SITUASI yang tak kalah mengerikan adalah ketika memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) — sekaligus masa puber yang mengerikan untuk dikenang—dimana suatu keadaan aku dipaksa oleh teman-teman kelas untuk berpacaran, untuk pertama kalinya. Anehnya aku tidak dapat menolak, karena sudah pasti aku akan diancam oleh mereka. Pengalaman bullying yang aku dapati dari kecil tenryata mempengaruhi kepribadianku dengan sangat kuat, sehingga ketika aku dipaksa oleh teman-temanku untuk melakukan hal tersebut aku hanya bisa tunduk dan mengikuti kemauan mereka. Satu hal yang aku hindari adalah mendapati perilaku pembullyan yang kesekian kalinya.
Namun pilihan untuk berpacaran ternyata mendorongku pada kesengsaraan yang tidak pernah aku bayangkan. Ketika abang pertamaku mengetahui aku berpacaran, aku tidak lagi mendapati hukuman berdiri dengan satu kaki, namun hantaman demi hantaman—yang tidak hanya meninggalkan bekas luka fisik, namun juga luka psikis yang mustahil untuk dapat diobati. Pengalaman pahit yang aku alami pada dua malam itu benar-benar telah menyisahkan luka dan trauma yang mendalan dalam diriku. Kejadian pertama, berlangsung pada suatu malam ketika handphone-ku diperiksa oleh abangku, lalu ia mendapati SMS dari lelaki yang “memacariku”. Tanpa mempertanyakan alasan di balik itu semua, tangannya langsung melayang ke tubuh kecilku.
Aku terkapar dan tersungkur, menangis dan menjerit kesakitan. Saudaraku yang lain serta kedua orangtuaku seolah tak mau tau, dan bahkan tak ada satu orang pun yang menanyakan keadaanku. Ketika aku selesai dihakimi, aku hanya terbaring lemah di sudut kasur—menikmati pedihnya luka yang kudapati pada malam kelam itu. Kejadian kedua, suatu malam di hari yang berbeda, aku kembali dihantam lagi. Berkali-kali hingga aku tak dapat lagi mengeluarkan air mata. Segalanya menjadi hening. Aku hanya diam menikmati hantaman demi hantaman dari kepalan tangan besar abang pertamaku yang melayang pada tubuh kecilku. Lelah, dan aku benar-benar hancur.
Pada saat aku dipukuli malam kedua itu, aku memilih diam dan menahan rasa sakit itu—karena aku pikir—diamku akan mengurangi kemarahannya, namun nyatanya tidak. Abangku mengartikan diamku dengan menuduhku menggunakan obat-obatan terlarang sejenis Narkoba—hanya karena aku tak merintih dan tak lagi meneteskan air mata ketika tangannya mendarat di badanku. Lagi dan lagi aku mendapati hal yang jauh dari bayanganku, abangku lalu bergegas mengambil Badik dan lekas ingin membunuhku. Malam itu telah aku pasrahkan hidupku. Itulah sebabnya aku tak bereaksi. Justeru ketika ia ingin membunuhku, aku merasa bisa bernafas legah, bahkan dengan senang hati kusambut kematianku malam itu.
Sejak aku mendapati perlakuan-perlakuan semacam itu, aku selalu ingin mengakhiri hidup. Akan tetapi doktrin tentang surga dan neraka mendorong aku untuk mengurungkan niat mengakhiri hidup—meski diriku serasa di “neraka”. Setiap kali aku melukai diriku sendiri; menyayat-nyayat tangan dengan silet hanya karena aku tak tahu kemana dan dimana aku bisa melampiaskan luka yang ku dapati selama ini. Tatkala terbesit niat ingin mengakhiri hidup, hati kecil berbisik, “…kalau aku mengakhiri sekarang aku pasti jatuh ke dalam neraka, hal yang lebih pedih penyiksaannya di banding ini..” Pikirku. Akhirnya aku kembali menangis sembarai melukai diri lagi dan lagi; menyayat tangan atau membenturkan kepala ke tembok.
Baca juga: Autoetnografi Gender: Pengalaman Menjadi Minoritas sebagai Anak Perempuan (1)
Sebenarnya, malam ketika abangku ingin membunuhku, adekku yang masih kecil yang menghalanginya. Ia menangis dan memeluk abangku sembari memohon untuk tidak melakukan itu. Akhirnya aku hanya mendapati pukulan, lalu seperti biasanya, di malam yang dingin di sudut kasur dan menikmati luka itu. Lantas di mana peran orang tuaku?
Ibu hanya menambahkan ocehan nasihat kepadaku seolah-olah memang aku pantas mendapati perilaku seperti itu. Ayah, memang tak tahu apa-apa dan aku pun tak pernah bercerita tentang itu. Aku tak pernah mengadu ke ayah karena aku tahu jawabannya hanya “sabarlah”. Bahkan ketika aku mendapati perilaku kasar oleh adek sepupu ku, ayah hanya bilang, “…sabar, dan menjadi seorang kakak harus mengalah…” Hanya itu. Kalau pun yang memukuliku itu lebih tua dari aku, ayah hanya membalikkan perkataannya, “…sabar, jadi adek memang harus mendengar apa kata kakaknya…” dari kedua kasus itu bagi ayah semua hal harus dilalui dengan “sabar”. Karena doktrinan seperti itu sehingga membuatku menikmati sendiri setiap perlakuan tak mengenakan dari siapa pun.
Ayah pernah membelaku ketika aku masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Saat itu, aku sedang sibuk mempersiapkan diri untuk ujian nasional sehingga mengharuskanku keluar untuk membeli beberapa perlengkapan alat tulis menulis. Aku keluar bersama temanku, lalu lagi dan lagi abangku mengambil sepeda motornya dan membonceng adekku untuk membantunya mencariku. Mereka mengelilingi area sekolah, sebenarnya adekku melihatku, akan tetapi Ia tak berani memberitahu Abangku. Dan ketika aku pulang, belum sempat aku memarkir motor, aku langsung di tarik masuk ke ruang tamu dan ditampar, bahkan kepalaku dihantam ke tembok. Ayah melihat kejadian itu dan menegur kakakku, lalu dengan nada yang lantang kakakku berkata, “…ini tak seberapa dengan apa yang ayah lakukan dulu terhadapku…”
Mendengar itu, aku sangat shock. Ternyata selama ini aku salah mengartikan segala perilaku kasar dan kerasnya terhadapku. Aku mengira semua perlakuannya itu demi kebaikanku, ternyata tidak. Ada dendam yang harus ia balas melalui tubuhku. Mendengar hal itu, membuat dunia ku seakan terhenti sejenak, kurasakan perasaan marah, kecewa dan sakit hati. Selama ini, aku telah melalui banyak perlakuan kasar darinya, tapi hari itu merupakan hal yang paling membuatku menangis sejadi-jadinya. Bukan karena rasa sakit dari hantamannya, akan tetapi rasa sakit mengetahui alasan di balik semua perilakunya terhadapku selama ini.
Tak kuasa akan hal yang menimpaku, di suatu waktu, aku memberanikan diri “menggugat” ibu dan ayahku dengan mengatakan, “…kenapa kalian meminta anak perempuan, kenapa aku dilahirkan jika harus menerima semua perlakuan ini…“. Ayah hanya menjawab, “…kenapa kamu menanyakan hal yang memang sudah menjadi takdirmu….“. Padahal bukan tentang takdir yang ku pertanyakan. Aku hanya mempertanyakan kenapa kamu memintaku sementara tak sedikitpun perilaku spesial yang ku dapati, setidaknya ada yang menanyakan keadaanku ketika aku mendapati kekerasan dari abangku.
Menjadi minoritas di dalam keluarga tak hanya membuatku mendapati kekerasan, akan tetapi aku pun banyak dibebankan dengan beban memperbaiki citra ayah yang rusak karena kenakalan abang-abangku hingga aku memaksakan diri untuk belajar. Dan pada akhirnya hal tersebut membuatku selalu berkunjung ke rumah sakit. Bahkan tiap bulan aku pasti terbaring lemah di sana []
Sumber Ilustrasi: depositphotos
Alumnus Magister Studi Agama-Agama, Konsentrasi Resolusi Konflik, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Suka traveling dan tidur