KETIKA kuliah S1 tahun 1994-1998 pada Fakultas Syari’ah IAIN Surabaya, saya sudah mendengar nama besar Prof Dr Amin Abdullah, dosen IAIN Yogyakarta, seorang pakar dalam bidang filsafat Islam. Salah satu bukunya yang booming saat itu berjudul “Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Ketika menelaah buku ini, saya baru menempuh pendidikan S1 yang belum memiliki fondasi keilmuan yang kuat, sehingga belum bisa menyerap dengan baik pikiran-pikiran cerdas beliau dalam buku tersebut.
Karena begitu semangatnya saya ingin mengembangkan wawasan keislaman, saya setiap bulan menyisihkan uang saku untuk belanja buku. Buku-buku yang pernah saya beli di antaranya, karangan Fazlur Rahman, karangan Munawir Sjadzali, karangan Nurcholish Madjid, Wael B. Hallaq, A. Qadri Azizy, Amin Abdullah, dan masih banyak lagi buku-buku lainnya yang berkaitan dengan pembaharuan pemikiran dan pengembangan keilmuan. Harapan saya, dengan membaca buku mereka, keilmuan saya bisa bertambah dan cara berpikir saya bisa tertata secara logis dan sistematis.
Baca juga: Tanda Jejak Buya Syafii
Agar bacaan saya tidak hilang begitu saja, maka ketika mengajukan judul skripsi dengan segala permasalahannya, saya sengaja mengambil tema berkaitan dengan pembaharuan hukum Islam, yakni pembaharuan hukum Islam yang ditawarkan oleh Munawir Sjadzali dengan “Kontekstualisasi Ajaran Islam”-nya. Persoalan ini sangat menantang bagi saya, karena sebagaimana kita ketahui bahwa konsep “Kontekstualisasi Ajaran Islam” yang ditawarkan Munawir menimbulkan pro dan kontra di kalangan ulama ketika itu.
Dalam pikiran saya, jika saya pro terhadap pemikiran Munawir, maka bisa jadi saya telah melawan hukum Allah Swt. yang tertera dalam al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw, sebagaimana tuduhan ulama yang kontra terhadap pemikiran Munawir.
Walaupun kekhawatiran itu tetap ada dalam dada, seorang kawan meyakinkan saya bahwa mengangkat permasalahan “Kontekstualisasi Ajaran Islam”, tidak menjadi persoalan dalam dunia akademik, karena ilmu itu tidak statis tetapi selalu berubah dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, terangnya. Dari motivasi kawan itu, saya berketetapan melanjutkan niat untuk menyelesaikan tugas akhir tersebut.
Dan alhamdulillah tugas akhir itu saya selesaikan dengan baik. Namun, tetap saja kekhawatiran tadi tetap ada dalam dada, karena langkah saya mengamini pemikiran Munawir seakan-akan telah menyalahi ketentuan yang berlaku. Dalam keadaan seperti ini, saya tentu saja membutuhkan bimbingan dan pencerahan bahwa apa yang saya tulis itu biasa saja dalam ranah akademik. Harapan saya, para penulis yang saya miliki bukunya tersebut, pada suatu saat nanti, dapat mengajar dan memberikan pencerahan pada diri saya.
Ketika melanjutkan kuliah di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 1998-2001, saya banyak berharap dapat meraih ilmu sebanyak-banyaknya sehingga cara pandang saya terhadap ilmu pengetahuan bisa berubah. Dalam buku panduan itu, saya lihat beberapa profesor dan doktor yang siap menuangkan ilmunya kepada para mahasiswa.
Di antaranya terdapat nama Amin Abdullah, Ph.D. Namun, sayang sekali beliau tidak mengajar kelas saya. Saya hanya mendengar cerita kawan-kawan kelas pemikiran yang diajar oleh beliau bahwa mereka begitu terkagum-kagum dengan sosok Prof Amin Abdullah. Menurut mereka, materi yang disampaikan oleh Prof Amin membuka cakrawala keilmuan mereka.
Setiap mereka keluar kelas, selalu saja ada istilah-istilah baru yang mereka ungkapkan untuk menandai sikap atau cara berfikir seseorang atau kelompok tertentu. Saya melihat mereka benar-benar mendapatkan pencerahan setelah mengikuti kelas Prof Amin.
Di situ nampak ada ilmu yang mereka dapatkan sehingga merubah cara pandang mereka terhadap ilmu pengetahuan. Nah, inilah sebenarnya yang saya inginkan. Namun sayangnya, saya belum diberi kesempatan untuk mengikuti kelas beliau. Saya berharap suatu saat, keinginan itu akan terwujud.
Setelah lima belas tahun berselang, ketika saya diterima sebagai salah satu peserta program S3 UIN Sunan Ampel Surabaya, Prodi Dirasah Islamiyah, salah satu dosennya adalah Prof Amin Abdullah. Berdasarkan cerita kawan-kawan, beliau adalah dosen favorit seluruh mahasiswa.
Baca juga: Perempuan yang Menyuluh Obor: Tribute untuk Atun Wardatun
Walaupun tugas yang diberikan terasa sangat berat, namun pengaruh dari pembuatan tugas itu sangat terasa bagi para mahasiswa. Oleh karenanya, saya merasa senang, karena sejak dulu saya mengharapkan pertemuan semacam ini terwujud.
Di hadapan saya dan kawan-kawan kelas, beliau berdiri menjelaskan ilmu pengetahuan yang sedari dulu saya damba. Benar apa yang saya persepsikan dulu bahwa beliau dapat dengan mudah menggiring pola pikir mahasiswa yang masih berpikir tekstualis dan hitam putih hanya berlandaskan teks ke arah pola pikir kontekstual.
Meminjam istilah Muhammad Abid al-Jabiri, meninggalkan pola pikir bayani menuju pola pikir irfani dan burhani. Prof Amin sering menyebutnya dengan pola pikir madhhabiyyah, thoifiyyah, ulumuddin (tekstual) berubah menuju pola al-fikrul Islami dan Islamic studies (teks dan konteks).
Hal Ini bisa diwujudkan dengan cara banyak menelaah dan banyak membaca buku, tidak hanya berkaitan dengan ilmu agama tapi juga ilmu umum, sehingga memiliki ilmu yang bersifat integratif-interkonektif. Kemudian ilmu yang dimiliki, tidak boleh disimpan sendiri tapi harus di-share kepada orang lain dengan cara menuliskannya melalui buku, jurnal ataupun media online sehingga ilmu itu mempunyai nilai manfaat.
Ketika pertama kali masuk kelas, beliau berkenalan dengan kami satu persatu, dan menanyakan apa yang ingin kami peroleh dengan mengikuti mata kuliah Metodologi Studi Islam ini. Kami diberi kesempatan satu persatu untuk menjawabnya. Jawaban kawan-kawan sangat beragam sesuai dengan apa yang dipikirkan.
Ada yang menginginkan setelah mengikuti perkuliahan ini tidak lagi berpikir mazhhabiyyah, ada yang ingin mengetahui pendekatan kajian Islam yang multidimensi, ada yang menginginkan ada dialog antara pendekatan madhhabi dan madhhab mutlak, dan bahkan ada yang ingin menjadi mujtahid mutlak sebagaimana yang disematkan kepada Pak Amin sendiri. Pada intinya, semua kawan dan saya pribadi menghendaki agar ada perubahan mindset dalam mengkaji ajaran Islam.
Setelah mendengarkan semua curhatan kawan-kawan kelas, Pak Amin tertarik dengan lontaran seorang kawan “ingin menjadi mujtahid mutlak”. Menurut beliau, memang di program S3 ini seharusnya mencetak mahasiswa menjadi mujtahid mutlak.
Artinya mahasiswa tidak lagi berpikir bayani, thaifiyyah, mazhabiyyah, ulumuddin tapi harus merubah cara pandangnya ke arah burhani, dan Islamic studies. Cara pandang bayani yang hanya mengandalkan teks saja, saat ini ditemukan banyak kelemahannya dalam mengurai masalah kontemporer yang begitu kompleks, hanya cara pandang baru ini yang dianggap mampu menjawab problem kontemporer.
Baca juga: Kang Faqih; Feminis Laki-Laki di Indonesia
Menurut Prof Amin, paling tidak ada dua kelemahan paradigma bayani: Pertama, paradigma bayani kurang memiliki pijakan realitas historis, sosiologis dan antropologis sehingga menimbulkan kesenjangan antara teori dan praktik. Sebagai contoh, banyak hukum fikih yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman tapi tetap saja diajarkan kepada generasi muda.
Kedua, paradigma bayani kurang mampu mengapresiasi perkembangan keilmuan yang berlangsung secara cepat. Perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, belum lagi sains dan teknologi, akan sulit direspon oleh paradigma bayani. Akibatnya kajian keislaman akan stagnan karena tidak mau beranjak dari posisi yang mapan semenjak berabad-abad lampau.
Oleh karenanya, kajian keislaman saat ini dan seterusnya memerlukan pendekatan baru bersifat saintifik yang secara serius melibatkan berbagai pendekatan. Dari situ, muncullah pemikir-pemikir kontemporer yang menawarkan berbagai macam pendekatan baru untuk merespon persoalan kontemporer dimaksud. Misalnya Fazlur Rahman dengan teori double movement-nya, Syahrur dengan teori batas-nya, Muhammad Abed al-Jabiri dengan kritik nalar Arab-nya, Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori makna (dalalah) dan signifikansi (magza)-nya.
Arkoun dengan taqdisul afkar al-diniyyah (pendekatan dekonstruksi dan historis), Amina Wadud dengan tafsir tauhid-nya, Jasser Audah dengan teori maslahah model baru-nya dan masih banyak lagi teori pemikir kontemporer lainnya. Mereka semua berusaha mendialogkan antara turast (khazanah warisan intelektual Islam) dengan hadathah (pengaruh modernitas).
Secara umum, materi yang hendak disampaikan oleh Prof Amin dalam mata kuliah Metodologi Studi Islam (MSI) ini, sesuai dengan silabus yang dibagikan, paling tidak mencakup tiga poin penting meliputi; Pertama, basis filosofis (falsafah keilmuan). Pada bagian ini, mengkaji cara pandang dua orang filosof, Charles Sander Peirce tentang the progress of science dan Abid al-Jabiri mengenai kritik nalar Arab.
Kedua, basis pendekatan dan metodologis (Approaches and Methods). Pada bagian ini, ada banyak pemikiran tokoh yang disajikan seperti pemikiran Charles J. Adam, Richar C. Martin, Kim Knott, Ibrahim Abu Rabi’, M. Arkoun, Abdullah Saeed, Khaled Abou El-Fadl, Mashood A. Baderin, Fathi Osman, Roel Meijer, Omit Safi, M. Talbi, dan Jasser Audah.
Ketiga, penerapan pendekatan dan metode tersebut dalam studi Islam (Dirasah Islamiyyah/Islamic Studies) seperti yang tertera dalam pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dan Amina Wadud mengenai ayat-ayat gender mainstreming, Jasser Audah dengan teori maslahah-nya dan seterusnya.[]
Ilustrasi: Klikmu.co
Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Mataram dan Pengkaji Islam dan Budaya Lokal.