Eling Usia: Memantaskan Kebiasaan

SALAH satu komitmen Tuhan terkait dengan perilaku hamba-Nya yang terkena hukum adalah memberikan efek hukum semenjak hamba-Nya memasuki usia baligh (mukallaf).

Seluruh perilaku yang kita jalankan selama kurun usia mukallaf mendapatkan konsekuensi hukum, sehingga masa-masa ini menjadi saat yang harus dilalui dengan pengetahuan yang cukup, sikap yang penuh pertimbangan dan kehati-hatian.

Apa pun jenis aktivitas kita, baik dalam bentuk aksi nyata, omongan, maupun bisikan hati, semuanya tercatat sebagai dokumen hukum di sisi Tuhan, tidak ada yang terlewat dan tidak ada yang terabaikan.

Mā yalfiẓu ming qaulin illā ladaihi raqībun ‘atīd”. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. Qaf ayat 18)

Begitu tegas komitmen Tuhan atas pengakuan nilai mukallaf yang membawa konsekuensi hukum, tentunya agar supaya kita benar-benar menakar diri dalam melakukan apa saja untuk disesuaikan dengan ukuran yang digariskan Tuhan, karena baik maupun buruk perilaku kita, akan memberi dampak hukum di mata Tuhan.

Perbuatan baik, diberikan ganjaran yang baik dan tentunya membahagiakan, demikian sebaliknya, perbuatan buruk akan diganjar buruk dan pastinya menyengsarakan. Hanya dua indikasi itu yang menjadi patokan hukum Tuhan, yakni baik dan buruk. Dan sedapat mungkin kita berada pada haluan yang baik, karena berjalan pada haluan yang buruk akan mengundang murkanya Tuhan.

Baca juga: Salah Persepsi dalam Beramal Saleh

Penting kita renungkan bahwa di balik komitmen yang begitu tegas, Tuhan Maha Bijaksana, bahwa delik hukum tidak akan dibebankan kepada hamba-Nya yang mukallaf apabila berada pada situasi lupa.

Berapa banyak amalan yang dimaafkan Tuhan oleh karena dilakukan hamba-Nya dalam kondisi lupa, salah satu contohnya: minum di siang hari bulan Ramadan tidak membatalkan puasa, disebabkan seorang hamba lupa dirinya sedang berpuasa.

Lupa dalam aktivitas normal dan yang tidak direncanakan memang bagian dari yang dimaafkan Tuhan, dan bisa saja terjadi pada siapa pun, karena memang di dalam proses penciptaan kita, ada potensi untuk lupa.

Baca Juga  Memastikan Menjadi Manusia "Datar"

Fenomena yang banyak terjadi pada kita, bukan jenis lupa yang dibijaksanai Tuhan, namun lupa yang disebabkan oleh kelalaian, yakni lupa dengan usia sendiri. Tidak menyadari bahwa setiap detik usia itu berjalan menuju titik habis.

Perjalanan hidup kita berbanding lurus dengan pengurangan usia kita, begitu hidup ini berjalan menelusuri siang dan memasuki malam, maka usia kita pun sesungguhnya telah menyublim semakin kecil dan semakin pendek.

Begitu kita menyadari pergerakan hidup dan pergeseran usia kita, idealnya kebiasaan kita pun harus mengiringi perubahan yang terjadi. Syaikh Abdul Wahhab bin Ahmad Asy-Sya’rani, dalam kitab Bahrul Maurud, menulis, “Telah diambil perjanjian dari kita, apabila umur telah mencapai 40 tahun, hendaklah bersiap-siap melipat kasur dan selalu ingat pada setiap tarikan nafas, bahwa kita sedang berjalan menuju titik terakhir dari hidup yang ditakdirkan”.

Melipat kasur dalam kalimat bijak di atas maksudnya, hendaklah kita mulai terbiasa mengurangi tidur malam untuk terjaga bermunajad kepada Tuhan, mengevaluasi kebiasaan-kebiasaan masa muda yang santai, yang bebas, dan mungkin juga glamor.

