“SIAPA yang bisa memberi saya uang sebanyak itu. Biar seribu kali sembahyang uang yang 25 milliar itu tidak akan datang, makanya jangan asal ngomong saja. Ada pemimpin Islam yang mengatakan buat apa judi, cukup melaksanakan pembangunan dengan uang zakat saja. Dari zakat hanya diterima Rp 75 juta setahunnya, itu pun berkat dorongan Pemda. Oleh karena itu, Pemda tidak akan menutup judi dan casino di DKI Jakarta” (Harian Abadi, 25 April 1973, hlm 1, kolom 1-5).
Demikian jawaban Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin terhadap kecaman sejumlah tokoh Islam atas pungutan pajak judi di Ibukota awal 1970-an. Ali Sadikin adalah legenda bagi warga DKI Jakarta hingga kini bahkan akan selalu dikenang sepanjang masa. Ia fenomenal, tidak hanya sikap tegasnya tapi juga nyentrik.
Berlatar belakang militer (AL) gaya kepemimpinan Bang Ali seolah merangkum tiga hal sekaligus: prestasi, kontroversi dan simpati. Tiga “hukum sejarah” yang membuat seorang pemimpin populer dan jadi perbincangan, termasuk soal pajak perjudian tersebut.
Bang Ali tidak hanya meninggalkan banyak legacy monumental selama memimpin Jakarta, tapi juga sikap politiknya mengejutkan. Katakanlah keberaniannya “mengakomodir” bahkan “menyantuni” LBH Jakarta pimpinan Adnan Buyung Nasution yang sering mengkritik kebijakannya melakukan banyak penggusuran pemukiman warga di awal pembangunan Jakarta.
Baca juga: Islam, Ideologi dan Tafsir Kesetaraan Pancasila
Langkah politik fenomenal lainnya adalah ketika dia, setelah tidak menjabat gubernur DKI Jakarta, bergabung dengan kelompok “Petisi 50”, yakni kumpulan tokoh yang kritis terhadap rezim Orde Baru karena dianggap menyimpang dari komitmen “melaksanakan pembangunan maupun mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen”.
Secara politik, paradigma pembangunan Orde Baru merupakan antitesis atau sebagai bentuk koreksi total terhadap paradigma Orde Lama. Setelah melewati periode eksperimentasi demokrasi yang melelahkan sepanjang Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, rezim Soeharto memantapkan diri fokus pada pembangunan ekonomi dan stabilitas politik. Terjadi peralihan bahkan pembalikkan: dari politik sebagai panglima menjadi ekonomi sebagai panglima.
Karena itu, di awal pembangunannya Orde Baru membutuhkan dana cukup besar untuk membangun infrastruktur dan ekonomi yang nyaris terbengkalai terutama selama periode Demokrasi Liberal. Di masa tersebut ekonomi terpuruk yang ditandai dengan tingkat inflasi terjun bebas. Untuk menutupi kebutuhan pembangunan ekonomi, Orde Baru tidak hanya mengundang investasi asing tapi juga memaksimalkan sumber-sumber pendapatan dalam negeri. Salah satunya pajak judi dan kasino di Jakarta tersebut.
Pengalaman Orde Baru
Dalam bukunya—yang berasal dari tesis S2 di Fisipol UGM—Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Gema Insani Press, 1996, hlm 26-27) Abdul Aziz Thaba membagi hubungan Islam dan Orde Baru dalam tiga periode.
Pertama, periode antagonistik (1967-1982) ditandai dengan posisi hegemoni negara dan Islam berada di pinggiran. Dalam periode ini, pola hubungan Islam dan negara berlawanan dan konflik. Antara lain kemenangan mutlak Golkar pada Pemilu 1971 hingga Pemilu berikutnya sehingga membuat pemerintah Orde Baru leluasa melakukan penataan kelembagaan politik seperti fusi partai politik pada tahun 1973.
Pemerintah melakukan sekularisasi politik secara simbolik dan formal. Lahirlah istilah Islamofobia. Pada periode ini muncul beberapa isu krusial seperti RUU Perkawinan, masalah perjudian, larangan pemakaian jilbab di sekolah, penghapusan libur Ramadan, sensor khutbah Idulfitri dan Iduladha, aliran kepercayaan, gagasan P-4 dan lainnya. Konfrontasi, ketidakpuasan dan protes sebagian umat Islam diwujudkan seperti Gerakan Komando Jihad, pembajakan pesawat Garuda Woyla, kasus Lampung dan Gerakan Teror Warman.
