Mengaji Fitua dalam Teks dan Konteks (2)

DI BIMA sendiri, menurut penelusuran Fahru Rizki, tarekat-tarekat yang pernah berkembang di antaranya tarekat Khalwatiyah yang dibawa oleh orang-orang Melayu gelombang II, Dato Maharajalela dengan ritus Hanta Ua Pua.

Tarekat Naqsabandiyah yang dibawa oleh Syaikh Umar al-Bantani pada masa sultan Bima ke-II dengan ritus barzanji, tarekat Rifa’iyah pada masa sultan Abdul Hamid (1773-1817 M), tarekat Samaniyah berkembang pada tahun 1770-an, tarekat Haddadiyah dengan zikir ratib-nya berkembang pada abad ke-19, dan tarekat Satariyah yang dibawa oleh orang-orang Minang.   

Untuk memperjelas tentang pendakwah Islam di tanah Bima, berikut beberapa catatan sejarah yang tersebar dalam beberapa naskah:  

Pertama, Tawalinuddin Haris mengutip catatan perjalanan Heinrich Zollinger, pakar botani dari Swiss yang mengunjungi Sumbawa sekitar 1840-an menjelaskan bahwa Islam di Bima pertama kali datang dari Jawa periode 1450-1540. (Kesultanan Bima Masa Pra Islam sampai Awal Kemerdekaan, 2019).

Pendapat tersebut diperkuat oleh keterangan yang dimuat dalam babad Lombok bahwa pasca Majapahit runtuh tahun 1478 M, Islam masuk ke Lombok dibawa oleh Sunan Prapen, putra susuhunan Gresik. Setelah masyarakat Lombok (Lombok Utara) dapat di-Islam-kan, Sunan Prapen melanjutkan perjalanan ke arah timur untuk mengislamkan masyarakat Sumbawa, Dompu hingga Bima.

Baca juga: Menelisik Jaringan Ulama dan Islamisasi di Indonesia Timur

Peristiwa tersebut terjadi pada abad ke 16 M. Ada yang menyatakan bahwa Islam yang dibawa oleh Sunan Prapen merupakan ajaran Islam tasawuf dan beliau belum sempat menyelesaikan pengajaran syariat Islam hingga tuntas sehingga salat hanya dilaksanakan tiga kali sehari atau lebih dikenal dengan Islam wetu telu yang masih bercampur dengan ajaran animisme dan dinamisme.

Dakwah Islam yang dilakukan oleh Sunan Prapen di Bima itu, hingga kini, belum ditemukan jejaknya untuk dijadikan bukti sahih bahwa beliau pernah menginjakkan kaki di tanah Bima. Hal ini perlu bukti lain untuk menunjang kesahihan informasi tersebut. 

Dua, pendapat lainnya menyebutkan bahwa Jawa Barat sebagai salah satu titik keberangkatan masuknya Islam. Roufaer, misalnya, meyakini bahwa Islam di Bima dibawa dari Cirebon, Aceh, dan Melayu. Peneliti Belanda ini juga menyoroti tingginya penghormatan atas orang-orang Melayu di Bima.

Sebagai contoh, Qadhi Jamaluddin, guru Sultan Abdul Kahir yang berdarah Melayu dikebumikan di samping makam Sultan Abdul Kahir di pekuburan Dana Taraha, Kelurahan Dara. (Kesultanan Bima masa Pra Islam sampai Awal Kemerdekaan, 2019).

Tiga, pada tahun 1511 M, Potugis berhasil menguasai Malaka. Akibatnya, banyak pedagang muslim yang menetap di Malaka menyebar ke Jawa, Bima hingga  Maluku. Di samping berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam di tempat-tempat yang mereka singgahi, termasuk di Bima.

Baca Juga  75 Tahun Merdeka, Petani Masih Terjajah

Keterangan tersebut sesuai dengan catatan penjelajah Portugis, Tome Pires (1540) yang menulis bahwa Jawa dan Bima telah menjadi titik transit pemburu rempah dari Malaka menuju Maluku.

Baca juga: Perdebatan Orang Bima tentang Konsepsi Tuhan dan Lainnya

Empat, sebagaimana dimuat dalam cerita raja-raja Ternate, disebutkan bahwa pada masa Sultan Babullah (1570-1583) berkuasa, kontak Ternate dan Bima dalam mendakwahkan Islam semakin meningkat. Informasi ini diperkuat juga oleh kisah keturunan Syaikh Nurul Mubin Soro Sape atau Ama Bibu.

Moyang Syaikh Nurul Mubin berasal dari tanah Makkah al-Mukarramah, menyebarkan agama Islam di India kemudian pindah ke tanah Minang lalu ke Sulewesi terus ke Maluku dan berakhir di Soro, Sape, Bima. (Syukri Abubakar, Biografi Syaikh Nurul Mubin Sape Soro, 2015).

Lima, pada tahun 1609 M (abad ke-17), Datuk Ri Bandang (Abdul Makmur, ahli fikih), Datuk Ri Tiro (Abdul Jawad, ahli tasawuf), berasal dari Koto Tangah, Minangkabau, datang ke Bima untuk mengajarkan Islam kepada Sultan Abdul Kahir (1611-1640 M) dan masyarakat Bima.

Setelah keduanya dipanggil pulang oleh Sultan Gowa untuk berdakwah di sana, Sultan Bima meminta kepada kedua datuk tersebut untuk mencarikan pengganti mereka. Datuk Raja Lelo, cucu Datuk Ri Bandang-lah yang menggantikan posisi kedua datuk itu, yang ditemani oleh Datuk Iskandar, Datuk Selang Koto, Datuk Lela, dan Datuk Panjang. (Ahmad Amin, 177: 2019).   

Enam, pada masa Sultan Abil Khair Sirajuddin (1640-1682 M ), Sultan Nuruddin (1682-1687 M), Sultan Jamaluddin (1687-1696 M) Syaikh Umar al-Bantani diajak ke Bima untuk mengajarkan Islam pada keluarga sultan dan masyarakat Bima.

Tujuh, pada masa Sultan Alauddin Manuru Daha (1731-1748 M), Syaikh Subuh menulis mushaf yang bernama La Lino. Beliau memiliki putra yang bernama Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi (1780 M) bin Subuh-Subur bin Ismail bin Abdul Karim, Imam di Masjidil Haram.

Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi hidup pada masa Sultan Abdullah, awal pemerintahan Sultan Ibrahim (paruh akhir abad ke-18 awal abad ke-19). Syaikh Abdul Ghani menikahi gadis Dompu dan melahirkan Syaikh Mansur. Syaikh Mansur yang dikenal dengan Sehe Ja’do dan menurunkan dua orang putra, Syekh Mahdali (sehe boe) dan Syekh Muhammad.

Baca Juga  Memandangi Garis-Garis Altruistik

Delapan, Syaikh Nurul Mubin atau Ama Bibu Soro Sape. Beliau ini sezaman dengan Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi. Beliau juga dikenal sebagai orang yang memiliki karamah. Keturunan beliau di antaranya, TGH. Ibrahim Ntobo (masa Sultan Muhammad Salahuddin) yang terkenal dengan karomahnya dan menjalani tarekat Qadariah wa Naqsabandiyah yang dipelopori oleh Abdul Khatib Sambas, Kalimantan Timur

Sembilan, pada masa Sultan Ibrahim (1881-1915 M) terdapat Syaikh Abubakar bin Nawawi Ngali yang menjadi juru dakwah Islam di Bima. Beliau lama bermukim di Makkah untuk mendalami ilmu agama Islam yang kemudian diajarkan di Bima. (Syukri Abubakar, Biografi Syaikh Abubakar Ngali, 2019).

Sepuluh, pada masa Sultan Muhammad Salahuddin, banyak tuan guru yang menjadi tenaga pengajar agama Islam di Bima. Di antaranya TGH. Muhammad Said Ngali, TGH. Usman Abidin, Tuan Imam Abdurrahman Idris, TGH. Ishaq Abdul Kadir, TGH. A. Malik Sulaiman Ngali, TGH. Abubakar Husen, dan lain-lain.

Sebelas, pasca kemerdekaan, muncul tuan guru muda di antaranya TGH. A. Ghani Masykur, TGH. A. Thalib Usman, TGH. Said Amin. Mereka berdua yang disebut terakhir, termasuk sosok yang lama belajar di Makkah al-Mukarramah.

Bahkan mereka memiliki guru hadis dari Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani abad ke-20, dari gurunya Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani abad ke-19, dari gurunya Syeikh Abdussamad al-Palimbani abad ke-18, dari gurunya Syeikh Abdurrauf al-Sinkili abad ke-17.

Baca juga: Kultur Baru Wisuda Tahfiz Qur’an di Bima

Dan yang lebih muda lagi terdapat TGH. Taufiquddin Hamy, TGH. Abdurrahim Haris, TGH. Ramli Ahmad, dan lain-lain.

Mereka itulah di antara pendakwah yang mengajarkan Islam dari masa ke masa hingga saat ini, baik Islam tasawuf, Islam syariah, hakikat dan makrifat.

Tentu masih banyak lagi pendakwah-pendakwah lain yang perlu ditelusuri lebih lanjut untuk melengkapi daftar pendakwah yang pernah mewarnai geliat dakwah Islam di Bima.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *