50 tahun kepenyairannya sudah cukup menjadikannya diva. Bukan sembarangan. Nobel kesusatraan tahun 1996 bukti nyata ia diakui dunia. Namun tidak ada sentuhan politik di puisi-puisinya. Itu aneh. Apalagi di tengah gemerlapnya bahasan politik dari penyair-penyair andal.
Baca juga: Pram, Sejarah, dan Perlawanan Sastra
Namun Wislawa Szymborska memilih sendiri. Sunyi, jauh dari hingar bingar. Ia bisu, bahkan walau hanya sekadar membacakan puisinya di hadapan orang-orang yang kagum. Mereka percaya ia masih hidup karena puisinya bertengger kaku di kolom kecil koran lama: Non-Compulsory Reading. Ia diyakini mati dalam sunyi pada 1 Februari 2012 setelah koran itu tak lagi menerbitkan suara hatinya.
Tapi politik seperti bidadari. Ia bisa menarik siapa saja. Wislawa Szymborska muda pun pernah menyukainya, bahkan menjadi composer syair-syair komunis. Meski kini puisi-puisi politik itu hilang. Ia pun membantah pernah membuatnya. Namun sejarah tidak mudah terhapus begitu saja.
Puisi dan politik, adalah sahabat. Tidak terpisahkan. Puisi telah lama menjadi media propaganda. Para penyair biasa sepanggung dengan politikus. Seperti almarhum WS Renda yang berdiri pasrah dengan para politikus di arena kampanye.
Sang Burung Merak tidak bisa membela diri, ketika kejujuran puisi-puisinya digugat. Politik sudah terlalu identik dengan kebohongan. Orang-orang tidak rela jika puisi yang jujur dan suci disandingkan dengan politik yang kotor.
WS Rendra tidak sendirian. Ia bergelut dengan ingar bingar propaganda yang melibatkan para penyair hebat. Karenanya ketika ia memilih berada di atas panggung politik, itu biasa. Sama seperti Wislawa Szymborska yang tidak harus dipandang sebagai pahlawan hanya karena ia berbeda. Kekaguman dan kemuakan sama-sama sebuah pilihan. Tidak ada yang salah dari keduanya.
Baca juga: Seni dan Sastra: Modal Gerakan Perubahan (2-Habis)
Puisi dan politik sudah lama bercengkrama. Sebab hanya puisi yang bisa menciptakan senjata politik yang paling efektif: kemarahan. Niza Yanay dalam The Ideology of Hartred jelas menyebut kemarahan dan kebencian sebagai malaikat. Kemarahan bisa melahirkan respons yang konstruktif dan transformatif. Ia percaya hanya kemarahan yang menguasai percakapan politik.
Niza Yanay memberi tempat persetubuhan politik dan puisi yang melahirkan bahasa kemarahan. Jelas menangis tidak akan bisa melawan tirani. Ada hentakan perlawanan dalam bahasa puisi yang diciptakan politik. Seperti desiran darah jutaan anak bangsa saat Bung Karno berteriak “Merdeka atau mati.” Atau tekad Diponegoro dalam syair abadi Chairil Anwar, “Sekali berarti, sudah itu mati.” Kolonialisme habis, pandangan politik baru lahir. Entah ia lebih baik, atau lebih kejam.
Maka, ketika kini politik dan puisi kembali sepanggung, jangan ada lagi teriakan kebencian. Jika tidak suka, menjelmalah sebagai Wislawa Szymborska yang membiarkan politik mencari jalan kekuasaannya. Ia tidak ingin mengusik, sama seperti ia tidak mau terusik.
Baca juga: Seni dan Sastra: Modal Gerakan Perubahan (1)
Harus diakui, politik melahirkan kebencian dari orang-orang yang kalah. Suara kebencian, bukan salah. Itu kontrol yang mudah. Semua orang berhak dengan pilihannya. Terserah apakah pilihan itu berujung pada kekuasaan yang adil, atau tirani.
Pilihan mayoritas itulah demokrasi yang dielu-elukan. Ada yang senang dan ada yang kecewa. Tapi apa masalahnya jika ini semua berakhir, kita bertepuk tangan. Sama seperti saat puisi berhenti dibacakan.
Kita pun menunggu puisi yang baru dengan antusias yang sama.[]
Ilustrasi: Facebook Silvia Reyes
Penulis buku harian, suka mengintip fenomena sosial, sekarang wartawan Lombok Post.