Baca juga: Islam: Antara Universalitas dan Partikularitas
Kedua, resiprokal kritis (1982-1985). Pada masa ini meski masih bersifat antagonistik tapi kedua pihak secara perlahan mulai mengurai sikap saling curiga. Keduanya saling memahami posisi masing-masing. Negara melihat, sebagai mayoritas umat Islam adalah potensi dan penentu keberhasilan pembangunan. Sebaliknya, kalangan Islam juga tidak lagi melihat negara secara konfrontatif. Meski sempat muncul ketegangan melalui test case pemerintah asas tunggal Pancasila, tapi kemudian gejolak tidak terlalu menonjol.
Ketiga, akomodatif (1985-1994) yakni mulai saling mengisi dan mengurangi hubungan yang bersifat antagonistik dan konfrontatif. Ini ditandai dengan beberapa kebijakan Orde Baru yang dianggap menguntungkan atau berpihak kepada umat Islam seperti UU Pendidikan No. 2/1989, UU Peradilan Agama, SKB Pendayagunaan Zakat, Pengizinan pemakaian jilbab di sekolah, pembentukan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, pendirian Bank Muamalat, pencabutan SIUPP tabloid “Monitor” (yang dianggap menghina Nabi Muhammad), pengiriman 1.000 dai ke daerah transmigrasi, pendirian ICMI, masuknya sejumlah tokoh Islam di MPR dan lainnya.
Anies versus PA 212
Ketika Persaudaraan Alumni 212 mempersoalkan sponsor miras dalam perhelatan Formula-E di Jakarta pada 4 Juni 2022 ini, maka ingatan saya langsung tertuju pada pernyataan keras Ali Sadikin di atas. PA 212 menyampaikan protes kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan karena ajang balapan otomotif itu ikut disponsori oleh Heineken, merek produk bir asal Belanda.
Bagi mereka, hal tersebut mencederai nilai-nilai Islam yang mengharamkan minuman keras (miras), juga melukai perasaan umat Islam yang mendukung kemenangan Anies-Sandi. Anies memang digambarkan sebagai gubernur pilihan umat dan karenanya harus menolak setiap “kemungkaran”. Meski panitia penyelenggara berkilah bahwa sponsor bir tersebut bersifat global, namun pihak PA 212 tetap menyayangkan hal tersebut. Seharusnya hal itu sudah bisa diantisipasi sejak awal. Mereka bahkan mengancam mencabut dukungan pada Anies pada Pilpres 2024 mendatang.
Protes dan kekecewaan tersebut dapat dipahami, sebab PA 212 adalah salah satu sponsor politik penting yang mengantarkan Anies ke kursi DKI Jakarta 1. Kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu berlangsung dramatis dan penuh prahara. Rivalitas politik yang tajam maupun politik identitas yang membara mengakibatkan masyarakat terbelah.
Pertarungan politik itu tidak hanya menguras energi dan emosi warga Jakarta, tapi juga seluruh Indonesia karena disimplifikasi seolah menjadi pertarungan politik dua kubu secara head to head: kubu Islam (Anies Baswedan-Sandiaga Uno) dan kubu nasionalis-sekular (Basuki Tjahaya Purnama/Ahok-Djarot Saiful Hidayat). Aneka narasi pengkafiran pun menyeruak selama kontestasi ini, apalagi Ahok tampil dengan dua identitas minoritas: keturunan Tionghoa dan nonmuslim (Kristen), terlebih lagi dengan gaya komunikasi politik Ahok yang blak-blakan.
Puncaknya ketika Ahok mengalami insiden “keseleo lidah”. Pernyataannya soal “ditipu surat al-Maidah” itu. Ahok dituduh melakukan penistaan terhadap Islam hingga menyebabkan gelombang aksi demonstrasi massal berjilid-jilid di Indonesia—yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya PA 212. Setelah kalah dalam Pilkada DKI Jakarta pada putaran kedua, akhirnya Ahok divonis bersalah dan dihukum penjara oleh pengadilan.
Tiga Paradigma Relasi Islam dan Negara
Protes PA 212 terhadap Anies soal sponsor bir dalam Formula E di atas, mau tidak mau membawa perbincangan tentang tiga paradigma relasi agama dan negara dalam Islam (Mohammad Subkhan, 2008: 257-259).
Pertama, paradigma integralistik (integrated paradigm) yakni agama dan negara menyatu (integrated). Wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan. Oleh karenanya, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi” (divine soveregnity) karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di tangan Tuhan.
Baca juga: Swing Voters dalam Islam
Paradigma ini dianut kelompok syiah yang mengganti paham negara dengan sebutan “imamah” dan negara dipandang bersifat teokrasi. Negara teokrasi mengandung pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu tuhan: “syariah”. Sebagian kalangan sunni konservatif (fundamentalis) juga mempunyai pendapat yang sama mengenai integrasi agama dan negara. Dengan demikian, dalam perspektif integralistik, pemberlakuan dan penerapan hukum Islam sebagai hukum positif negara adalah hal yang niscaya. Abu A’la al-Maududi adalah salah satu pendukung negara ini.
Kedua, paradigma simbiotik (symbiotic paradigm) agama dan negara menurut paradigma ini berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal-balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dengan agama, negara dapat berkembang dengan bimbingan etika dan moral-spiritual. Salah satu pendukung teori ini adalah al-Mawardi, seorang teoritikus politik Islam terkemuka.
Dalam karyanya al-Ahkam al-Sulthaniyah, ia menyatakan bahwa “kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia”. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara simbolik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Dalam kerangka simbiotik ini, Ibnu Taimiyah pun menganggap bahwa penegakkan negara merupakan tugas suci yang dituntut oleh agama sebagai salah satu perangkat untuk mendekatkan manusia kepada Allah. Dalam konsep ini, syariah (hukum Islam) menduduki posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Demikian juga negara, mempunyai peranan yang besar untuk menegakkan hukum Islam dalam porsinya yang besar.
Dengan demikian, dalam paradigma simbiotik ini masih tampak adanya kehendak “mengistimewakan” penganut agama mayoritas untuk memberlakuan hukum-hukum agamanya di bawah legitimasi negara. Paling tidak, karena sifatnya yang simbiotik, hukum-hukum agama masih mempunyai peluang tertentu untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak tertutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara. Hal ini dapat saja terjadi karena sifat simbiotik antara agama dan negara mempunyai tingkat kualitas yang berbeda.
Ketiga, paradigma sekularistik (secularistic paradigm), paradigma ini menolak kedua paradigma di atas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Pencetus paradigma sekularistik adalah Ali Abdul al-Raziq, seorang cendekiawan muslim asal Mesir. Al-Raziq menyatakan bahwa Islam hanya sekadar agama dan tidak mencakup urusan negara. Islam tidak mempunyai kaitan dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, kekhalifahan termasuk kekhalifahan khulafaurasyidin, bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, namun sebuah sistem yang manusiawi.
Menurut al-Raziq, Nabi Muhammad saw adalah semata-mata utusan Allah untuk mendakwahkan agama murni tanpa bermaksud untuk mendirikan negara. Nabi tidak mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Dia adalah nabi semata sebagaimana halnya nabi-nabi sebelumnya. Dia bukan raja, bukan pendiri negara dan tidak pula mengajak untuk mendirikan kerajaan duniawi.
Al-Raziq (dalam Syamsuddin, 1993) juga berpendapat bahwa Islam tidak memiliki kaitan apa pun dengan sistem pemerintahan karena tidak terdapat dasar-dasar yang jelas dan eksplisit dalam al-Qur’an dan hadis yang mengatur hal tersebut. Ali Abdul Raziq menolak keras anggapan bahwa Nabi saw mendirikan ‘negara’ di Madinah maupun posisi Nabi sebagai kepala negara. Bagi dia, persoalan pemerintahan adalah murni persoalan duniawi, dan karenanya Nabi pun hanyalah seorang utusan Tuhan, bukan sebagai kepala negara atau pemimpin politik.
Dalam konteks Indonesia, negara ini tampaknya menganut paradigma kedua, simbiotik, yakni negara dan agama berada dalam posisi seimbang. Secara teoretis hal ini terlihat mudah, tapi dalam praksisnya kerap menimbulkan ketegangan doktrinal dan konseptual. Terjadi dilema etis antara menyeimbangkan porsi negara dan agama sebagaimana kasus DKI Jakarta di bawah Ali Sadikin maupun Anies Baswedan.
Baca juga: Menilik Narasi Gerakan Politik Islam Indonesia
Tetapi dalam konteks kemenangan Anies dalam Pilkada DKI Jakarta lalu, terlihat bahwa betapa riskannya menggunakan sentimen agama—tepatnya narasi, nilai-nilai, dan norma agama tertentu—hanya sekadar untuk mendapatkan efek elektoral. Meski awalnya aliansi kelompok agama dan politisi terlihat mesra, tapi sejatinya problematik. Hal tersebut akan menyandera dan mengancam demokrasi. Bagi negara majemuk seperti Indonesia, memainkan sentimen agama seperti itu akan mengganggu sendi-sendi kebangsaan.
Oleh karena itu, dalam kontestasi politik, sebaiknya politisi menggunakan narasi kebangsaan yang lebih netral daripada penggunaan sentimen dan narasi agama yang bukan hanya membuat politisi terjebak dengan janji politik yang diucapkan, melainkan juga berpotensi mengancam masa depan demokrasi. []
Ilustrasi: kabnews.com
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.