Pada Kamis, akhir Juni 2021 lalu, saya mengikuti webinar yang diselenggarakan oleh Fakultas Ushuludin UIN Sunan Ampel Surabaya. Webinar ini merupakan kegiatan bedah buku Menyoal Status Agama-Agama Pra-Islam.
Buku ini merupakan anggitan Dr H Sa’adullah Affandy yang diterbitkan Mizan pada 2015 lalu. Karya penting ini terdiri dari 282 halaman. Buku tebal ini merupakan hasil disertasi beliau ketika menempuh pendidikan S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembedahnya dua orang shcolar, Dr Abdul Ghafur Maimoen dan Prof Nur Syam, M.Si.
Mengawali pemaparannya, Sa’adullah mengungkapkan latar belakang penelitiannya yakni adanya fenomena orang beragama yang tidak semuanya baik dan tidak semuanya jahat. Ada di antara mereka yang berlumuran dosa dan ada yang berperilaku terpuji. Bahkan banyak dari kalangan non muslim, menemukan hal-hal baru yang bermanfaat untuk umat manusia seperti listrik, pesawat, televisi, radio, internet, handpone, dan lain-lain.
Pemanfaatannya tidak hanya oleh kalangan non muslim, tapi juga oleh orang-orang Islam sendiri. Dari sinilah, penulis buku tergelitik untuk mempertanyakan apakah mereka yang non muslim itu tetap masuk neraka gara-gara tidak beragama Islam atau justru masuk surga karena memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an.
Baca juga: Mengenang Dawam Rahardjo: Dari Buku hingga Polemik-Polemiknya
Untuk memperdalam kajian, Sa’adullah menfokuskan kajian kepada agama samawi, Ibrahimic Religion, yang berasal dari Nabi Ibrahim, di mana beliau memiliki dua istri, Siti Sarah dan Siti Hajar. Siti Sarah melahirkan Ishaq yang menurunkan agama Yahudi dan Kristen. Siti Hajar melahirkan Ismail yang mewarisi agama Islam.
Ketiga agama ini, menurut Sa’adullah dengan mengutip pendapat seorang tabi’in yang bernama Qatadah “al-diinu wahid wa al-syari’ah mukhtalifah” agama itu satu dan syari’atnya yang berbeda. Adapun yang menjadi titik temu dari ketiga agama tersebut sebagaimana yang sering diulas oleh Nurcholish Madjid ialah millah-nya agama.
Untuk mendapatkan jawaban dari kegelisahan akademiknya, ia memfokuskan diri mengkaji makna yang terkandung dalam tiga ayat al-Qur’an yakni QS. al-Baqarah [2]: 62, QS. al-Maidah [5]: 69 dan QS. al-Hajj [22]: 17.
QS. al-Baqarah [2]: 62, menjelaskan bahwa:
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman (Islam), orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.
Dalam memahami ayat di atas, Sa’adullah merujuk pada pandangan Rasyid Ridho (1865-1935 M) yang menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabi’in akan mendapatkan keselamatan di akhirat kelak, dengan catatan mereka harus beriman kepada Allah SWT, beriman kepada hari akhir, dan melakukan amal saleh. Jika ketiga syarat ini mereka jalankan dengan sungguh-sungguh, maka akan mendapatkan pahala dari Tuhannya.
Al-Thabari (w.256 H/270 M), Ibnu Kathir (w.774 H/1369 M), al-Nawawi (w. 1416 H), dan Sayyid Qutb (w.1385 H) menerangkan bahwa QS. al-Baqarah [2]: 62 di atas sudah di-mansukh, diabrogasi oleh QS. Ali Imran [3]: 85 sehingga ayat tersebut tidak berlaku lagi. Mereka mendasarkan pendapatnya pada riwayat Ibnu Abbas (w.68 H/687 M) yang menjelaskan bahwa QS. al-Baqarah [2]: 62 di-naskh oleh QS. Ali Imran [3]: 85.
Polemik naskh dan mansukh ini berawal dari penafsiran QS. al-Baqarah [2]: 106 yang oleh ulama klasik dijadikan rujukan teori naskh.
۞ مَا نَنْسَخْ مِنْ اٰيَةٍ اَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَآ اَوْ مِثْلِهَا ۗ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?
Para mufassir berbeda pandangan mengenai makna “ayat”. Ada yang mengartikan dengan ayat al-Qur’an dan ada yang memaknai mukjizat. Muhammad Abdul Muta’al al-Jabri mengartikannya sebagai kitab suci.
Artinya, al-Jabri memaknai kata “ayat” sebagai petunjuk naskh, abrogasi agama-agama terdahulu (naskh ekstra Qur’anik) bukan dimaknai sebagai naskh ayat dengan ayat (naskh intra Qur’anik). Al-Jabri berpendapat bahwa ketika Injil datang, maka agama Yahudi terhapus. Begitu juga ketika al-Qur’an hadir, maka agama Kristen terhapus juga.
Baca juga: Mengapa dan Bagaimana Islamisme Muncul: Bedah Buku The Failure of Political Islam Karya Olivier Roy (Bagian 2)
Pendapat al-Jabri tentang naskh, abrogasi agama ini dibantah oleh ulama kontemporer seperti Murtada Mutahhari (w.1979 M), Nurcholish Madjid (w. 2005 M), Sayyid Husain Fadlullah (w.2010 M), Abdul Aziz Sachedina dan Gamal al-Banna.
Mereka mengutip pandangan ulama yang kontra naskh, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (w.1935), Muhammad Husein Tabataba’i (w.1981 M), Mahmud Syalthut (w.1963 M), Hamka (w. 1981 M), dan Fazlurrahman (1988 M).
Demikian halnya dengan al-Qurtubi (671 H), ia menjelaskan bahwa ayat tersebut tidak di-naskh, tidak diabrogasi oleh ayat yang lain. Artinya, tidak ada penghapusan QS. al-Hajj [22]: 7 oleh QS. Ali Imran [3] 85.
وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”
Asbabunnuzul QS. Ali Imran [3]: 85 itu berfungsi sebagai klarifikasi bahwa orang non muslim itu berhak mendapatkan keselamatan di akhirat, asalkan mereka memenuhi tiga syarat: beriman kepada Allah, beriman pada hari akhir. dan beramal saleh.
Tidak ada syarat untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw, pandangan bahwa harus beriman kepada Nabi Muhammad saw bukanlah pandangan “resmi” al-Qur’an, tetapi pandangan subyektif mufassir. Dan kata al-Islam pada ayat di atas dimaknai sebagai sikap kepasrahan, bukan sebagai institusi agama.
Menurut mereka, kedatangan Nabi Muhammad saw, justru untuk mendukung, mengukuhkan, meluruskan kembali, dan menyempurnakan ajaran-ajaran para Nabi terdahulu. Demikian halnya Ibnu Kasir, mengatakan bahwa Nabi Muhammad datang untuk melengkapi ajaran sebelumnya dan bukan me-nasakh-nya.
Menurut Tabataba’i bahwa yang dianulir al-Qur’an bukan ajaran pokoknya, karena QS.al-Baqarah [2]: 62 memberikan catatan apabila mereka sungguh-sungguh beriman kepada Allah SWT, beriman kepada hari akhir, dan melakukan amal saleh maka mereka akan mendapatkan ganjaran dalam surga.
Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang termaktub dalam kitab Sahih Bukhari mengilustrasikan risalah yang dibawanya sebagai “batu bata terakhir” dalam membangun rumah.
Nabi Muhammad saw bersabda: “Perumpamaan saya dengan nabi-nabi sebelumnya seperti seseorang yang membangun sebuah rumah. Rumah tersebut sudah bagus dan indah akan tetapi tersisa satu batu bata dan akulah batu bata itu (al-Qur’an) dan akulah penutup para Nabi”.[]

Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Mataram dan Pengkaji Islam dan Budaya Lokal.