Boleh saja melakukan kebiasaan masa muda, asal menyeimbangkannya dengan kebiasaan yang pantas dengan perjalanan usia kita. Artinya bila usia telah menuju kepala empat, tetapi belum juga menyadarinya—belum menyesuaikannya dengan kebiasaan-kebiasaan yang pantas, maka itulah orang yang lupa dengan usianya sendiri.

Banyak petuah-petuah yang diberikan para ulama, betapa pentingnya mengisi hidup dengan memperbanyak amal baik di usia yang sudah mulai senja, jika kita lalai akan hal ini, tentu suatu musibah bagi kita. Tidak sedikit orang yang sampai tua tidak menyadari pergerakan usianya, dan tidak pernah pula berpikir untuk melakukan amal baik sebagai bekal paling berharga untuk hari esok yang abadi.

Semangat muda tetap kita pelihara, tetapi kita tidak boleh menyangkal bahwa kita pun bergerak menuju usia tua. Ada ungkapan kalimat bijak, “menjadi dewasa itu pilihan, tetapi menjadi tua itu pasti”. Tugas kita adalah menyesuaikan dan memantaskan diri dengan usia kita.

Baca Juga  Malu, Ciri Manusia Hidup

Saat melakukan aktivitas hidup yang menjadi kebiasaan yang sudah cukup lama kita lakukan, bahkan kebiasaan itu bisa saja mempertegas kepribadian dan identitas kita, maka penting kita hening sejenak (eling) di sela-sela aktivitas untuk menghitung angka meter dari perjalanan usia kita, agar kita bisa menyisipkan amalan yang pantas dengan angka usia kita.

Baca juga: Tauhid untuk Keadilan dan Kesetaraan

Kita boleh hidup dengan semangat muda, tetapi jangan lalai, ingatlah bahwa apa yang terjadi dalam rentang kehidupan yang kita lakoni, semuanya tercatat dan terbalaskan.

Man jā`a bil-ḥasanati fa lahụ ‘asyru amṡālihā, wa man jā`a bis-sayyi`ati fa lā yujzā illā miṡlahā wa hum lā yuẓlamụn”. Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya: dan barang siapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (QS. al-An’am ayat 160)

Sebagai catatan akhir, bahwa hidup yang kita jalani sering melalaikan kita dari mengingat sudah berapa lama perjalanan usia ini, bahkan dengan ambisi untuk terus berkarya, tidak sedikit dari kita yang lupa dengan usia sendiri, jika sudah lupa dengan usia, maka pasti lupa untuk menyesuaikan kebiasaan-kebiasaan yang pantas dengan angka meter perjalanan umur kita. Tuhan tidak memasukkan “lupa dengan usia sendiri” sebagai yang dibijaksanai.[]

 

2 komentar untuk “Eling Usia: Memantaskan Kebiasaan”

  1. Bismillah…
    Hening sejenak untuk menghitung amalan yang pantas dengan usia kita… ya Allah, umur…umur sdh berapa ini?? Astgfirullahal adzim….. Semoga Allah mudahkan, mampukan dan tarus menyertai untuk menjadi lebih baik dalam beribadah, bersikap, dan ber amal…aamiin Allahumma aamiin….

    Jazakallah ayahanda….
    Selalu ingin bersua walau sejenak, semoga tetap dalam sehat wal’afiat, senyum bahagia, terus menjadi sosok yg dibijaksana, panutan untuk keluarga, mahasiswa dan juga ummat…aamiin Allaa aamiin 🤲🙂

  2. Terima kasih, ulasan yang sangat baik.
    Saya menafsirnya, bahwa usia yang diberikan Tuhan merupakan isi perjanjian yg dijalani, karena ia sebagai amanah yang diberikan kepada yang sanggup. Dan kita sdh sanggup pada perjanjian itu ketika berada di alam rahim. Saya sangat setuju dengan kalimat terakhir, bawa Tuhan tidak memasukkan “lupa dengan usia sendiri” sebagai yang dibijaksanai.
    Intinya, kita jangan lalai. Karena lalai adalah penyakit yang paling besar. Demikian pesan orang tua kepada putra putrinya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *