ADA satu kekuatan yang memiliki energi yang sangat potensial dalam mempengaruhi keseluruhan aktivitas manusia, dan dapat memberi warna terhadap aksi dan reaksi dari fisik dan psikis kita.
Kekuatan dimaksud adalah kemampuan memberi persepsi atau prasangka pada apa saja dalam kehidupan yang kita jalankan. Kekuatan ini sungguh luar biasa efeknya pada warna perilaku dan sikap manusia, bahkan energi yang dikandung mampu menembus ruang dan waktu.
Bagaimana tidak? Sesuatu yang belum nampak, yang belum terjadi, dan yang belum pasti, dengan kekuatan energi persepsi dan prasangka, sesuatu itu dapat menjadi seperti nampak, seakan terjadi, dan terasa sangat pasti.
Inilah yang kemudian memberi warna pada sikap, perilaku, rasa, pikiran, angan, dan bahkan berujung pada warna dari capaian-capaian kehidupan.
Baca juga: Memahami Kehidupan sebagai Festival
Celupan warna dari kekuatan energi persepsi dan prasangka itu bisa berwujud positif dan bisa pula negatif, dalam bahasa agama disebut husnuzan dan suuzan.
Husnuzan merupakan sikap dan cara pandang seseorang melihat sesuatu secara positif dan hati yang bersih sehingga pikiran dan tindakannya bersih dari prasangka buruk. Sementara suuzan adalah sikap seseorang yang berprasangka buruk terhadap orang lain, peristiwa, masalah ataupun suatu keadaan.
Sebagai mana statement ahli hikmah, “Prasangka negatif akan melahirkan energi keburukan dan persepsi positif akan melahirkan energi kebaikan”.
Wujud persepsi dan prasangka yang positif misalkan, dalam memberi respon terhadap apa saja melalui pikiran, akan lahir pemikiran positif (istilah psikologi; positive thinking), yaitu suatu kemampuan berpikir seseorang untuk memusatkan perhatian pada sisi positif dari keadaan diri, orang lain, dan situasi yang dihadapi (Susetyo, 1998). Artinya persepsi positif akan memberi dampak kepada berpikir positif, yakni melihat sesuatu tanpa melihat sisi negatif, dan mengambil hikmah di balik masalah yang menimpa.
Kemudian wujud persepsi dan prasangka yang positif itu bisa juga terlihat pada sikap yang positif dalam merespons segala sesuatu, seperti lahirnya kondisi pikiran yang memungkinkan untuk membayangkan dan mengharapkan hal-hal yang baik dan memberi respons yang baik terhadap apa saja, siapa saja, dan kondisi yang bagaimana pun. Termasuk di dalamnya adalah memberi respons dengan kata-kata yang pantas dan menyejukkan bagi siapa saja yang mendengar dan membacanya.
Sedangkan wujud prasangka atau persepsi negatif misalkan akan nampak dari ketidakmampuan seseorang untuk berpikir sehat dalam menyikapi setiap keadaan (negative thinking), yaitu suatu deskripsi negatif tentang diri sendiri, orang lain, dan lingkungan secara general yang berdampak negatif pada emosi dan perilaku. Juga tidak mampu menata kalimat-kalimat indah dan menyejukkan dalam merespon keadaan dan situasi, hingga tidak mampu memberi respons positif dalam bentuk perilaku yang baik.
Pada akhirnya, apa pun bentuk persepsi dan prasangka yang kita lahirkan (positif atau negatif), akan berdampak pada cara kita menyikapi kehidupan ini dan tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada capaian-capaian hidup kita. Jika positif—maka capaian hidup kita pasti baik, sebaliknya jika negatif—maka capaian hidup kita pasti buruk.
Maka dari itu, jika Tuhan dalam sebuah hadis qudsi menegaskan diri-Nya dengan kalimat singkat adalah wajar, yakni “Ana ‘inda dhonni ‘abdi bi”, Aku tergantung sangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Artinya intervensi Tuhan terhadap capaian kita tidak keluar dari apa yang ada di dalam diri ini, Dia memberi intervensi sesuai dengan capaian yang kita angankan sebagai buah dari persepsi dan prasangka kita.
Tuhan Maha Konsisten dan Maha Berkomitmen dengan apa yang sudah diikrarkan terhadap balasan yang akan diberikan kepada hamba-Nya, “In aḥsantum aḥsantum li`anfusikum, wa in asa`tum falahā”, Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri (QS. Al Isra’ : 7).
Baca juga: Sikap Hidup terhadap Dunia dan Akhirat
Dari itulah jika tindakan, sikap, perilaku, dan amaliah kita baik berdasarkan pengaruh dari persepsi dan prasangka kita yang baik, maka baik pulalah yang kita terima. Sebaliknya jika tindakan, sikap, perilaku, dan amaliah kita buruk sebagai pengaruh dari persepsi dan prasangka kita yang buruk, maka buruk pulalah yang kembali kepada kita.
Makanya wajar jika ada anjuran dalam agama untuk tidak boleh berprasangka buruk kepada Tuhan, karena Tuhan memberi perlakuan terhadap kita sesuai dengan persepsi dan prasangka yang mempengaruhi sikap, perilaku, perbuatan, aksi, angan, dan reaksi kita terhadap apa saja dan siapa saja.
Sebagai catatan akhir, sebelum memberi prasangka buruk kepada Tuhan, lihatlah dan cermatilah prasangka dan persepsi kita masing-masing terhadap kehidupan yang kita jalani. Sebelum memulai kehidupan setiap hari, setiap saat, setiap waktu, setiap etape, dan setiap event, pastikan untuk memulainya dengan persepsi dan prasangka yang positif (baik), sehingga capaian pun pasti baik.
Dan ingatlah apabila kita memulai setiap etape kehidupan dengan persepsi dan prasangka yang negatif (buruk), maka sesungguhnya kita telah menzalimi diri sendiri, karena pada dasarnya setiap diri tidak ada yang condong kepada keburukan dan tidak ada yang senang dengan keburukan.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Terima kasih, tulisan dan ulasan yang baik.
Menarik pada salah satu paragraf, bahwa persepsi itu akan menentukan warna perilaku dan energi kita menjadi positif atau negatif.
Sebagai makhluk sosial hendaknya kita berupaya berpersepsi positif. Karena persepsi positif itu akan meniadakan beban. Sungguh mulia ajaran Islam yang menganjurkan untuk husnuzan, kepada Tuhanpun hendaknya berprasangka baik. Itulah akhlak yang diajarkan oleh Rasul SAW.
Semoga dengan tulisan singkat ini kita menjadi tambah sadar akan pentingnya persepsi positif.