Islam dan Refleksi Kesetaraan Gender

SEBAGAI seorang anak desa yang terlahir di ujung timur Pulau Sumbawa. Saya tentu saja terlahir dan besar dalam keluarga muslim, khususnya dalam tradisi nahdiyin (NU). Dan sudah bukan rahasia lagi bahwa dalam tradisi Islam, pemimpin keluarga adalah seorang ayah.

Jadi, terlahir sebagai seorang pria berarti harus mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ayah dan pada saat yang sama, diharapkan menjadi pribadi yang kuat, berani, dan bertanggung jawab dalam memimpin keluarga.

Sebagai seorang muslim, tentu identitas gender yang saya pahami sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam. Dari sudut pandang Islam yang saya pahami dan yang saya lihat dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa peran laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Laki-laki cenderung lebih superior dari perempuan dalam berbagai hal, baik dalam perspektif sosial maupun agama.

Dalam urusan agama, misalnya, perempuan tidak bisa menjadi imam dalam ibadah. Jika ada laki-laki, maka yang menjadi imam  harus laki-laki. Sedangkan dalam konteks sosial, khususnya dalam lingkup keluarga, suami harus menjadi pemimpin dalam rumah tangga sehingga seorang istri dituntut untuk taat dan hormat terhadap suaminya.

Secara tidak langsung, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, mengajarkan saya tentang sistem patriarki di mana laki-laki lebih mendominasi daripada perempuan baik dalam konteks agama maupun kehidupan sosial.

Baca juga: Argumen Kesetaraan Gender Fatima Mernissi

Saya tidak mempermasalahkan konsep dan pembagian peran seperti itu. Saya tidak tahu apa itu gender dan tidak melihat adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam konsep itu. Saya tidak pernah mempersoalkan mengapa pembagian peran harus seperti itu.

Saya menganggap bahwa itu adalah sesuatu yang natural dan alamiah, sebagaimana yang telah ditentukan dalam al-Qur’an dan wahyu Allah dalam ajaran agama yang saya pahami.

Doktrin seperti itu bertahan sampai saya dewasa, bahkan cukup mempengaruhi cara pandang saya terhadap peran laki-laki dan perempuan yang cenderung melihat laki-laki memiliki kuasa atas perempuan.

Tampaknya wajar dan tidak mengejutkan dalam konstruksi narasi agama-agama abrahamik (abrahamic faith) percaya bahwa (Hawa diambil atau tercipta dari tulang rusuk Adam) di mana Hawa (perempuan) hadir dan diciptakan cenderung dipahami sebagai pelengkap eksistensi Adam (laki-laki). Konstruksi pemahaman ini ternyata cukup mempengaruhi pengertian yang lebih luas, yaitu dalam wacana sosial-politik.

Konsekuensi dari konstruksi pemikirin seperti ini adalah terciptanya ketimpangan dalam pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, baik dalam tingkat keluarga maupun dalam konteks yang jauh lebih luas seperti masyarakat dan negara.

Baca Juga  Merayakan Maulid, Merayakan Kemanusiaan

Pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga (yang sering saya lihat) membuat saya memahami peran-peran tersebut adalah sesuatu yang normal dan natural. Di mana seorang ibu harus menjadi ibu rumah tangga yang harus mendidik anak-anaknya.

Perempuan tidak dianjurkan untuk bekerja, berpolitik, dan sebagainya. Sementara seorang ayah harus menjadi pekerja dan penanggung jawab dalam menafkahi keluarganya (istri dan anak-anaknya).

Tidak aneh kalau konsep “laki-laki dan perempuan” di kepala saya sepertinya sudah tertanam dengan kuat, dan tidak pernah mempertanyakan dari mana konsep itu berasal. Bagi saya, pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga adalah suatu hal esensial yang kemudian membangun seluruh pandangan saya tentang peran setiap identitas gender dalam kehidupan sosial.

Misalnya, karena seorang wanita adalah seorang ibu yang melahirkan dan menyusui anaknya, dia adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pendidikan anak, sampai saya berasumsi bahwa karakter seorang anak tergantung pada pola asuh ibunya pada saat dia kecil.

Tidak berhenti di situ, pemahaman ini juga membuat saya percaya bahwa wanita ideal itu adalah wanita yang lembut dalam bersikap dan bertutur kata, atau dalam istilah sehari-hari “keibuan.” Di sinilah kata “keibuan” mendapatkan maknanya, yang selalu dikaitkan dengan gerak tubuh, perilaku, dan ucapan yang harus dimiliki seorang wanita.

Konsep Gender Islam

Lalu, berapa lama konstruksi seperti itu bertahan di kepala saya? Apa yang membuat pemahaman seperti itu lambat laun mulai berubah? Dalam pengalaman pribadi saya, membaca adalah faktor penting dalam mengubah kerangka berfikir saya. Namun anehnya, bukan bacaan saya tentang feminisme Barat yang membuat saya mengkritisi konsep gender seperti itu.

Baca juga: Kang Faqih; Feminis Laki-Laki di Indonesia

Melainkan, didorong oleh beberapa bacaan saya tentang konsep kesetaraan gender yang justru bersumber dari para ilmuwan muslim, terutama dua tokoh perempuan muslim yang berpengaruh dalam teori gender, Amina Wadud dan Saba Mahmood.

Pertama, tentang konsep “tauhid” dalam buku Qur’an and Woman: Rereading Sacred Text from A Woman’s Perspective (1999), di mana Amina Wadud menegaskan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak boleh ada yang merasa memiliki derajat yang lebih tinggi, atau merasa menjadi yang paling baik, mulia, dan berkuasa atas sesuatu yang lain.

Amina Wadud mencoba mengkritik penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bias gender yang melanggengkan subordinasi status perempuan dalam Islam. Bahkan dalam praktiknya, Amina Wadud pernah menjadi imam salat Jum’at sebagai bentuk perlawananya terhadap tradisi Islam yang patriarkat.

Baca Juga  Menelisik Lebih Jauh Makna HAM dalam Islam

Meskipun, tindakan ini cukup melampaui tradisi Islam, tetapi apa yang ingin disampaikan oleh Amina Wadud adalah penafsiran atas ayat-ayat suci tidak dibenarkan untuk mengekslusi eksistensi perempuan sebagai manusia yang memiliki derajat sejajar dengan laki-laki. Saya akui bahwa Amina Wadud sangat cerdas dalam mengkritik ketidakadilan gender dalam tafsiran ayat-ayat al-Qur’an.

Namun, saya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pemikiran Amina Wadud cukup radikal dan kurang tepat dalam melihat posisi dan suara perempuan muslim yang taat yang tidak menuntut “kesetaraan”  dan pembebasan atas keyakinan tradisi dan agama yang mereka anut. Di sinilah kelemahan Amina Wadud.  

Kedua, pemikiran yang jauh lebih “sopan dan lembut” dalam melihat agensi perempuan yang ditulis oleh Saba Mahmood, seorang ilmuwan muslim dengan judul The Politics of Piety: The Islamic revival and the feminist subject (2005) yang justru sebaliknya melihat dan merepresentasikan agensi perempuan tanpa harus menuntut pembebasan atas doktrin dan tradisi agama (meskipun banyak yang melihat pemikiran Saba Mahmood cukup melanggengkan patriarki).

Namun, apa yang ingin disampaikannya adalah konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak boleh melawan dogma agama sebagai sebuah keyakinan. Saba Mahmood menegaskan bahwa konsep “kesetaraan” gender sebagai sebuah konstruksi Barat tidak boleh serta merta mengerdilkan agensi perempuan yang tidak memilih melawan pemahaman agamanya.

Baca juga: Ironi Setetes Mani

Oleh karena itu, saya berkesimpulan bahwa konsep “kesetaraan” gender yang umumnya diperjuangkan untuk menyuarakan dan mengangkat status perempuan dari kungkungan sistem patriarki, ternyata justru mencederai suara-suara dan hak perempuan yang memilih tidak melawan tradisi dan tidak menuntut pembebasan atas tradisi dan keyakinan agama dan budaya yang dianutnya.

Bukan persoalan siapa yang paling banyak berbicara atas nama perempuan, tetapi tentang siapa yang berhak berbicara atas nama perempuan. Saba Mahmood secara eksplisit ingin menyampaikan bahwa yang paling berhak berbicara atas nama perempuan adalah perempuan itu sendiri, di sini akan kelihatan apakah mereka menuntut pembebasan atau mereka justru memiliki agensi yang jauh lebih baik dalam naungan agama yang mereka pahami.[]

Ilustrasi: kabar24.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *