Pada momen bedah buku tersebut, beliau lebih banyak mengkajinya melalui sudut pandang sosiologi. Menurutnya, buku ini sangat enak dibaca karena dinarasikan secara apik menggunakan bahasa yang gampang dicerna. “Seperti membaca novel saja, walaupun materi yang disajikan sangat berat tentang nasikh-mansukh dalam kajian ulumul Qur’an”. Jelasnya.
Menurutnya, beberapa kali diminta untuk membedah sebuah buku, baru kali ini ia membaca sampai akhir. Biasanya hanya dibaca pendahuluan, sebagian isi dan penutup. Buku ini lain dari yang lain, karena membahas hal yang sangat menarik, orisinal, dan menyajikan deskripsi data yang tuntas sesuai tema yang dikaji dan memiliki relevansi dengan realitas sosial yang terjadi dewasa ini.
“Karya ini memberi inspirasi dalam membangun kerukunan, keharmonisan dan keselamatan umat manusia”. Pujinya.
Beliau juga mengapreasiasi penulis buku, seorang santri birokrat, karena selama ini kalau birokrat menulis pasti diragukan, apakah buku tersebut tulisannya sendiri, mengingat waktu dan kesempatan yang kurang karena kesibukan dengan urusan kantor. Tapi setelah membaca buku ini, beliau sangat kagum karena merujuk ke beberapa referensi berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris.
Baca juga: Agama-Agama Pra-Islam dalam Berbagai Sorotan (1)
Tulisan seperti ini mengkhawatirkan beliau, karena akan dituding sebagai pemikir liberal karena menjungkirbalikkan pemikiran yang telah umum berkembang di tengah-tengah masyarakat, terutama masyarakat beragama.
Namun, karena terbitnya tahun 2015, di mana pemikiran liberal dan koservatif tidak lagi menjadi diskursus penting karena apa yang disampaikan dalam buku ini sudah menjadi pemikiran mainstream di kalangan umat Islam saat ini.
Walaupun demikian, tetap saja penulis buku ini akan menerima “tudingan” sebagai pemikir liberal atau orang yang menafsirkan al-Qur’an hanya menyandar pada konteks. Karena masih begitu banyak orang yang tidak setuju dengan penafsiran memperluas “cakrawala teks” karena bagi kaum tektualis, apa yang tertera dalam teks harus dipatuhi tanpa ada pertanyaan yang mendalam, hanya ada makna lafdhi, tidak ada makna substansi atau hakiki. Sebab, penafsiran hakiki, menurut mereka, hanya akan menjauhkan umat Islam dari agama yang benar.
Dari kacamata metodologi ilmu sosial, kajian dalam buku ini masuk dalam kategori pembacaan dekonstruksi atau upaya menemukan kesebalikan atas anggapan umum atau premis-premis yang sudah mapan kemudian dikaji kembali, dalam hal ini nasikh-mansukh.
Dekonstruksi dipergunakan untuk membaca teks atau menyingkap makna teks. Dengan cara bacaan dekonstruktif, akan jelas kekuatan teks yang tidak terkatakan, tidak selalu sejalan dengan makna teks yang dipahami secara umum. Jadi ada sesuatu yang tidak terkatakan dan hal itulah yang diangkat dalam tulisan tersebut.
Melalui pembacaan dekonstruksi, maka, makna tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak dan universal. Makna bisa berubah sesuai dengan konteks zaman dan situasi sosial budayanya.
Melalui pembacaan dekonstruksi, teks tidak tertutup untuk dibaca dengan strategi dan cara yang menghasilkan perbedaan dan ketidakmutlakan.
Baca juga: Agama-Agama Pra-Islam dalam Berbagai Sorotan (2)
Begitu juga, pemahaman terhadap abrogasi/nasikh-mansukh akan dilihat secara fungsional. Bahwa sebuah struktur sosial itu akan berfungsi manakala struktur itu fungsional. Menurutnya, masalah nasikh-mansukh itu hampir sama dengan teori struktur fungsional. Bahwa sebuah teks itu akan tetap digunakan ketika fungsional dan tidak digunakan ketika tidak lagi fungsional.
Pemahaman Abrogasi
Selama ini, pemahaman terhadap nasikh-mansukh adalah proses dalam turunnya ayat. Ada ayat yang turun duluan dan ada ayat lain yang turun belakangan yang berbeda makna dan fungsinya, sehingga ayat yang turun lebih dulu dihapus atau diabrogasi intra-teks.
Selain itu juga, pemahaman bahwa syariat agama-agama terdahulu sebelum datangnya Islam terhapus dengan sendirinya atau abrogasi ekstra-teks.
Pandangan seperti itulah yang selama ini dipegang oleh sebagian umat Islam bahwa agama selain Islam seharusnya tidak berlaku lagi. Konsekensinya, bahwa semua orang non muslim dapat dinyatakan sebagai orang kafir.
Padahal, umat-umat terdahulu adalah umat yang menerima kitab suci, yakni taurat yang diberikan kepada Nabi Musa, Injil yang diberikan kepada Nabi Isa, dan al-Qur’an diberikan kepada Nabi Muhammad saw.
Ketiga kitab itu adalah kitab yang diturunkan Allah kepada para rasulnya dengan prinsip meyakini keberadaan Allah, menjalankan syariatnya dan berperilaku baik.
Kitab yang datang belakangan merupakan kitab yang menyempurnakan, melengkapi, dan menjadi basis ajaran agama semitis. (agama yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as).
Menurutnya, ketiga agama tersebut berasal dari millah Ibrahim sebagai agama monoteis menyembah kepada Tuhan Yang Esa, Yahweh untuk Yahudi, Allah pada Kristen dan Allah Swt untuk Islam.
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa timbulnya perbedaan ketika agama-agama tersebut berada di tangan manusia, melalui penafsiran-penafsiran umatnya. Misalnya, dalam agama Kristen kalam Tuhan “kun fayakun” menjadi Isa yang lahir dari perawan suci Maryam, sementara dalam Islam, kalam Tuhan menjadi kitab suci al-Qur’an.
Begitu juga dalam Kristen dikenal Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus atau yang disebut dengan Trinitas. Sementara dalam Islam, Tuhan yang Esa itu memiliki sembilan puluh sembilan nama yang dikenal dengan asmaulhusna.
Baca juga: Agama-Agama Pra-Islam dalam Berbagai Sorotan (3)
Perubahan konsep monoteisme menjadi Trinitas dalam Kristen, menurutnya merupakan faktor penafsiran, sebagaimana halnya dalam Yahudi, ketika berada dalam tangan penafsir agama, maka ketika itulah muncul perbedaan-perbedaan.
Beliau sepakat dengan konsep Peter L. Berger yang mengatakan bahwa “agama itu adalah kabar angin dari langit”. Karena kabar dari langit, maka semakin jauh dari langit, semakin jauh penafsirannya.
Penafsiran yang paling dekat, seperti sahabat menafsirkan al-Qur’an, jika tidak tahu, maka langsung ditanyakan kepada Nabi. Maka setelah 1400-an tahun ini, penafsiran akan semakin jauh.
Bisa saja satu ayat memiliki tafsiran yang bermacam-macam. Satu ayat bisa jadi seribu tafsir. Jadi kalau kembali kepada konsep Berger tersebut, dapat dikatakan bahwa dunia agama ini adalah dunia tafsir menafsir.
Ketika Nabi Muhammad saw hidup di Makkah dan memulai proses penyebaran agama Islam, banyak terdapat berhala-berhala yang dijadikan sesembahan yang terdapat di sekitar Kakbah, Thaif, dan Yastrib, seperti patung al-Lata, al-Uzza, dan al-Manat.
Namun demikian, beliau menduga masih terdapat sosok yang mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif, mengagungkan keesaan Allah Swt seperti Abdullah bin Abdul Muthalib, walaupun referensi yang memperkuat hal tersebut masih minim, karena ada pernyataan bahwa tidak mungkin seorang nabi lahir dari orang yang menyembah berhala. Wallahu a’lam.
Terkait nasikh-mansukh, Prof. Nur Syam menjelaskan terdapat tiga pemahaman. Pertama, nasikh-Mansukh baik yang intra-abrogasi maupun ekstra-abrogasi terdapat dalam al-Qur’an. Kedua, nasikh Mansukh yang intra-abrogasi tidak ada, tetapi yang ekstra-abrogasi ada.
Artinya tidak ada ayat menghapus ayat lainnya. Tapi secara ekstra-abrogasi, al-Qur’an menghapus syariat-syariat sebelumnya. Setelah al-Qur’an turun, maka semua hukum atau syariat agama lain tidak berlaku lagi.
Ketiga, tidak ada abrogasi antara ayat satu dengan ayat lainnya. Demikian juga syariat Islam tidak menghapus syariat agama-agama sebelumnya, malah Islam datang untuk menyempurnakan syariat-syariat agama sebelumnya sehingga menjadi syariat yang lengkap dan paripurna.
Akhir-akhir ini, muncul pandangan yang menyatakan bahwa semua hal yang terkait dengan agama-agama lainnya tidak ada lagi, tidak berlaku lagi. Syariat yang berlaku dan benar hanyalah syariat Islam.
Baca juga: Menilik Kembali Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia
Mengomentari apa yang disampaikan oleh penulis buku, Prof. Nur Syam menjelaskan bahwa Sa’adullah berkesimpulan dalam al-Qur’an tidak terdapat intra-abrogasi dan ekstra-abrogasi. Artinya, tidak terdapat ayat yang saling menghapus antara satu dengan yang lain.
Ayat-ayat tersebut bersifat fungsional sesuai dengan situasi budaya dan keagamaan masyarakat. Firman Allah Swt yang mulia tidak pantas saling menghapuskan, saling menghilangkan. Begitu juga, ajaran agama sebelumnya tidak dihapus tapi disempurnakan, dan diluruskan.
Jika ada yang dianggap tidak relevan, maka disempurnakan dengan yang baru. Artinya, terdapat ayat yang fungsional pada masanya, dan ada penyempurnaan setelahnya karena nuansa sosial budaya dan keagamaan. Jadi Islam memiliki kontinuitas dengan syariat agama-agama sebelumnya.
What next?
Saat ini terjadi peningkatan gerakan Islam ideologis atau gerakan Islamis yang menghendaki mengembangkan dan menerapkan Islam sesuai dengan keinginan dan tafsir kelompoknya.
Hal ini bisa dilihat pertarungannya melalui media sosial youtube, betapa kerasnya pertempuran antara kelompok moderat Islam dengan kelompok Islam salafi, baik salafi wahabi, salafi takfiri maupun salafi jihadi.
Melalui sosial media, mereka menunjukkan eksistensinya dengan mengusung tema-tema anti Islam Nusantara, anti TBC, anti pemerintah, dan anti ideologi kebangsaan. Misalnya perkara mencium mushaf al-Qur’an, Nabi yang sakit mata, dan lain-lain.
Akhir-akhir ini, dunia keberagamaan kita semakin menguat, tapi tensinya lebih mengarah ke konservatisme. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya narasi-narasi konservatisme yang leading di media sosial.
Menurut hasil penelitian yang dirilis oleh Alvara Research Center bahwa dominasi paham konservatisme di media sosial menempati urutan teratas dengan 67,2 %, disusul paham moderat 22,2 %, liberal 6,1 %, dan islamis 4,5 %.
Maka, buku Sa’adullah Affandy ini dapat dijadikan salah satu model bagi penguatan gerakan moderasi beragama di Indonesia, dengan mengedepankan komitmen kebangsaan, toleransi, adaptif terhadap budaya lokal, dan anti kekerasan.
Maka apapun agamanya, sebagai warga negara Indonesia yang baik wajib mengedepankan keempat pilar tersebut di atas.[]
Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Mataram dan Pengkaji Islam dan Budaya Lokal.