Potensi Kekerasan yang Bernama Kelembutan

KEKERASAN yang paling keras adalah kelembutan itu sendiri. Kalimat ini sepintas lalu mungkin sulit dipahami, namun ketika dimaknai lebih dalam dan menyempatkan menggunakan kejernihan pikiran dan hati, maka kita akan bertemu dengan sebuah hikmah yang luar biasa.

Lebih mudahnya begini, kekerasan sejati adalah kelembutan itu sendiri. Sebab tatkala kita sudah mampu mengambil hati seseorang, di sanalah sesungguhnya praktik kekerasan yang sejati itu menemukan persemaiannya.

Anak-anak muda yang berhasil menaklukkan calon pasangan hidupnya sehingga pasangan hidup itu menyerahkan segenap jiwa raganya adalah bukti sahih bahwa sedang terjadi kekerasan di sana. Ya, kekerasan dengan jenis kelembutan. Aneh kan?

Sama seperti kisah seorang Pangeran di sebuah kerajaan yang terletak di bawah kaki bukit Himalaya. Sang Raja memutuskan untuk membangun sebuah tembok besar yang mengelilingi istananya dengan harap agar putranya tidak tahu-menahu tentang dunia luar. Dan sejak kecil, kehidupan sang Pangeran selalu terpenuhi, apa yang diinginkannya selalu dikabulkan.

Baca juga: Intelektual Jalan Ketiga dan Kekuasaan

Hingga suatu saat, semua kemewahan itu terasa hambar bagi sang Pangeran. Masalahnya adalah apa pun yang diberikan sang ayah tak pernah berarti apa pun. Menginjak masa remaja, pada suatu malam, Pangeran penasaran dengan apa yang ada di balik tembok besar yang mengelilingi setiap istananya. Kemudian ia menyelinap keluar dan meminta bantuan pelayan—tanpa diketahui ayahnya—untuk melihat apa yang ada di balik tembok besar itu.

Dan untuk pertama kalinya, sang Pangeran melihat penderitaan manusia. Ia melihat orang sakit, gelandangan, bahkan orang yang tengah sekarat. Kemudian si Pangeran kembali ke istana dan mendapati dirinya yang tengah berada dalam krisis eksistensial. Yang pada akhirnya membuat si Pangeran ini melepas gelarnya dan memilih keluar dari istana lantas menjadi gelandangan dengan harap menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaannya atas kehidupan.

Justru keanehan ini yang tidak dipahami oleh sebagian dari kita. Kita kelewat keliru dan dangkal memaknai kekerasan. Kekerasan kita artikan cenderung dan identik hanya sebatas pada apa yang memiliki hubungan langsung dengan fisik semata. Padahal tidak, kekerasan itu beraneka ragam sampai pada tataran paling tinggi yang berwujud kelembutan itu sendiri.

Baca Juga  Nakhoda Baru: Spirit Pemajuan Kebudayaan Indonesia

Misalnya dalam gerakan-gerakan dakwah. Gerakan dakwah kontemporer masih banyak yang memilih bahasa kekerasan. Dan pada titik ini, saya berani menyimpulkan bahwa mereka gagal dalam memahami arti sebuah kekerasan.

Saya berani bertaruh, jika mereka tidak gegabah mengecer teriakan “Allahu Akbar!” sembari memegang pentung dan menghajar manusia-manusia yang mereka anggap kafir dan berseberangan dengan paham mereka, maka pasti mereka akan bertemu dengan sebuah hikmah akan arti terminologi kekerasan itu sendiri.

Dakwah mbok ya, dengan cara yang halus-halus saja. Sebab ya itu tadi, kekerasan sejati adalah berwujud kelembutan itu sendiri. Taklukkan hati manusia-manusia yang kau dakwahi, raih simpati mereka. Tidak perlu kau pukuli. Cukup tambahkan saldo-saldo kebaikan pada mereka sehingga kelak kau bisa panen simpati mereka, dan mereka dengan sendirinya tanpa kita suruh akan mengikuti kita. Di sanalah sesungguhnya anatomi kekerasan sedang berjalan.

Jadi, kekerasan itu tidak melulu identik dengan hal-hal negatif dan destruktif. Kekerasan yang bersifat positif-konstruktif pun banyak. Bukankah kita mengenal beberapa gradasi dalam berdakwah di agama kita? Pertama, bil hikmah (dengan memberikan hikmah dan kebijaksanaan). Kedua, bilmauidzah hasanah (memberi wejangan yang halus). Ketiga, jadilhum billati hiya ahsan (berdebatlah dengan tetap menjujung etika dan norma-norma yang baik).

Gradasi dakwah itu bukan main-main. la adalah rute sekaligus tahapan. la juga semacam pedoman. Idealnya gradasi itulah yang harus kita jadikan semacam pendulum dalam berdakwah. Bukan masalah gebuk dan main hantam saja.

Saya sepakat dengan WS. Rendra, penyakit mayoritas dari kita adalah tentu saja termasuk penyakit mayoritas muslim di dunia, yaitu sangat mudah dan terlampau gampang terprovokasi seperti rumput kering yang sangat mudah tersulut api.

Keadaan yang demikian itu, melahirkan tindakan-tindakan yang gegabah, reaksioner, sekaligus ceroboh. Kita selalu  menganggap bahwa mereka yang berbeda dengan pemahaman kita adalah musuh. Musuh adalah mereka yang harus diperangi. Sedang memerangi musuh adalah jihad. Begitu kira-kira nalar berpikirnya.

Baca Juga  Menapaki Jalan Keilmuan

Baca juga: Homo Sacer: Moderasi Beragama, Apakah Masih Idealis dan Realistis?

Dengan cara apa jihad itu ditempuh? Serang mereka, perangi mereka, bila perlu ledakkan bom bunuh diri. Mudah bukan?

Prancis adalah bukti sahih bahwa tragedi kemanusiaan bisa terjadi kapan saja, di mana saja, sekaligus menimpa siapa saja. Kelakuan teroris yang selalu menjadikan agama sebagai tedeng aling-aling sampai kapanpun tidak akan perlu dibenarkan.

Mendapati kelakuan mereka yang mendaku beragama namun selalu menebar teror dan memendam semacam kebencian, saya jadi teringat penggalan sajak Joko Pinurbo yang bertajuk ‘Pemeluk Agama’.

Benar kamu pemeluk agama?

Sungguh saya pemeluk agama, Tuhan

Tapi Aku melihat kamu tak pernah memeluk

Kamu malah menyegel, merusak, menjual agama

Teguh si tukang bakso itu malah sudah pandai memeluk

Benar kamu seorang pemeluk?

Sungguh saya belum memeluk, Tuhan

Tuhan memelukku dan berkata

Doamu tak akan cukup

Pergilah dan wartakanlah pelukan-Ku

Agama sedang kedinginan dan kesepian dia merindukan pelukanmu

Sekali lagi, dalam konteks memaknai kekerasan ini, mestinya kita lebih arif dan sedikit bijaksana. Apalagi dalam berdakwah. Kita harus berperilaku lembut. Toh bukankah kalimat paling tengah di dalam deretan mushaf al-Qur’an berbunyi wal-yatalattof yang artinya berlemah lembutlah?

Kelembutan pada banyak hal sesungguhnya sangat efektif ııntuk “mengeraskan”. Soal hal ini tanyakan pada pasangan pengantin baru. Bahwa hanya dengan kelembutan ‘sesuatu’ yang tertidur bisa dibangunkan sekaligus dikeraskan. Itu sunatullah dan hukum alam. Wallahualam.[]

Ilustrasi: CNNIndonesia.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *