan.
Pemikiran Foucault tentang bagaimana kekuasaan beroperasi dan dengan cara apa kekuasaan dioperasikan lebih cocok untuk melihat peta politik Kartini. Politik dalam konteks ini adalah relasi kekuasaan yang tersebar seperti jaringan yang mempunyai ruang lingkup strategis, tersebar dan ada di mana-mana. Surat-surat Kartini adalah surat yang penuh dengan strategi, negosiasi dan permainan kekuasaan yang sedang ia operasikan.
Baca juga: Perempuan dan Kekuasaan
Kartini memahami dengan baik bahwa Belanda sedang menjalankan konsep politik etis sebagai counter terhadap politik tanam paksa yang mengedepankan sikap balas budi Belanda terhadap rakyat di negara jajahan. Salah satu bentuknya adalah dengan memberikan pendidikan. Karena itu, pendidikan menjadi isu penting di lingkungan pergerakan, termasuk pergerakan di kalangan bumiputra.
Domain inilah yang secara politis dilihat Kartini sebagai kesempatan mengoperasikan kekuasaannya sebagai perempuan bumiputra, dan JH Abendanon adalah salah satu penggerak politik etis di Hindia Belanda. Kartini dengan surat-suratnya sejatinya sedang berpolitik. Ia memainkan apa yang dikonsepkan oleh James Scoot sebagai the art of resistance and The art of not being governed.[]
Ilustrasi: Tirto.id
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta