NILAI kesempurnaan dari beragama bukan pada mengilmui dan memahami, akan tetapi di samping mengilmui dan memahami, yang paling utama harus nampak dalam perilaku. Dan untuk mencapai kesempurnaan pemahaman agama, yang diwujudkan dalam bentuk terampil melaksanakan syariatnya, tentunya memerlukan waktu yang tidak singkat.
Kesempurnaan pemahaman agama itu akan dapat diraih, sangat bergantung dari kualitas dan mutu didikan dan asuhan dalam keluarga. Penanaman pendidikan dan pengasuhan yang baik tentunya dimulai sedini mungkin—semenjak anak-anak masih kecil, diajari, dan dibiasakan dengan tradisi agama, diperdengarkan kalimat-kalimat tayyibah, diberikan contoh dan teladan dalam setiap tindakan dan sikap hidup, sehingga pada akhirnya pengetahuan dan penghayatannya terhadap agama akan dirasakan, diresapi, dan akan mewarnai hidupnya.
Baca juga: Cemburu; Jembatan Menuju Kesempurnaan
Ada satu kejadian mulia dari perilaku seorang anak kecil dari putra Al Fudhail bin Iyyad, seorang ulama hadis di negeri Kufah, perilaku seorang anak yang mencerminkan kedalaman pemahaman agama. Sekilas perilaku anak tersebut terlihat aneh dan jorok, tetapi sangat indah untuk direnungkan dan sangat menarik untuk dikisahkan.
Suatu saat Al Fudhail bin Iyyad berjualan di pasar, dia menyaksikan perilaku anaknya mengusap piring timbangan dengan ujung bajunya, lalu sang ulama bertanya kepada putranya, mengapa kau melakukan itu wahai anakku? Maka si anak yang saleh itu menjawab, supaya saya tidak menimbang debu jalanan untuk kaum muslimin.
Mendengar jawaban putra kesayangannya, Al Fudhail menangis sambil berkata, wahai anakku, sesungguhnya perbuatanmu ini bagiku lebih bagus dari dua haji dan dua puluh umrah.
Kisah singkat di atas mengandung pelajaran yang amat berharga bagi kita yang berkenan mengambil pelajaran. Pelajaran apa yang dapat kita petik dari kisah yang indah dan mulia ini?
Kisah singkat di atas menggambarkan betapa keluarga Al Fudhail telah mencapai kesempurnaan puncak dari pemahaman beragama, agama tidak saja diilmuinya tetapi telah menjadi urat nadi yang menggerakkan saraf dan sendi-sendi di dalam tubuh keluarga Al Fudhail, sehingga praktik kebenaran agama dilakukan secara otomatis, tidak tergantung pada situasi dan kondisi.
Kesempurnaan pemahaman agama pada keluarga Al Fudhail nampak dari praktik kebenaran yang ia lakukan, jangankan sengaja mengurangi timbangan atau sengaja merusak keakuratan alat timbangnya, serpihan debu saja tidak diberikan menempel pada piringan timbangan yang menyebabkan kurangnya berat benda dari angka yang tertera dalam timbangan.
Baca juga: Berkurban, Menuju Kesempurnaan Pendekatan Kepada Tuhan
Kejadian indah yang dipraktikkan oleh putra Al Fudhail, sungguh sangat berbeda dengan kenyataan yang kita saksikan di pasar-pasar saat ini. Hampir semua alat timbangan telah sengaja dirusak untuk meraup keuntungan yang lebih besar—keuntungan yang didapat dari ketidakjururan.
Tidak demikian dengan keluarga Al Fudhail, mereka telah menyadari dan memahami dengan mendalam, bahwa kecurangan dalam timbangan sungguh hal yang tidak disukai Tuhan, sehingga kehati-hatian dalam menimbang menjadi hal penting untuk diperhatikan, sebab ceroboh dan curang dalam menimbang sama artinya meretas jalan yang mengantarkannya menjadi orang yang celaka.
“wailul lil-muṭaffifīn, allażīna iżaktālụ ‘alan-nāsi yastaufụn, wa iżā kālụhum aw wazanụhum yukhsirụn”. Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. (QS. al Muthaffifin ayat 1-3).
Praktik putra Al Fudhail dalam kisah di atas adalah praktik kejujuran yang menjadi penciri dari perilaku dan sikap hidup keluarga yang mencapai kesempurnaan beragama. Nampak dari aksi mengusap piring timbangan menjadi cerita yang tak terbantahkan bahwa dalam keluarga Al Fudhail telah memiliki kebiasaan jujur.
Kemudian haji dan umrah dijadikan ukuran kesempurnaan beragama dalam dialog Al Fudhail dengan putranya, yang membanding perilaku terpuji sang anak dengan bandingan yang lebih baik dari dua haji dan dua puluh umrah. Bisa jadi dikarenakan kesempurnaan perilaku beragama sang anak, seharusnya dicapai pula oleh alumni haji dan umrah, karena orang yang telah melakukan haji dan umrah berarti telah menyempurnakan pelaksanaan dari semua rukun Islam.
Baca juga: Bertaqwalah Semampumu
Dalam kisah Al Fudhail di atas, membandingkan perilaku putranya dengan amalan haji dan umrah adalah simbol bahwa haji dan umrah itu bukan terletak pada asesoris pakaian yang dikenakannya, akan tetapi pada bentuk perubahan sikap dan praktik beragama yang lebih baik dan lebih sadar pasca melakukan prosesi ibadah haji dan umrah.
Bercermin dari perilaku putra Al Fudhail yang lugu, jujur, dan apa adanya dalam praktik beragama, sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga, tidak saja dalam kaitannya dengan timbangan, tetapi dalam semua hal dalam hidup kita. Mestinya, mutiara-mutiara indah dalam ajaran agama, teraplikasi secara otomaticle pada setiap situasi dan kondisi (bahasa Nabi; haisuma kunta), karena agama bukan hanya di lisan, bukan pula pada fisik, dan bukan juga hanya di dalam pikiran dan hati, tetapi seharusnya mengalir dalam darah, sendi-sendi, dan urat nadi pemeluknya.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Alhamdulillah….
Muhasabah diri # untuk senntiasa jujur dalam segala hal di hidup kita
Semoga kedepannya kami selalu bisa berbenah untuk bersikap dan praktik agama yg lbh baik lagi…aamiin
Terima kasih ayahanda selalu mengingatkan kami melalui tulisan2 indahnya…..sehat selalu penuh berkah bersama keluarga…aamiin aamiin Allahumma aamiiin 🤲🤍🤍