Sudah terlalu banyak obituari yang tertulis untuk mengenang Buya. Mungkin catatan ini hanya sebagai “coret-coret di halaman belakang buku” saja. Soal pertemuan saya dengan Buya. Hanya bertemu saja. Tidak ada obrolan dan sapa-menyapa, tapi ‘energi’ itu bisa dilihat dari dekat.
Tepat seminggu lalu, Buya Syafii Maarif meninggalkan kita semua. Semua orang berduka. Lebih lagi warga Muhammadiyah, murid, kolega, dan mungkin pembaca setia tulisan-tulisan Buya. Mata air keteladanannya tidak kering. Semakin memasuki usia senjanya, Buya semakin menunjukkan tugas lain dari seorang ululalbab. Ya, keteladan dan keberpihakannya dalam soal-soal kemanusiaan dan perdamaian.
Untuk yang terakhir ini, tiga tahun yang lalu beredar wacana Muhammadiyah-NU untuk diusulkan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) mendapat penghargaan nobel perdamaian. Saya pertama kali mengetahui berita tersebut dari opini seorang akademisi (lupa namanya) yang menulis di koran Kedaulatan Rakyat.
Dalam tulisannya, ia sedikit pesimis soal nobel perdamaian tersebut bisa diberikan kepada Muhammadiyah-NU. Akademisi tersebut berargumen bahwa dalam sejarah penghargaan nobel, jarang sekali lembaga/organisasi/LSM di wilayah ASEAN yang bisa mendapat penghargaan tersebut. Kebanyakan hanya diterima individu.
Kemudian dalam konteks Indonesia, belum ada satu pun yang pernah mendapat penghargaan tersebut. Entah individu maupun secara kelembagaan. Indonesia banyak mengusulkan nama-nama, tapi masih nihil. Beberapa tokoh Indonesia yang pernah diusulkan menerima penghargaan prestisius tersebut: Gus Dur untuk nobel perdamaian, Pramoedya Ananta Toer untuk nobel sastra, hingga yang teranyar Denny JA untuk nobel sastra lewat puisi esai-nya.
Baca juga: Tanda Jejak Buya Syafii
Saya tak ambil pusing dengan argumen tersebut. Wal hasil, fliyer untuk kegiatan seminar pengusulan nobel perdamaian Muhammadiyah-NU oleh UGM tersebar luas. Kegiatan akbar tersebut dihelat di kampus UGM. Banyak pembicara yang hadir, utamanya yang punya konsen untuk perdamaian. Azyumardi Azra, Jose Ramos Horta, Yahya Cholil Staquf, dan tentu Buya Syafii Maarif sendiri.
Kegiatan tersebut tepat pada hari Jumat. Karena jarak antara gedung kegiatan dan masjid cukup jauh, akhirnya panitia membuat ‘masjid dadakan’. Disediakan mimbar untuk khatib. Kebetulan Gus Yahya Cholil Staquf yang saat itu masih menjadi Katib Aam PBNU naik mimbar. Saya ingat persis, khutbahnya tentang pentingnya perdamaian.
Saya di belakang khusyuk mendengar. Biasanya saat khutbah Jumat adalah saat-saat membosankan. Tapi tidak untuk hari itu. Semua orang diam. Orang-orang di sekeliling saya juga diam-diam saja. Nggak ada yang berani bikin ulah, gatal atau garuk-garuk dan semacamnya. Maklum, di sekeliling itu adalah ‘tokoh-tokoh’ semua, termasuk Buya sendiri yang duduk pakai kursi.
Jelas, saya harus kelihatan kalem dan tenang juga, walau kantuk melanda agar tidak menganggu jemaah lain yang khusyuk mendengar khutbah Jumat tersebut. Saya lihat Buya tidak bergerak sedikitpun. Tenang, duduk di atas kursinya. Mungkin sibuk dengan wirid-nya. Buya memang terkenal seorang ‘pendiam’. Tak banyak grusa-grusu walau dalam hatinya ia sedang ‘gelisah’.
Saya melihatnya hanya berdiam diri. Sehabis salat saya menyalaminya, langsung pergi, berjubel orang datang bersalaman dan minta foto bersama dengan Buya. Saya urung, perut sudah keroncogan.
Kita tahu semua, bahwa nobel perdamaian tersebut memang gagal diraih oleh Muhammadiyah-NU, seperti pesimisme seorang akademisi tadi. Gelindingan wacana tersebut juga masih hangat diperbincangkan. Wacana untuk kembali mengusulkan Muhammadiyah-NU untuk nobel perdamaian juga banyak diinisiasi oleh beberapa kalangan.
Baca juga: Mengenang Dawam Rahardjo: Dari Buku hingga Polemik-Polemiknya
Mungkin saja, kalau sampai waktunya, penghargaan tersebut juga akan mendarat di Indonesia. Untuk yang pertama bagi Indonesia dan pertemuan itu juga untuk yang pertama bagi saya merasakan salat Jumat di samping Buya. Sekarang tidak mungkin lagi mengulangi salat Jumat itu.
****
Buya Syafii jugalah yang paling kalem di antara tiga pendekar Chicago – meminjam istilah Gus Dur – . Cak Nur, sebelum berangkat ke Chicago pun membuat gempar dan berpolemik untuk ide ‘sekuler’-nya, apalagi setelah ia pulang. Jika Cak Nur dalam ranah keagamaan, lain halnya dengan Amien Rais yang sering buat ‘ulah’ dalam kehidupan politik dengan manuver-manuver dan kritiknya yang tajam.
Yang menarik, walau sama-sama di Chicago dan Muhammadiyah, Buya Syafii tidak serta merta mengikuti jalan politik Amien Rais. Bahkan ia kritik dan cenderung ‘sinis” dengan jalan politik, Amien Rais. Seperti yang diungkap dalam wawancaranya dalam Suara Hidayatullah edisi September 1998.
Memang, praktis Buya Syafii-lah yang agak diam-diam bae di antara ketiganya. Walau dalam kasus Ahok kemarin, Buya muncul ke permukaan dan menjadi pembela Ahok. Di sinilah bukti, bahwa dalam diamnya, Buya adalah orang yang gelisah. Gelisah karena melihat demokrasi dibajak oleh ‘preman berjubah’- seperti yang sering disampaikannya.
Mungkin Buya Syafii memang ditakdirkan untuk menjadi jembatan (baca: penghubung). Titik temu antara dua titik ekstrim. Seorang yang menjadi jembatan memang tak terlalu menonjol, tapi kontribusinya nyata. Tak banyak bicara, tapi sekali ia bicara solusi yang ia berikan. Tidak terlalu disorot, tapi keberadaanya sarat nilai. Buya Syafii membuktikan hal itu dengan praksis aktivitasnya. Tindakannya untuk membela kaum minoritas, mustadafin, dan mereka yang membutuhkan patut kita teladani.
Susah memang mengikuti jalan sunyi seperti Buya, di tengah godaan dan kanal-kanal yang memudahkan eksistensi kita ter-upload. Semua ingin menjadi yang di depan dan terlihat walau sedikit kontribusi. Siapkah Anda menjadi jembatan atau hanya menjadi rombongan yang melewati jembatan itu?
Ilustrasi: facebook Jumaldi Alfi
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe