KITA pasti pernah—kalau kita enggan mengatakan sering—melakukan kesalahan. Kita sendiri pasti paling tahu tentang apa yang terjadi pada diri kita dan perbuatan kita, apakah yang berkaitan dengan salah dan benar, khilaf dan keliru, atau lalai dan lupa.
Kita sendirilah yang mesti tahu kesalahan dan kekeliruan yang kita lakukan, mulai dari kekeliruan penglihatan atau pandangan, pikiran atau hati, pendengaran, sampai kepada kekeliruan syar’i, baik sengaja atau yang kita lakukan karena lalai.
Pertanyaannya, begitu kita mengetahui dengan sebenar-benarnya bahwa kita telah dan sedang melakukan kesalahan, pernahkah kita berinisiatif menasihati diri kita sendiri, seperti kita pernah menasihati orang lain yang berbuat salah dan khilaf?
Baca juga: Idulfitri: Momentum Kemenangan Individual dan Sosial
Ingatkah, begitu kita mendapatkan satu kesalahan (kecil atau besar) pada orang lain, entah suami atau istri, entah anak-anak, keluarga, atau tetangga dan kerabat, secara otomatis kita pasti merangkai kalimat-kalimat indah dan menyentuh hati untuk meluruskan atau memperbaiki kekeliruan mereka.
Dari dalam diri rasanya ada tanggung jawab moril untuk harus memperbaiki kekeliruan dan kekhilafan yang terjadi pada orang lain, karena kita tidak ingin melihat efek negatif yang merugikan siapa saja di antara kita.
Namun mengapa sikap ini tidak kita lakukan tatkala kekeliruan dan kekhilafan dilakukan oleh diri kita sendiri? Alangkah indahnya suasana hidup ini apabila kita mampu memberi nasihat bukan hanya kepada orang lain, tetapi kepada diri sendiri.
Sadar atau tidak, kita pasti pernah keliru dalam melihat suatu obyek, kita pasti pernah melihat obyek yang tidak sepatutnya kita harus lihat. Dan kondisi seperti itu hanya kita yang tahu, mengapa kita tidak otomatis menasihati diri sendiri, bahwa perbuatan itu tidak benar, tidak etik, tidak elok—tentunya dengan mendatangkan dalil-dalil yang sesuai dengan standar kebenaran yang rasional.
Kita juga pasti pernah menguping suatu kisah yang sebenarnya tidak patut kita dengar, dan begitu kita sadar bahwa apa yang kita dengar sebenarnya tidak pantas, mengapa tidak serta merta kita menasihati diri sendiri bahwa perbuatan menguping itu adalah suatu kekeliruan dan perbuatan tidak benar, dilihat dari sudut etika dan standar kebenaran.
Baca juga: Libasuttakwa: Busana Alumni Ramadan
Kita pun pernah mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor tatkala kita sedang mengalami kekesalan dan kekecewaan. Begitu suasana hati terasa damai, mengapa kita tidak segera menegur diri sendiri, bahwa apa yang tadi dikatakan oleh mulut adalah sesuatu yang tidak patut dan bertentangan dengan standar kebenaran yang diajarkan Rasul saw.
Kita pernah pula kesal, dongkol, jengkel, bahkan menggerutu di dalam hati, oleh karena sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang kita harap dari orang lain. Kondisi hati kita yang demikian berakibat timbulnya rasa dendam, tidak suka pada seseorang, bahkan kadang sampai memutus hubungan silaturahmi. Begitu kondisi hati menyadari kekhilafan tersebut, seharusnya kita segera menasihati diri sendiri, bahwa kondisi kesal, dongkol, dan jengkel yang berlebihan adalah bertentangan dengan kebenaran, etika, dan sifat asasi kemanusiaan.
Kita pun juga pernah berbuat kesalahan dan kekhilafan dengan kebijakan yang kita ciptakan, dengan konspirasi yang kita susun bersama orang-orang tertentu, mengambil atau menerima sesuatu yang bukan hak kita, atau bahkan melakukan manipulasi untuk kepentingan diri sendiri. Dan hal ini hanya kita yang tahu. Mengapa kita tidak segera menasihati diri kita bahwa apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang tidak benar dan tidak disukai Tuhan.
Dan masih banyak anasir-anasir kekeliruan dan kekhilafan, baik kecil maupun besar, sengaja atau tidak sengaja kita lakukan. Kita pasti sangat tahu tentang diri kita dan apa yang kita lakukan, katakan, dan pikirkan.
Andai kita bisa otomatis memberi nasehat kepada diri kita sendiri, tatkala kita menyadari bahwa diri kita telah dan sedang berbuat salah dan khilaf, sebagaimana kita lakukan kepada orang lain yang telah dan sedang berbuat kesalahan dan kekhilafan, sungguh kita akan menjadi orang yang paling mulia di tengah-tengah manusia yang lain.
Bukankah di beberapa ayat dan surah di dalam al-Qur’an Tuhan menyentil kita untuk terlebih dahulu memperhatikan diri sendiri sebelum orang lain (“qū anfusakum wa ahlīkum nāra”. Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Al Tahrim: 6), menilai diri sendiri sebelum orang lain (“Wa fī anfusikum, a fa lā tubṣirụn”. Pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikannya. Azd Dzariyat: 22), dan terlebih dahulu menghisab diri sebelum orang lain (“Hasibu anfusakum qabla antuhasabu”. Hendaklah kalian hisab diri kalian terlebih dahulu sebelum dihisab nanti. Ali bin Abi Thalaib).
Baca juga: Satu Buku Berbeda Halaman
Ayat dan atsar di atas adalah anjuran untuk memperhatikan, meluruskan, dan memperbaiki diri sendiri, dalam arti melakukan nasihat-nasihat dan pesan-pesan moral untuk diri kita sendiri terlebih dahulu apabila melakukan kesalahan dan kekhilafan. Dan kitalah yang paling tahu, maka sangat wajar kalau kita yang harus menasihati diri sendiri.
Jika demikian yang kita lakukan terhadap diri sendiri, maka kita tidak akan memandang diri ini paling baik dan paling benar, tidak akan memandang orang lain lebih buruk dari kita, dan pada akhirnya kita akan menjalani hidup ini bersama orang lain dengan bijaksana, terutama dalam menjalani kehidupan dalam pergumulan sosial.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram