INDONESIA sesungguhnya sudah sangat matang dari segi pengalaman dalam mempraktikkan hak dan kebebasan beragama. Hanya saja, isu ini semakin menarik untuk dibicarakan seiring dengan meningkatnya penghormatan terhadap HAM dan menimbulkan berbagai pertanyaan oleh sebagian orang tentang bagaimana Indonesia menjamin hak dan kebebasan beragama, mengingat negara ini adalah negara yang majemuk dan heterogen. Oleh karena itu tulisan ini akan mengulas secara singkat bagaimana Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia.
Penting untuk disadari bahwa Indonesia adalah rumah bagi kurang lebih 280 juta orang, menjadikannya negara dengan populasi penduduk terbesar ke-4 di dunia setelah India, China, dan Amerika Serikat (Worldmeter, 2020). Negara dengan karakteristik masyarakat yang multikultural di mana 300 kelompok etnis, 700 bahasa, serta budaya dan agama yang berbeda hidup berdampingan. Keragaman ini tercermin dalam semboyan nasional Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu.
Namun, dengan keragaman budaya dan agama yang dimiliki tidak menjadikan Indonesia sebagai negara teokratis atau negara berbasis agama, juga tidak menjadikan Indonesia sebagai negara yang sekuler. Melainkan Indonesia sebagai nation state yang berasaskan Pancasila, di mana hak memeluk agama dan keyakinan dijamin oleh institusi negara.
Baca juga: Islam Wasathiyah: Jalan Tengah di Negeri Multikultural
Atas nama demokrasi, Indonesia menjanjikan sistem politik yang inklusif, di mana setiap warga negara yang beragam latar belakang agama dan budayanya memiliki hak untuk didengarkan suaranya, diakui keberadaannya, dan diperhatikan kesejahteraannya dalam berbagai kebijakan negara atas nama keadilan dan kesetaraan.
Karena dengan Semboyan nasional Bhineka Tunggal Ika, secara sadar Indonesia mengakui dan merangkul keragaman budaya dan agama dan memilih bersatu dalam perbedaan (unity in diversity), memilih untuk mencari persamaan, bukan mempertajam perbedaan, dengan misi menciptakan perdamaian bagi seluruh umat manusia.
Dengan latar belakang seperti itu, negara berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan kebebasan beragama yang luas dan bertanggung jawab bagi setiap warga negaranya. Secara politis negara melindungi keragaman atau heterogenitas dalam agama, budaya, dan ras. Sedangkan secara yuridis, negara memberikan perlindungan terhadap suasana kebebasan dan hak asasi manusia.
Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di Indonesia
Dalam hukum internasional, kebebasan beragama dan berkeyakinan bahkan masuk dalam kategori non-derogable rights, yaitu hak yang tidak bisa dilanggar sebagai hak asasi manusia fundamental. Indonesia telah meratifikasi hukum ini melalui pengesahan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak Sipil dan Politik atau Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Senada dengan itu, konstitusi Indonesia secara jelas menegaskan kebebasan beragama bagi setiap orang, juga memberikan jaminan secara hukum bagi setiap warga negara untuk menjalankan agama dan kepercayaannya. Hal ini bisa dilihat dalam perundang-undangan nasional terkait hak dan kebebasan beragama di Indonesia, antara lain Pasal 28E, 28J, dan 29 UUD 1945 dan Pasal 22 UU Nomor 39 tahun 1999. Dengan demikian, kebebasan beragama adalah hak yang dilindungi, baik menurut hukum internasional maupun hukum Indonesia.
Namun, hak ini tidak sepenuhnya tak terbatas. Untuk memahami hal ini, diperlukan pembedaan antara dua aspek kebebasan beragama yaitu dimensi internal (forum internum) dan dimensi eksternal (forum eksternum).
Baca juga: Gerakan Moderasi Beragama
Dimensi internal kebebasan beragama adalah hak untuk memeluk atau memiliki agama atau kepercayaan. Ini merupakan hak mutlak, baik dari segi filosofis maupun normatif hukum. Oleh karena itu, memaksakan seseorang atau kelompok untuk memeluk suatu agama tertentu dengan cara mengancam atau dengan cara kekerasan adalah suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
Sedangkan, dimensi eksternal kebebasan beragama adalah hak untuk memanifestasikan agama atau mengekspresikan kepercayaannya. Kebebasan dalam konteks ini bukanlah hak mutlak, melainkan hak yang terbatas, dibatasi dan diatur secara hukum atas nama harmonisasi dan kerukunan hidup antar umat beragama karena berbenturan secara langsung dengan hak dan kebebasan orang lain.
Pancasila sebagai perwujudan HAM
Pancasila adalah prinsip dasar yang menjiwai seluruh tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia. Pancasila memberikan jaminan perlindungan dan kesejahteraan kepada setiap orang, termasuk dalam beragama dan berkeyakinan. Hal ini bisa kita lihat dalam sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.
Selain itu, meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia tidak menerapkan hukum Islam (Syariah Law) secara nasional karena masih mewarisi civil law dari Belanda, serta dalam beberapa hal menerapkan hukum adat dan hukum agama untuk penduduk beragama Islam.
Sebagai perwujudan HAM, Pancasila menuntut masyarakat untuk mengedepankan apresiasi dan penghormatan terhadap rasa kemanusiaan (sila ke-2) dan memperlakukan manusia dengan adil (sila ke-5), dan menjunjung tinggi kesatuan Indonesia (sila ke-3).
Dengan demikian, saya meyakini bahwa hidup damai di negeri yang multukultural ini bukan lagi sesuatu yang mustahil. Selama semua mampu menjiwai nilai-nilai agama, nilai-nilai Pancasila, dan penghormatan terhadap martabat manusia, tidak akan ada lagi diskriminasi terhadap suatu kelompok, baik atas nama suku, ras, dan agama.[]
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta